Mahasiswa adalah agent of change, setidaknya itulah kata-kata yang sering kita ingat
apabila mendengar berita yang berkaitan dengan mahasiswa. Agent of change yang dimaksud adalah sesuatu yang bisa diharapkan
memiliki pemikiran, perhatian dan tindakan terhadap kondisi di sekitarnya entah
itu masalah sosial, ekonomi dan sebagainya sehingga bisa merubah ke arah yang
lebih baik. Fenomena besar yang ditulis oleh tinta sejarah mahasiswa di masa
lalu dapat kita lihat dari beberapa peristiwa yang dapat kita peroleh di laman
pencarian google ataupun wikipedia. Awal mula berdirinya negara ini juga tak
terlepas dari peran mahasiswa/pemuda di dalamnya, berdirinya Budi Utomo pada
1908 menjadi goresan tinta pertama munculnya pergerakan rakyat Indonesia
terhadap penjajahan kolonial. Pendirian itu memiliki tujuan yang pasti untuk
menjadikan Indonesia merdeka dengan digawangi oleh para pemuda intelek
(mahasiswa) yang belajar di luar negeri.
Pergerakan mahasiswa selanjutnya makin
lama makin berkembang, hingga sampai di tahun 1928 tercetuslah Sumpah Pemuda
yang semakin membuktikan peran besar pemuda dalam membangun bangsa ini. Memang
selama perjalanannya pergerakan pemuda identik dengan daya kritisnya yang luar
biasa terhadap pihak-pihak yang dirasa tidak mementingkan kepentingan rakyat,
tapi dapat kita amati bahwa dari masa ke masa tingkat pergerakan tersebut
selalu fluktuatif bahkan cenderung menurun. Sebagai contoh, pergerakan mahasiswa
pada kisaran tahun 1945-an sangat-sangat berani dalam melakukan pergerakan. Hal
tersebut dibuktikan dengan pergerakan yang mulanya berbentuk kelompok studi
berubah menjadi partai politik, perubahan ini bukan tanpa alasan, ini
disebabkan karena diperlukan untuk mendapatkan basis massa yang lebih luas agar
pergerakan mereka lebih leluasa meskipun pada akhirnya harus dibubarkan oleh
pemerintah penjajahan Jepang sehingga mereka harus bergerak melalui pergerakan
bawah tanah. Tetapi, momen tersebut tidak menyurutkan semangat mereka berjuang
demi kemerdekaan Indonesia sehingga muncul tiga asrama mahasiswa yang terkenal dalam
sejarah yang berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh yaitu: Asrama
Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Dari sinilah tokoh-tokoh pemuda
muncul yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945 seperti
Chaerul Saleh dan Sukarni yang menculik dan memaksa Soekarno-Hatta untuk
memproklamirkan kemerdekaan RI yang dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok.
Pergerakan di periode selanjutnya adalah
pergerakan yang berbentuk aliansi hingga pada tahun 1950-1959 pergerakan
tersebut berada di bawah organisasi politik yang bermuara pada perjuangan tahun
1966. Pergerakan di tahun 1966 ini menjadi awal berdirinya orde baru yang membawa
beberapa tokoh mahasiswa menikmati kursi pemerintahan sebagai upahnya.
Pergerakan di periode selanjutnya yaitu tahun 1974 sangat berbeda dengan
pergerakan di tahun 1966 yang sangat kental dengan pihak militer, periode ’74 lebih
sering berkonfrontasi dengan militer akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah
Orba seperti masalah penggusuran wong cilik, kecurangan partai penguasa, kasus
korupsi dan kenaikan harga BBM dan memuncak pada timbulnya peristiwa Malari. Sejak peristiwa malari, pemerintah menjadi semakin garang dalam menindak setiap aksi
mahasiswa yang terlalu kritis itu sehingga masa-masa sekitar tahun 1977-1978
menjadi panas karena pihak militer leluasa keluar masuk kampus yang dianggap
memiliki mahasiswa yang sering beraksi menentang pemerintah. Puncaknya pada
1979, dikeluarkannya SK No.0156/U/1978 tentang NKK (Normalisasi Kehidupan
Kampus) yang mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik dan
menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan
posisi rezim. Hal tersebut
sontak membuat pergerakan mahasiswa menjadi skakmat
karena mereka tidak leluasa lagi melakukan aksi demonstrasi secara bebas, jika
pun berani maka teralis besilah yang akan menyambut mereka cepat atau lambat.
Memang, pada akhirnya upaya mahasiswa
untuk didengarkan aspirasinya terkait kesewenangan pemerintahan Soeharto
terwujud dengan turunnya presiden kala itu pada 1998 namun sangat disayangkan
bila kondisi saat itu yang pergerakannya solid dan murni memperjuangkan rakyat
tidak kita temukan lagi saat ini. Mengapa demikian? Jika dulu mahasiswa sering
terlibat bentrokan dengan aparat, maka sekarang kita lihat mereka bentrok
dengan sesama mahasiswa bahkan dengan mahasiswa yang berasal dari satu
almamaternya. Sungguh hal yang memilukan bukan? Contoh lainnya bisa kita lihat
di kampus kita tercinta, kegiatan pemilihan badan eksekutif mahasiswa baik di
tingkat fakultas maupun tingkat jurusan kadangkala situasinya menjadi panas
lantaran ada kepentingan politis yang diusung oleh beberapa organisasi yang
tidak perlu saya sebutkan disini.
Sungguh miris memang, bila membaca
kata-kata “mahasiswa sebagai agent of
change” tetapi yang selalu melekat dalam benak masyarakat adalah
keseringannya bentrok dengan aparat bila melakukan demonstrasi yang terkadang
pula membawa kerugian materiil bagi warga sekitar serta tawuran antar mahasiswa
lintas kampus dan lintas fakultas. Seharusnya istilah agent of change tersebut melekat dengan mahasiswa yang kegiatannya
selalu membawa perubahan ke arah yang baik bagi masyarakat bukan sebaliknya,
dan mungkin entah kapan suasana tersebut akan kita rasakan bila kita sebagai
mahasiswa tak benar-benar memulainya dari sekarang, minimal dari diri sendiri.
Semoga dengan tulisan ini, kita sebagai mahasiswa bisa memahami bagaimana
seharusnya pergerakan mahasiswa itu dengan mengambil pelajaran pergerakan
mahasiswa terdahulu demi menyuarakan kepentingan rakyat dan bukannya malah ribu
dan ikut-ikutan bermain politik
seperti yang ada di kursi dewan sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar