Label

Selasa, 04 November 2014

Mahasiswaku Sayang, Mahasiswaku Malang...

Mahasiswa adalah agent of change, setidaknya itulah kata-kata yang sering kita ingat apabila mendengar berita yang berkaitan dengan mahasiswa. Agent of change yang dimaksud adalah sesuatu yang bisa diharapkan memiliki pemikiran, perhatian dan tindakan terhadap kondisi di sekitarnya entah itu masalah sosial, ekonomi dan sebagainya sehingga bisa merubah ke arah yang lebih baik. Fenomena besar yang ditulis oleh tinta sejarah mahasiswa di masa lalu dapat kita lihat dari beberapa peristiwa yang dapat kita peroleh di laman pencarian google ataupun wikipedia. Awal mula berdirinya negara ini juga tak terlepas dari peran mahasiswa/pemuda di dalamnya, berdirinya Budi Utomo pada 1908 menjadi goresan tinta pertama munculnya pergerakan rakyat Indonesia terhadap penjajahan kolonial. Pendirian itu memiliki tujuan yang pasti untuk menjadikan Indonesia merdeka dengan digawangi oleh para pemuda intelek (mahasiswa) yang belajar di luar negeri.
Pergerakan mahasiswa selanjutnya makin lama makin berkembang, hingga sampai di tahun 1928 tercetuslah Sumpah Pemuda yang semakin membuktikan peran besar pemuda dalam membangun bangsa ini. Memang selama perjalanannya pergerakan pemuda identik dengan daya kritisnya yang luar biasa terhadap pihak-pihak yang dirasa tidak mementingkan kepentingan rakyat, tapi dapat kita amati bahwa dari masa ke masa tingkat pergerakan tersebut selalu fluktuatif bahkan cenderung menurun. Sebagai contoh, pergerakan mahasiswa pada kisaran tahun 1945-an sangat-sangat berani dalam melakukan pergerakan. Hal tersebut dibuktikan dengan pergerakan yang mulanya berbentuk kelompok studi berubah menjadi partai politik, perubahan ini bukan tanpa alasan, ini disebabkan karena diperlukan untuk mendapatkan basis massa yang lebih luas agar pergerakan mereka lebih leluasa meskipun pada akhirnya harus dibubarkan oleh pemerintah penjajahan Jepang sehingga mereka harus bergerak melalui pergerakan bawah tanah. Tetapi, momen tersebut tidak menyurutkan semangat mereka berjuang demi kemerdekaan Indonesia sehingga muncul tiga asrama mahasiswa yang terkenal dalam sejarah yang berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh yaitu: Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Dari sinilah tokoh-tokoh pemuda muncul yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945 seperti Chaerul Saleh dan Sukarni yang menculik dan memaksa Soekarno-Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan RI yang dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok.
Pergerakan di periode selanjutnya adalah pergerakan yang berbentuk aliansi hingga pada tahun 1950-1959 pergerakan tersebut berada di bawah organisasi politik yang bermuara pada perjuangan tahun 1966. Pergerakan di tahun 1966 ini menjadi awal berdirinya orde baru yang membawa beberapa tokoh mahasiswa menikmati kursi pemerintahan sebagai upahnya. Pergerakan di periode selanjutnya yaitu tahun 1974 sangat berbeda dengan pergerakan di tahun 1966 yang sangat kental dengan pihak militer, periode ’74 lebih sering berkonfrontasi dengan militer akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah Orba seperti masalah penggusuran wong cilik, kecurangan partai penguasa, kasus korupsi dan kenaikan harga BBM dan memuncak pada timbulnya peristiwa Malari. Sejak peristiwa malari, pemerintah menjadi semakin garang dalam menindak setiap aksi mahasiswa yang terlalu kritis itu sehingga masa-masa sekitar tahun 1977-1978 menjadi panas karena pihak militer leluasa keluar masuk kampus yang dianggap memiliki mahasiswa yang sering beraksi menentang pemerintah. Puncaknya pada 1979, dikeluarkannya SK No.0156/U/1978 tentang NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Hal tersebut sontak membuat pergerakan mahasiswa menjadi skakmat karena mereka tidak leluasa lagi melakukan aksi demonstrasi secara bebas, jika pun berani maka teralis besilah yang akan menyambut mereka cepat atau lambat.
Memang, pada akhirnya upaya mahasiswa untuk didengarkan aspirasinya terkait kesewenangan pemerintahan Soeharto terwujud dengan turunnya presiden kala itu pada 1998 namun sangat disayangkan bila kondisi saat itu yang pergerakannya solid dan murni memperjuangkan rakyat tidak kita temukan lagi saat ini. Mengapa demikian? Jika dulu mahasiswa sering terlibat bentrokan dengan aparat, maka sekarang kita lihat mereka bentrok dengan sesama mahasiswa bahkan dengan mahasiswa yang berasal dari satu almamaternya. Sungguh hal yang memilukan bukan? Contoh lainnya bisa kita lihat di kampus kita tercinta, kegiatan pemilihan badan eksekutif mahasiswa baik di tingkat fakultas maupun tingkat jurusan kadangkala situasinya menjadi panas lantaran ada kepentingan politis yang diusung oleh beberapa organisasi yang tidak perlu saya sebutkan disini.

Sungguh miris memang, bila membaca kata-kata “mahasiswa sebagai agent of change” tetapi yang selalu melekat dalam benak masyarakat adalah keseringannya bentrok dengan aparat bila melakukan demonstrasi yang terkadang pula membawa kerugian materiil bagi warga sekitar serta tawuran antar mahasiswa lintas kampus dan lintas fakultas. Seharusnya istilah agent of change tersebut melekat dengan mahasiswa yang kegiatannya selalu membawa perubahan ke arah yang baik bagi masyarakat bukan sebaliknya, dan mungkin entah kapan suasana tersebut akan kita rasakan bila kita sebagai mahasiswa tak benar-benar memulainya dari sekarang, minimal dari diri sendiri. Semoga dengan tulisan ini, kita sebagai mahasiswa bisa memahami bagaimana seharusnya pergerakan mahasiswa itu dengan mengambil pelajaran pergerakan mahasiswa terdahulu demi menyuarakan kepentingan rakyat dan bukannya malah ribu dan ikut-ikutan bermain politik seperti yang ada di kursi dewan sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar