Guten Morgen evri badeeh, berhubung hari ini katanya Hari Ayah, maka pagi ini akan gw posting secara spesial sebuah tulisan yang cukup menggugah hati kalian tanpa terkecuali. Meskipun gw masih muda dan unyu-unyu :3, gw akan mengingat tulisan ini dan akan menerapkannya ketika gw udah punya anak nanti. Tanpa berpanjang kalam, ini dia tulisannya. Selamat menyaksikan...
* * *
Ayah Juga Lupa (Father Forgets)
W.
Livingstone Larned
Dengar, Nak:
Ayah
mengatakan ini pada saat kau terbaring tidur, sebelah tangan kecil merayap di
bawah pipimu dan rambutmu yang keriting pirang lengket pada dahimu yang lembap.
Ayah menyelinap masuk seorang diri ke kamarmu. baru beberapa menit yang lalu,
ketika Ayah sedang membaca koran di ruang perpustakaan, satu sapuan sesal yang amat
dalam menerpa. Dengan perasaan bersalah, Ayah datang masuk menghampiri
pembaringanmu.
Ada hal-hal yang Ayah pikirkan, Nak:
Ayah selama ini bersikap kasar kepadamu. Ayah membentakmu
ketika kau sedang berpakaian hendak pergi ke sekolah karena kau Cuma menyeka
mukamu sekilas dengan handuk. Lalu Ayah lihat kau tidak membersihkan sepatumu.
Ayah berteriak marah tatkala kau melempar beberapa barangmu ke lantai.
Saat makan pagi Ayah menemukan kesalahan. Kau meludahkan
makananmu. Kau menelan terburu-buru makananmu. Kau meletakkan sikumu di atas
meja. Kau mengoleskan mentega terlalu tebal di rotimu. Dan begitu kau baru
mulai bermain dan Ayah berangkat mengejar kereta api, kau berpaling dan
melambaikan tangan sambil berseru, “Selamat jalan Ayah!” dan Ayah mengerutkan
dahi, lalu menjawab, “Tegakkan bahumu!”
Kemudian semua itu berulang lagi pada sore hari. Begitu
Ayah muncul dari jalan, Ayah segera mengamatimu dengan cermat, memandang hingga
lutut, memandangmu yang sedang bermain kelereng. Ada lubang-lubang pada kaus
kakimu. Ayah menghinamu di depan kawan-kawanmu, lalu menggiringmu untuk pulang
ke rumah. Kaus kaki mahal – dan kalau kau yang harus membelinya, kau akan lebih
berhati-hati! Bayangkan itu Nak, itu keluar dari pikiran seorang Ayah!
Apakah kau ingat, nantinya, ketika Ayah sedang membaca di
ruang perpustakaan, bagaimana kau datang dengan perasaan takut, dengan rasa
terluka dalam matamu? Ketika Ayah terus memandang koran, tidak sabar karena
gangguanmu, kau jadi ragu-ragu di depan pintu. “Kau mau apa?” semprot Ayah.
Kau tidak berkata sepatah pun, melainkan berlari melintas
dan melompat ke arah Ayah, kau melemparkan tanganmu melingkari leher saya dan
mencium Ayah, tangan-tanganmu yang kecil semakin erat memeluk dengan hangat,
kehangatan yang telah Tuhan tetapkan untuk mekar di hatimu dan yang bahkan
pengabaian sekali pun tidak akan mampu melemahkannya. Dan kemudian kau pergi,
bergegas menaiki tangga.
Nah, Nak, sesaat setelah koran itu jatuh dari tangan
Ayah, dan satu rasa takut yang menyakitkan menerpa Ayah. Kebiasaan apa yang
sudah Ayah lakukan? Kebiasaan dalam menemukan kesalahan, dalam mencerca – ini adalah
hadiah Ayah untukmu sebagai seorang anak lelaki. Bukan berarti Ayah tidak
mencintaimu; Ayah lakukan ini karena Ayah berharap terlalu banyak dari masa
muda. Ayah sedang mengukurmu dengan kayu pengukur dari tahun-tahun Ayah
sendiri.
Dan sebenarnya begitu banyak hal yang baik dan benar
dalam sifatmu. Hati mungil milikmu sama besarnya dengan fajar yang memayungi
bukit-bukit luas. Semua ini kau tunjukkan dengan sikap spontanmu saat kau
menghambur masuk dan mencium Ayah sambil mengucapkan selamat tidur. Tidak ada
masalah lagi malam ini, Nak. Ayah sudah datang ke tepi pembaringanmu dalam
kegelapan, dan Ayah sudah berlutut disana, dengan rasa malu!
Ini adalah sebuah rasa tobat yang lemah; Ayah tahu kau
tidak akan mengerti hal-hal seperti ini kalau Ayah sampaikan padamu saat kau
terjaga. Tapi esok hari Ayah akan menjadi Ayah sejati! Ayah akan bersahabat
karib denganmu, dan ikut menderita bila kau menderita, dan tertawa bila kau
tertawa. Ayah akan menggigit lidah Ayah kalu kata-kata tidak sabar keluar dari
mulut Ayah. Ayah akan terus mengucapkan kata-kata ini seolah-olah sebuah
ritual: “Dia cuma seorang anak kecil – anak kecil!”
Ayah
khawatir sudah membayangkanmu sebagai seorang lelaki. Namun, saat Ayah
memandangmu sekarang, Nak, meringkuk berbaring dan letih dalam tempat tidurmu,
Ayah lihat bahwa kau masih seorang bayi. Kemarin kau masih dalam gendongan
Ibumu, kepalamu berada di bahu Ibumu. Ayah sudah meminta terlalu banyak,
sungguh terlalu banyak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar