Nawal kasim
A. Pendahuluan
Audit syariah memiliki
kunci penting karena mulai ada kesadaran yang tumbuh di kalangan Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) dimana setiap lembaga
tersebut mulai tergerak untuk dapat memberikan kontribusi
terhadap pencapaian tujuan hukum islam -Maqashid Syariah (Shahul dan Yaya, 2005). Dalam kaitannya dengan
hal ini, ada kebutuhan dari lembaga tersebut untuk memiliki auditor dalam tataran syariah yang teratur dan independen.
Konsep audit syariah harus diperluas ke berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
sistem, produk, karyawan, lingkungan, dan
masyarakat, yang keseluruhannya terkait dengan suatu lembaga (Syed Alwi,
2007).
Ada suatu kebutuhan
untuk mengembangkan audit syariah yang berguna untuk memastikan efektivitas
tujuan dari hukum kepatuhan terhadap prinsip syariah yang pada gilirannya dapat
memberikan kontribusi positif terhadap ummat (masyarakat) pada umumnya. Karena
itu, tujuan dari penyusunan tulisan ini adalah mencoba untuk memeriksa apakah
praktek audit syariah saat ini telah sesuai dengan perspektif Islam bila
dibandingkan dengan apa yang diinginkan.
Sulaiman (2005) menemukan bahwa “apa
yang seharusnya diinginkan” tidak mungkin bertepatan dengan apa yang sebenarnya diinginkan
dan konsekuensi apa-apa yang sebenarnya diinginkan mungkin tidak sama dengan
kenyataan yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, untuk menentukan jika ada
kesenjangan dari hal tersebut, kesenjangan yang akan diperiksa harus melihat ke
dalam dua aspek: 1) antara “diinginkan” dan “yang diinginkan”, dan 2) antara
“yang diinginkan” dan praktik “aktual”. Namun,
tulisan ini lebih berfokus pada poin kedua saja untuk
melihat aspek yang diinginkan dan kenyataan yang terjadi dalam praktek.
Pada bagian selanjutnya
akan membahas tinjauan literatur. Setelah itu dilanjutkan dengan bagian ketiga
tentang metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Lalu, paper ini akan
membahas temuan utama yang akan dibahas di bagian keempat. Terakhir, bagian
kelima berisi kesimpulan.
B. Tinjauan
Literatur
Komentar kritis pada masalah audit dan tuntutan tanggung jawab,
visibilitas, dan akuntabilitas perusahaan yang lebih luas telah menyebabkan banyak perdebatan
mengenai apa yang harus sesuai dengan fungsi audit itu sendiri (Houck, 2003; Humphrey, 2000; Ball et al.,
1998; Napier,
1997; Blair,
1990). Selanjutnya, orang-orang sudah mulai
mengevaluasi kembali tingkat kepercayaannya,
mereka mengatakan bahwa
kepercayaan terhadap audit
-yang diperuntukkan pada pemberian jaminan dalam investasi dan informasi
keuangan, serta kecenderungan yang bergantung pada
audit yang
dilakukan- sebagai sumber
terbaik kredibilitas untuk informasi sekarang telah hilang (Humphrey, 2000).
Hal ini salah satunya
dapat dilihat dari bangkrutnya Enron Corporation disusul oleh beberapa
perusahaan raksasa
lainnya yang seharusnya tidak
mungkin bangkrut mendadak bila melihat hasil
audit terakhir
terhadap perusahaan
tersebut. Akibatnya, profil auditor menjadi
sosok yang biasa menghiasi halaman depan berita (Houck, 2003). Hal tersebut
menunjukkan, peran pelaporan keuangan dan audit
seharusnya tidak hanya
terbatas pada kebutuhan
pengambilan keputusan investor, tetapi juga harus dilihat kaitannya dengan
kekhawatiran dalam
tata kelola perusahaan
(Ball et
al, 1998).
Menyadari konsekuensi
mengadopsi kerangka audit konvensional yang dibatasi dalam ruang lingkup, praktek audit di institusi syariah harus memiliki
perspektif yang berbeda. Keberadaan institusi
ini didasarkan pada prinsip-prinsip Islam dengan tujuan utama mencapai maslahah umat (manfaat bagi masyarakat)
melalui keadilan sosial dan ekonomi. Melihat perkembangan yang drastis dari LKS
di seluruh dunia, khususnya perbankan syariah, paper
ini melihat apakah praktik auditing
syariah di perbankan syariah sejalan dengan apa yang diinginkan oleh umat
muslim. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran auditor syariah di perbankan syariah berbeda dan
lebih luas ketimbang peran auditor di organisasi konvensional (Banaga
et al., 1994). Ini karena hal tersebut telah
diperluas areanya
untuk mencakup
kepatuhan syariah. Selain itu, juga ada pendapat bahwa karena ini merupakan organisasi islam yang seharusnya
beroperasi dengan nilai-nilai dasar yang digunakan masyarakat islam, maka berubahlah dari konsep konvensional yaitu “
pembuktian dan jaminan” yang bertemu dengan maqashid
syariah (Khan,
2001) Ini juga termasuk bahwa sejak organisasi Islam diinginkan beroperasi
dibawah pandangan dunia Islam, mereka membutuhkan jenis akuntansi (Shahul,
2000) dan system audit yang berbeda (Khan, 2001). Mereka diharapkan untuk melayani kebutuhan masyarakat islam yang
fokus dan prioritasnya berbeda dengan pandangan dunia pada umumnya. Layaknya
organisasi lain, manajer LKS sepertinya harus akuntabel
tidak hanya tentang cara mengatur pembiayaan yang tepat, tapi juga efektifitas
dan efisiensi dalam penggunaan pembiayaan yang ada. Selanjutnya, untuk
menyesuaikan dengan cakupan syariah yang
besar, usaha untuk menyebarkan nilai Islam secara universal dapat diwujudkan dalam
bentuk produk, proses, sistem, personal, pemasaran, investasi dan lain-lain.
Secara khusus, paper ini berpendapat bahwa perbedaan
aturan dan lingkungan operasi LKS mempengaruhi kerangka kerja audit yang
dibutuhkan sehingga membebani performa dan menghilangkan akuntabilitas
sepenuhnya tidak diinginkan. Faktanya, banyak LKS yang masih bergantung
pada kerangka kerja audit konvensional untuk tujuan audit yang terbatas dalam
ruang lingkup.
C. Metodologi
Tujuan dari penelitian
ini pada dasarnya adalah untuk menguji antara
harapan dan realita dari praktik fungsi audit syariah dalam LKS di Malaysia.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa mekanisme “check and balance” yang tepat harus ditempatkan di LKS untuk
menjamin kegiatan organisasinya sejalan dengan prinsip Islam dan untuk
melindungi keyakinan para pemangku kepentingan Islam dalam organisasi yang
bersangkutan.
Dalam rangka mencapai
tujuan, penelitian ini dilakukan melalui survei terhadap beberapa
kelompok responden yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dengan
kepatuhan/audit menggunakan
kuesioner dan wawancara. Hal ini untuk memperoleh
wawasan ke dalam praktek-praktek yang ada serta apa yang diinginkan oleh
responden atau apa yang seharusnya dilakukan oleh audit syariah di LKS. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini
diambil dari penelitian sebelumnya tentang tanggung
jawab dan wewenang pengawas syariah di perbankan syariah (Abdul Rahim
et al., 2004; Banaga
et al., 1994).
Signifikansi dan
kontribusi terhadap ilmu pengetahuan didasarkan pada perlunya memeriksa sebuah
hubungan antara teori dan praktek syariah audit. Analisis eksplorasi terkait
ruang lingkup audit syariah melihat empat aspek struktur kepatuhan syariah dan
bagaimana ruang lingkup saat ini dapat diperluas. Meskipun literatur yang ada
masih kurang, beberapa upaya telah dilakukan untuk menganalisa kekuatan dan
tanggung jawab penasihat syariah di bank Islam secara khusus.
D. Temuan
Ada empat isu utama yang
berkaitan dengan perbedaan praktek audit yang disorot dalam tulisan ini. Isu
tersebut ialah kerangka kerja, ruang lingkup, kualifikasi dan isu independensi.
Tabel 1 menunjukkan hasil dari “yang diinginkan”
dan praktik realita dan di sebelahnya ialah gap di antara keduanya. Tujuh puluh
tujuh pertanyaan diajukan dalam kuesioner. Sejak paper ini menjadi salah satu bagian dari proyek besar yang sedang dilakukan, tidak semua pertanyaan sesuai dengan
topik pembahasan
kali ini. Dari 155
kuesioner yang disebar, hanya 85 orang responden yang mengembalikan. Rata-rata
keseluruhan jawaban dicatat, perbedaan dihitung dan akhirnya signifikansi
perbedaan antara keduanya dimasukkan ke dalam tiga area kepentingan seperti kerangka
kerja, ruang lingkup dan independensi. Isu tentang kualifikasi diuji menggunakan tes
proporsi. Keseluruhan tiga area kepentingan tadi menunjukkan perbedaan yang
signifikan secara rata-rata antara “yang diinginkan” dengan “yang riil”. Hampir
sama halnya, “kualifikasi” juga menunjukkan
signifikansi antara keduanya. Ini mengindikasikan bahwa secara keseluruhan
terdapat gap antara “yang diinginkan” dengan “yang riil” atas praktik audit
syariah di LKS di Malaysia.
Tabel 1: Gap Antara “Yang Diinginkan” dan “Yang
Terjadi” Dalam Audit Syariah
KERANGKA KERJA
|
||||||||||||
Yang diinginkan
|
‘E’
|
YangTerjadi
|
‘A’
|
Gap
(E-A)
|
Tes Signifikansi
|
Wawancara
|
||||||
Kerangka kerja teoretis dari audit syariah dapat
dibedakan dengan kerangka kerja audit konvensional
(Bag II: 1, 2)
|
Rata-rata keseluruhan:
4,06
|
Meskipun faktanya kerangka kerja syariah dapat
dibedakan dengan kerangka kerja konvensional, LKS menggunakan standar AAOIFI
selama tidak terdapat kerangka kerja audit syariah di Malaysia
(Bag III: 48-51)
|
Rata-rata keseluruhan:
3,05
|
1,01
|
P= 0.000*
|
Kerangka kerja teoretis dapat dibedakan dengan
konvensional, meskipun saat ini, tidak ada perbedaan dengan konvensional
dimana prosedur dan proses masih memiliki kesamaan
|
||||||
RUANG LINGKUP
|
||||||||||||
Yang diinginkan
|
‘E’
|
YangTerjadi
|
‘A’
|
Gap
(E-A)
|
Tes Signifikansi
|
Wawancara
|
||||||
Ruang lingkup audit syariah dapat diperluas
melebihi audit konvensional
(Bag II: 4, 6, 9)
|
Rata-rata keseluruhan:
3,95
|
Ruang lingkup praktik audit syariah LKS di
Malaysia terbatas pada audit laporan keuangan
(Bag III: 1-6)
|
Rata-rata keseluruhan:
3,49
|
0,46
|
P= 0.006*
|
Banyak
dari LKS yang ada hanya melakukan audit kesesuaian atas produk. Pertimbangan
biaya dalam memperluas ruang lingkup, pegawai baru dan kemudian persaingan
dalam pengembangan produk baru, kebutuhan mengedukasi staf sebelum ekspansi
ruang lingkup dirasa sulit.
Audit performa dalam hal sosial dan lingkungan
dipertimbangkan tidak termasuk dalam ruang lingkup, kurangnya kepedulian atas
beban kerja yang meningkat tanpa sumber daya yang cukup, dimotivasi oleh
profit.
|
||||||
KUALIFIKASI
|
||||||||||||
Yang diinginkan
|
‘E’
|
YangTerjadi
|
‘A’
|
Gap
(E-A)
|
Tes Signifikansi
|
Wawancara
|
||||||
Auditor syariah dapat memiliki spesialisasi di
bidang syariah dan kualifikasi akuntansi
|
Proporsi di antara keduanya yang secara langsung
meningkatkan praktik audit syariah dalam studi ini:
59/95= 0,69
|
Praktisi audit syariah sudah berkualifikasi dalam
hal syariah dan akuntansi sekaligus
|
Proporsi di antara keduanya yang berkualifikasi
dalam hal syariah dan akuntansi dalam studi ini:
5/85= 0,059
|
0,631
|
P= 0.000*
|
Gabungan opini pada
“yang diinginkan”:
Auditor
internal:
berhadapan dengan masalah syariah termasuk audit syariah dapat dilakukan oleh
orang yang memiliki kualifikasi syariah.
Auditor
eksternal: audit syariah adalah masalah internal, tidak
bisa melibatkan auditor eksternal
Praktik riil:
Auditor internal yang memiliki
dua pengetahuan sekaligus– hanya 1 orang.
Banyak dari unit syariah diisi
hanya oleh – lulusan syariah.
Kerjasama auditor internal
& unit syariah – hanya beberapa.
Dep.
Audit internal melakukan audit syariah sendirian – tidak ada.
Audit eksternal melakukan audit syariah sendirian
– tidak ada.
|
||||||
INDEPENDENSI
|
||||||||||||
Yang diinginkan
|
‘E’
|
YangTerjadi
|
‘A’
|
Gap
(E-A)
|
Tes Signifikansi
|
Wawancara
|
||||||
Auditor syariah dapat independen dari organisasi
tempat ia bekerja
Bag IV: 7 dan 13
|
Rata-rata keseluruhan:
3,99
|
Praktisi audit syariah di LKS Malaysia independen
terhadap organisasi tempat mereka bekerja
Bag III: 52-55
|
Rata-rata keseluruhan:
2,00
|
1,99
|
P= 0.000*
|
Sepertinya terdapat ketergantungan yang lebih pada
sekretariat syariah dalam melakukan audit syariah sebagai anggota DPS yang
part time, kebanyakan akademisi. Sehingga independensinya dipertanyakan
|
||||||
*signifikansi pada 5%
Dari hasil tabel 1,
menunjukkan bahwa terdapat gap antara “yang diinginkan” dan yang sebenarnya
terjadi dalam praktik audit syariah. Hasil pengujian mengindikasikan bahwa
“realita” tidak bisa dipaksakan sesuai dengan “yang diinginkan”. Penggunaan uji-T untuk menganalisa perbedaan signifikansi dalam
rata-rata dan uji proporsi, ditemukan bahwa 4 aspek (kerangka kerja, ruang
lingkup, kualifikasi dan independensi) secara signifikan terdapat perbedaan.
4.
1. Kerangka kerja
Mengenai kerangka audit
syariah, pemilihan salah satu teknik untuk mendapatkan kepuasan yang lebih
menguntungkan sesuai dengan keadaan, juga akan mempengaruhi konsistensi dan
prediktabilitas dari aturan fiqh. Mengingat bahwa LKS dimulai dengan tujuan
menguntungkan masyarakat, konflik muncul ketika Negara sudah sangat dipengaruhi oleh system hukum barat, baik dalam penggunaan standar akuntansi atau pun UU sipil
dan komersial. Tidak adanya pedoman dan standar audit syariah adalah masalah
utama yang dihadapi saat ini oleh kerangka audit syariah. Auditor yang
professional perlu mengikuti standar, namun standar mengenai audit syariah ini
sendiri masih sangat kurang.
Kebanyakan, LKS
menggunakan kerangka audit konvensional karena ketidaktersediaan kerangka audit
syariah meskipun mayoritas responden merasakan
bahwa kebutuhan akan
audit syariah berbeda
dari kerangka konvensional.
4.
2. Ruang lingkup
Berkaitan dengan ruang
lingkup, ada bukti perhatian publik tentang apa yang sedang dicapai dalam audit
atas laporan akuntansi dan keuangan. Ada juga tekanan dari beberapa pihak untuk
berbagai jenis audit. Hal ini menunjukkan peningkatan dukungan orang-orang yang mengklaim sehingga akan menuntut audit sosial untuk melaporkan perilaku sosial dan kinerja organisasi dalam semua hubungan
mereka dengan masyarakat, individu, dan organisasi lainnya.
Dengan menunjukkan
keinginan untuk memperluas ruang lingkup audit syariah, kurangnya keahlian,
spesifikasi, dan definisi pada ruang lingkup praktek audit syariah menyangkut
tulisan ini. Hal ini tampaknya menjadi alasan adanya kesenjangan. Dengan
mentalistik yang masih kapitalistik dan kurangnya kesadaran tentang audit sosial adalah beberapa alasan untuk tidak mendukung dalam memperluas ruang lingkup. Jadi timbullah kesenjangan
dalam hal ini.
4.
3. Kualifikasi
Berkaitan dengan
kualifikasi auditor syariah, ditemukan adanya perbedaan antara yang diinginkan
dengan kualifikasi sebenarnya auditor syariah dengan proporsi yang memenuhi
syarat hanya 5,9% jika dibandingkan dengan responden yang melakukan audit syariah sebesar 69%. Ini menunjukkan bahwa pada
praktiknya orang yang ada tidak memenuhi dua klasifikasi yang secara tidak
langsung penting perannya
dalam menentukan visi
dan misi Islam yang dijunjung oleh LKS. Auditor syariah diinginkan mencerminkan
tanggung jawab dan akuntabilitas, tidak hanya kepada manajemen dan stakeholder,
tetapi yang lebih penting kepada Allah. Ini akan membangun persepsi publik
terkait kepercayaan dan kepastian bahwa LKS telah sesuai syari’ah dalam seluruh aktifitas bisnisnya.
Sebagai tambahan dari
Tabel 1, Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan negatif yang signifikan antara kualifikasi syariah dan akuntansi. Ini
menunjukkan bahwa kualifikasi akuntansi tidak selalu memiliki kualifikasi
syariah bersamaan (tingkat kualifikasi akuntansi yang tinggi, tingkat
kualifikasi syariah yang rendah)
Tabel 2: Korelasi Antara Kualifikasi Syariah dan
Akuntansi
|
|
Kualifikasi
Akuntansi/Auditing
|
Kualifikasi Syariah
|
Kualifikasi
Akuntansi/Auditing
|
Koefisien
korelasi
|
1.000
|
-.303**
|
nilai
p
|
-
|
.005
|
|
N
|
85
|
85
|
|
Kualifikasi syariah
|
Koefisien
korelasi
|
-.303**
|
1.000
|
nilai
p
|
.005
|
-
|
|
N
|
85
|
85
|
** signifikan pada
.005
Bagaimanapun juga,
terdapat beragam respon dari interviewee
dalam hal kualifikasi yang diinginkan. Apa yang sebenarnya diinginkan serupa
dengan yang ada di lapangan dalam hal kualifikasi yang sesuai. Beberapa praktik auditing syariah lebih disukai untuk
dikerjakan oleh orang yang berkualifikasi dalam bidang syariah saja
sementara hal lain yang berkaitan dengan masalah
internal menjadi tanggung jawab auditor internal atau anggota komite syariah.
Hampir sama dengan hal tersebut, realitanya hanya
satu orang interviewee yang memiliki kedua kualifikasi dan ada beberapa
pekerjaan sebagai tim dari audit internal dan manajemen syariah. Bekerja dalam
tim dilihat sebagai ancaman dalam independensi. Tidak ada yang mengerjakannya
sendiri baik itu dari pihak auditor internal maupun eksternal. Sehingga apa
yang benar-benar diinginkan tidak sama dengan yang terjadi di lapangan bila
melihat gap yang ada
4.
4. Independensi
Dalam kasus
independensi, integritas auditor syariah lebih ditingkatkan oleh harapan
orang-orang yang memiliki minat dalam LKS untuk auditor syariah akan cukup
mandiri untuk memberikan pendapat dalam hal kepatuhan syariah di semua aspek. Dalam situasi di mana tanggung jawab dan kecenderungan
sosial audit harus diterapkan sebaik mungkin, kriteria independensi harus
diterapkan lebih ketat (Flint, 1988). Ini adalah fungsi sosial audit
dalam LKS untuk memberi manfaat kepada umat yang menciptakan kebutuhan untuk
independensi auditor syariah
Potensi penuh dari
seorang auditor tidak dapat direalisasikan jika mereka tidak sepenuhnya
benar-benar independen, karena tujuan sosial akan menjadi kefrustrasian.
Hasilnya menunjukkan signifikansi perbedaan antara yang diinginkan dan yang
terjadi di lapangan. Hal ini juga tercermin dalam hasil wawancara di mana dalam
praktek yang terjadi, ada ketergantungan terhadap orang-orang internal, seperti
manajemen unit syariah yang ditempatkan untuk melaksanakan audit syariah di
LKS. Review atas diri sendiri akan terjadi bila tidak ada pemisahan tugas yang
jelas. Jadi, meskipun responden tahu bagaimana yang sebenarnya terjadi terkait
independensi tapi kenyataannya mereka tidak dapat menghindari menjadi rileks
terhadap prinsip independensi karena keadaan tersebut
tidak dapat dihindari. Oleh karena itulah gap tetap ada antara “yang
diinginkan” dengan “yang terjadi” di lapangan.
E. Kesimpulan
Keempat
isu yang terkait dengan pembahasan penulisan ini menunjukkan efek berlawanan
yang mengakibatkan kesenjangan karena apa sebenarnya yang diinginkan tidak
bertepatan dengan praktek sebenarnya.
Menyadari pentingnya
audit syariah, kerangka kerja untuk memiliki kriteria sendiri dan metodologi maqashid
syari’ah secara paralel menjembatani kesenjangan
yang ada harus menjadi prioritas dalam agenda LKS jika mereka ingin bertahan
hidup untuk waktu yang lama.
Survey ini menghasilkan
pengungkapan relevansi pengembangan kerangka
untuk audit syariah di LKS terutama dalam hal ini adalah LKS di Malaysia. Hasilnya
cukup menarik dan bermanfaat, tetapi pada saat yang sama mencerminkan bukti
bahwa proses audit syariah masih
merupakan tugas yang harus sangat terstruktur. Rupanya audit syariah sendiri
yang entah bagaimana, masih belum dapat merespon maqashid syari’ah meskipun jelas ada kemauan dari mereka untuk
melakukannya. Jadi, salah suatu implikasi kebijakan ini
adalah LKS harus mampu mengambil tanggung jawab untuk mengidentifikasi dan
menerapkan kerangka audit syariah yang komprehensif dan terintegrasi dalam
rangka melayani jumlah dari organisasi islam yang semakin meningkat