Label

Selasa, 04 November 2014

Distorsi Kemerdekaan

Bulan november adalah bulan dimana 69 tahun yang lalu, tepatnya 10 November 1945 di kota Surabaya, telah terjadi momen heroik terbesar sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang bahkan menjadi suatu ritual bagi bangsa ini untuk mengenang para pahlawan yang gugur. Dengan hanya bermodalkan bambu runcing serta senjata rampasan dari tentara Jepang yang telah dilucuti, arek-arek Suroboyo tak gentar menghadapi tentara Inggris diboncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang mengultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata yang mereka miliki. Pertempuran pun akhirnya berkobar karena arek-arek Suroboyo menolak ultimatum tersebut, tiga minggu lamanya seluruh kota Surabaya menjadi medan pertempuran antara kedua belah pihak sebelum akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Lebih dari 6.000-16.000 pejuang Indonesia tewas dan lebih dari 200.000 orang mengungsi, sementara pihak belanda hanya kehilangan 600-2.000 pasukan. Tentu bukan suatu hal yang mudah untuk menang dari tentara Inggris yang memiliki alat tempur dan pasukan yang lengkap karena para pejuang hanyalah bersenjatakan bambu runcing dan senjata rampasan dari tentara Jepang, namun ada satu hal yaitu tekad rakyat Indonesia khususnya Surabaya terbebas dari penjajahan londo-londo yang mampu membuat pertempuran ini berlangsung selama tiga minggu.
Enam puluh delapan tahun sudah sejak kemerdekaan diproklamirkan di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 kondisi bangsa ini semakin lama semakin terpuruk, ya, terpuruk! Kenapa begitu? Coba kita lihat di luar sana, banyak pembangunan disana-sini tapi yang namanya kemiskinan bukannya berkurang malah terus bertambah. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Belum lagi kasus korupsi yang akhir-akhir ini marak menjadi pemberitaan di media-media kita, seakan tak membuat jera para pelakunya untuk tidak memakan harta yang bukan haknya. Ataukah ini menjadi ajang untuk tenar dan dikenal masyarakat? Na’udzubillah min dzalik! Saya harap mudah-mudahan tidak begitu. Andai saja para pejuang dan tokoh-tokoh kemerdekaan bangkit dari kuburnya, tentu mereka akan bersedih hati.
Para pemuda-pemudi saat ini seharusnya menghargai jasa para pahlawan dan merealisasikan cita-cita untuk menjadikan Indonesia lebih baik lagi, bukan malah ­berleha-leha dan menyianyiakannya. Sungguh hal yang sangat disayangkan apabila mereka lebih suka meniru jati diri bangsa lain seperti halnya boyband dan semacamnya padahal jati diri kita sebagai bangsa Indonesia lebih baik ketimbang yang ada di luar Indonesia. Mereka menjadikannya sebagai pahlawan yang di elu-elu kan dan menutup mata dari pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan agar kita bisa menikmati kondisi seperti saat ini. Apalah artinya kemerdekaan jika tidak ada kesadaran dari diri kita untuk lebih memaknai hakikat kemerdekaan dengan berbuat sesuatu yang lebih berguna bagi kemajuan bangsa? Masih banyak orang-orang miskin di sekitar kita, membantu mereka terlepas dari jerat kemiskinan sejatinya sudah menjadi perwujudan menghargai jasa para pahlawan.

Masih banyak hal yang dapat kita lakukan untuk bangsa ini, minimal dari diri kita dan lingkungan di sekitar kita. Menjadikannya lebih baik dengan tidak mengekor budaya luar yang cenderung negatif adalah salah satu perwujudan menghargai arti sebuah kemerdekaan dan apresiasi terhadap para pahlawan. Jadi, akankah kita terus menyia-nyiakan kemerdekaan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar