Bulan november adalah bulan dimana 69 tahun yang lalu, tepatnya 10 November 1945 di kota Surabaya, telah terjadi
momen heroik terbesar sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang
bahkan menjadi suatu ritual bagi bangsa ini untuk mengenang para pahlawan yang
gugur. Dengan hanya bermodalkan bambu runcing serta senjata rampasan dari
tentara Jepang yang telah dilucuti, arek-arek
Suroboyo tak gentar menghadapi tentara Inggris diboncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration)
yang mengultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata yang mereka miliki.
Pertempuran pun akhirnya berkobar karena arek-arek
Suroboyo menolak ultimatum tersebut, tiga minggu lamanya seluruh kota
Surabaya menjadi medan pertempuran antara kedua belah pihak sebelum akhirnya
jatuh ke tangan Inggris.
Lebih dari 6.000-16.000 pejuang
Indonesia tewas dan lebih dari 200.000 orang mengungsi, sementara pihak belanda
hanya kehilangan 600-2.000 pasukan. Tentu bukan suatu hal yang mudah untuk
menang dari tentara Inggris yang memiliki alat tempur dan pasukan yang lengkap
karena para pejuang hanyalah bersenjatakan bambu runcing dan senjata rampasan
dari tentara Jepang, namun ada satu hal yaitu tekad rakyat Indonesia khususnya
Surabaya terbebas dari penjajahan londo-londo
yang mampu membuat pertempuran ini berlangsung selama tiga minggu.
Enam puluh delapan tahun sudah sejak
kemerdekaan diproklamirkan di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 kondisi bangsa ini
semakin lama semakin terpuruk, ya, terpuruk! Kenapa begitu? Coba kita lihat di
luar sana, banyak pembangunan disana-sini tapi yang namanya kemiskinan bukannya
berkurang malah terus bertambah. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin
miskin. Belum lagi kasus korupsi yang akhir-akhir ini marak menjadi pemberitaan
di media-media kita, seakan tak membuat jera para pelakunya untuk tidak memakan
harta yang bukan haknya. Ataukah ini menjadi ajang untuk tenar dan dikenal
masyarakat? Na’udzubillah min dzalik!
Saya harap mudah-mudahan tidak begitu. Andai saja para pejuang dan tokoh-tokoh
kemerdekaan bangkit dari kuburnya, tentu mereka akan bersedih hati.
Para pemuda-pemudi saat ini seharusnya
menghargai jasa para pahlawan dan merealisasikan cita-cita untuk menjadikan
Indonesia lebih baik lagi, bukan malah berleha-leha dan menyianyiakannya.
Sungguh hal yang sangat disayangkan apabila mereka lebih suka meniru jati diri
bangsa lain seperti halnya boyband dan
semacamnya padahal jati diri kita sebagai bangsa Indonesia lebih baik ketimbang
yang ada di luar Indonesia. Mereka menjadikannya sebagai pahlawan yang di elu-elu kan dan menutup mata dari
pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan agar kita bisa menikmati kondisi
seperti saat ini. Apalah artinya kemerdekaan jika tidak ada kesadaran dari diri
kita untuk lebih memaknai hakikat kemerdekaan dengan berbuat sesuatu yang lebih
berguna bagi kemajuan bangsa? Masih banyak orang-orang miskin di sekitar kita,
membantu mereka terlepas dari jerat kemiskinan sejatinya sudah menjadi
perwujudan menghargai jasa para pahlawan.
Masih banyak hal yang dapat kita lakukan
untuk bangsa ini, minimal dari diri kita dan lingkungan di sekitar kita.
Menjadikannya lebih baik dengan tidak mengekor budaya luar yang cenderung
negatif adalah salah satu perwujudan menghargai arti sebuah kemerdekaan dan apresiasi
terhadap para pahlawan. Jadi, akankah kita terus menyia-nyiakan kemerdekaan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar