Label

Sabtu, 13 Juni 2015

Terima kasih...

Darah menetes di lengannya yang seputih salju dan terjatuh ke lantai, menimbulkan bercak-bercak merah di lantai yang sama putihnya. Kalau saja itu bukan darah, sudah kuanggap sebagai lukisan abstrak yang entah kenapa terlihat menarik dan menggoda. Tapi aku sadar itu bukan lah cat minyak, itu darahnya, darah yang mencoba keluar dari luka sayat di tangan kirinya. Yang paling mengejutkan dari semuanya, luka yang tidak terhitung, yang sudah mengering atau hanya berupa bayangan hitam memanjang yang mengering dan membekas termakan oleh waktu.

Momen yang terasa sangat lama saat pertama aku memasuki kamar kost Arin, wanita yang kukira kukenal sangat baik, setidaknya sampai melihat sosok yang berada tepat di depanku ini. Sosok yang terasa begitu asing. Mulai tersadar dari shock yang menguasai pikiran, ku alihkan pandangan dari lukanya, kemudian menatap wajahnya. Sedetik sebelum diriku bisa fokus terhadap wajahnya, aku berharap bahwa wanita yang ada di depan ku ini bukan Arin yang kukenal. Kuharap dia temannya atau siapapun, asalkan dia bukan Arin.

Tapi semuanya hanya harapan belaka, saat mataku fokus sepenuhnya ke wajah wanita yang sedang terduduk di kasur kamarnya, kutahu dia Arin... Dia Arin yang kukenal, meski baru kali pertama ini aku melihat ekspresinya yang seperti ini. Ekspresi seperti orang yang sedang menanggung beban berat dan sudah tak sanggup memikulnya, hanya lelah yang tergores di wajah tanpa binar kehidupan yang terpancar di matanya.

Arin adalah matahari, itulah ungkapan yang paling cocok buat menggambarkan sosok arin. Setiap kami bertemu, senyum selalu saja menghiasi bibirnya yang merah tipis, matanya yang bulat selalu memancarkan binar-binar jenaka. Jarang sekali dia terlihat sedih, meski kadang dia terlihat kelelahan dan saat kutanya mengapa, dia selalu menjawab "aku hanya kurang tidur kemarin...," dengan seulas senyum yang selalu tersungging.

Keberadaannya selalu membawa kehangatan untuk orang-orang di sekitarnya, oleh karena itu dia cepat sekali akrab dengan orang lain dan siapa pun yang mengenalnya pasti akan selalu menyukai sosok Arin, berbanding terbalik dengan diriku. Kembali ke kamar Arin, kamar yg terasa panas walau diluar hujan deras mengguyur.

"A..a..rin," dengan tergagap ku memangggil namanya.

"Ri...o.." balasnya, disertai perasaan shock yang terpancar di matanya.

Setelah sepenuhnya sadar dari perasaan shock, cutter yang dipegang di tangan kanan buru-buru disembunyikan di bawah selimut yang didudukinya. Luka yang masih mengalirkan darah dengan segera ia bersihkan dengan handuk disampingnya, handuk yang penuh dengan bercak darah yang sudah menghitam dan kering.

"Rio...in...i, kenapa kamu bisa ada di kamarku...", sambil tergagap dia bertanya, dari suaranya terlihat perasaan takut bercampur malu.

"A..ku..sudah dari tadi mengetuk pintu kamarmu, tapi tidak ada jawaban, dan coba kubuka pintunya ternyata tidak terkunci... oleh karena itu... aku...", tiba-tiba saja jawabanku terpotong oleh keheningan yang entah darimana datangnya. Tak ada satu pun dari kami yg berani mengusik kesunyian yang akhirnya memenuhi kamar, sayup-sayup lagu asleep dari The Smiths yang mengalun lembut dari radio bercampur dengan derasnya suara hujan yang menggantung di luar sana, menambah suram suasana kamar.

Entah berapa lama kesunyian dan rasa canggung ini berlangsung, 10 menit atau 1 jam... Entahlah, semuanya tidak penting, tapi tanpa peringatan, kesunyian dan kecanggungan yg membatasi kami tiba-tiba terpecah oleh kata maaf yg meluncur dari mulutnya.

"Maaf...maaf kan aku, membuat kamu melihatku dalam keadaan seperti ini".

Tersadar tiba-tiba karena perkataannya, seketika kutatap wajah Arin, "air mata ?!!..Ini pertama kalinya kulihat Arin menangis", kataku dalam hati. Yang membuatku makin tak tahu harus melakukan apa, hanya rasa sakit di hati yang mulai menyelinap.

"A...ku....", hanya kata itu yang keluar dari mulutku dan menggantung tak terselesaikan. Lalu kesunyian kembali menyelinap, namun secara mengejutkan tubuhku bergerak sendiri, setidaknya itu yang kupikir. Tubuhku bergerak memeluk tubuh Arin yang kecil, kupeluk tubuhnya dengan sangat erat dan baru kusadari betapa kurus tubuhnya, sampai-sampai aku melonggarkan pelukanku saking takutnya menghancurkan tubuhnya yang terasa begitu rapuh di pelukanku.

"Maaf... Maafkan aku..." bisikku dengan lembut di telinganya. "Maafkan karena aku tidak menyadarinya". "Maafkan karena aku tidak peka, maafkan aku, rin.." sambungku.

Tapi ia hanya terdiam tanpa kata, namun tiba-tiba Arin membalas memelukku dengan erat dan mulai menangis sejadi-jadinya, untung saja tangisnya teredam suara hujan yang masih mengguyur dengan deras, menghidarkan dari menarik perhatian penghuni kost yang lain.

Setelah Arin puas menangis, kulepaskan pelukanku, sambil tetap memegang pundaknya, kutatap matanya yg sembab karena menangis.

"Kamu tidak apa-apa... maksudku.. tanganmu tidak sakit, kan?", tanyaku dengan wajah serius.

"Tidak...tanganku tidak, sakit..." jawab Arin tanpa menatap ku.

Kulepaskan genggamanku dari pundaknya lalu berdiri dan berjalan menuju rak buku, kuambil kotak transparan yg berisi peralatan P3K yang tepat berada di atas buku Gone With the wind karya Margareth Mitchell. Kubuka kotaknya dan mengambil sehelai kapas lalu melumurinya dengan alkohol, kemudian kuraih tangannya, "tahan ya..." kataku.

Lalu aku mulai membersihkan lukanya, sambil sekali-kali bertanya, "sakit..?"

"Tidak apa..." jawabnya.

Setelah selesai membersihkan, aku teteskan lukanya dengan betadine dan kubungkus dengan kain kasa. Setelah semua selesai kugenggam tangan dan menatap matanya dengan tatapan yg lembut lalu aku berkata padanya dengan suara pelan, "Rin... jujur aku tak tau harus berkata apa, dan aku pun tidak akan memintamu berhenti. Tapi.. aku harap kamu ingat...apapun yg kamu pilih, aku selalu ada disamping mu...selalu dan saat kamu merasa tidak bisa menanggung beban yang menghimpitmu, kamu bisa membaginya denganku" sambil tersenyum ku menatap nya.

"Terima kasih...Terima kasih" hanya itu kata-kata yang diucapkannya dan air matanya pun kembali turun, tapi yang ini berbeda dengan yang tadi... Air mata yang ini adalah air mata kelegaan. Lalu kembali kupeluk tubuhnya dengan sangat lembut dan Arin pun balik membalas pelukanku.

1 komentar:

  1. Cieeeee...
    Arin siapa noh!???
    Bisa numpang ngpost dsini dong lil!?
    hahahaa...
    lmyn..ad tmpt laen bwt promosiin critaq yg diwattpad..
    dr crita ini..msh ad bbrp yg jd ptnyaan..
    1.arin-rio ini hubnya apa?
    2.pnyebab arin mw bunuh diri itu apa?
    3.berterima kasihnya itu untuk apa?sekedar nolong or apa?
    4.mw dibwt 1shot or chapter?
    hehehee...maklum..kbiasaan nulis diwattpad jdnya bgini dah...

    BalasHapus