Dr. Abdul Rahim
Abdul Rahman
(International
Islamic University Malaysia)
Pendahuluan
Institusi
yang menawarkan jasa keuangan Islam diharapkan berjalan sesuai dengan aturan
etika Islam dan fungsi wajib yang dibatasi oleh syari’ah. Dalam hal untuk
memastikan bahwa kegiatan operasi dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
tidak kontradiktif dengan syari’ah, maka Shari’ah Advisory Council (SAC), SSB atau
Shari’ah Supervisory Committee (SSC) memiliki fungsi normal sebagai penasehat
atau pengawas terhadap aktifitas perbankan Islam. Di tingkat internasional, AAOIFI dan Islamic Financial Service Board (IFSB)
telah mengeluarkan beberapa standar dan pedoman tata kelola. Di Malaysia, Bank Negara malaysia (BNM)
juga telah mengeluarkan pedoman yang relevan untuk memastikan penerapan
regulasi secara bijaksana terhadap persoalan syari’ah pada LKS.
Tujuan
utama dari paper ini ialah untuk mengevaluasi kebutuhan atas audit syari’ah untuk melengkapi mekanisme
kepatuhan syari’ah yang telah ditetapkan. Audit syari’ah harus
dijalankan secara sistematis sebagai bagian dari mekanisme tata kelola
perusahaan LKS. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan permintaan para stakeholder dalam hal jaminan atas kepatuhan dan akuntabilitas
syari’ah. Paper ini juga membahas beberapa tantangan sebagai prasyarat
untuk melakukan audit syari’ah secara efektif.
Keadaan Status Quo
Struktur
tata kelola syari’ah yang ada di Malaysia saat ini terpusat di National
Shari’ah Advisory Council (NSAC) –DSN–
yang menjadi satu-satunya lembaga pemerintah yang menjadi penasehat BNM untuk kegiatan operasional
takaful dan perbankan syari’ah. NSAC memiliki kekuatan untuk mengeluarkan fatwa dan ketetapan
fatwa ini mengikat seluruh institusi keuangan di negara ini. Fungsi NSAC adalah diantaranya, memastikan
bank patuh terhadap aturan dan pedoman syari’ah. NSAC secara
teoretis, diharapkan mempelajari dan memeriksa
dengan cermat opini syari’ah dari
SSC –DPS– di masing-masing institusi keuangan dan perbankan syari’ah. NSAC juga
dipercaya untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan dan pedoman syari’ah dari
pengawas operasional bank. Fungsi lainnya termasuk memberi
saran kepada institusi keuangan dan perbankan Islam terkait isu syari’ah yang
terkait kesepakatan operasional dan keuangan. NSAC juga memiliki
wewenang memeriksa, dengan hukum dan peraturan yang terkait dengan aktifitas
institusi keuangan.
Sebagai
tambahan, Securities Commission (SC) menerangkan kriteria penasehat syari’ah
atau komite syari’ah dalam Offering of
Private Debt Securities Guideline 2000, Section 32:
(1)
Seorang penasihat harus orang
yang bukan termasuk kategori pailit, yang juga bukan seorang terdakwa dan tidak melakukan perbuatan yang
melawan hukum. Penasihat juga harus memiliki reputasi yang baik dan memiliki kualifikasi dan keahlian yang
relevan, khususnya dalam hal fiqih mu’amalah dan ilmu hukum Islam,
dengan minimum 3 tahun
pengalaman bekerja atau meninjau keuangan Islam. Bagian di atas juga
menyatakan bahwa yang menetapkan Private Debt Securities harus menunjuk salah
satu orang sebagai pengawas syari’ah dengan kriteria yang telah disebutkan atau
menunjuk komite syari’ah pada perbankan Islam atau lembaga yang diakui oleh
BNM.
Pada
tahun 2006, IFSB mengeluarkan Guiding
Principles on Corporate Governance untuk institusi yang menawarkan layanan
keuangan syari’ah. Aturan tersebut menyarankan agar Board of Directors (BOD) membentuk Governance Committee, yang berisikan 3 orang anggota, untuk
mengkoordinasi dan mengintegrasi penerapan atas kerangka kerja kebijakan tata
kelola dan satu anggota bisa berasal dari sarjana syari’ah (mungkin bisa
berasal dari DPS). Hal ini memberi kuasa terhadap peran penasihat syari’ah
seperti halnya menempatkan kepatuhan syari’ah sebagai bagian dari perhatian
atas keseluruhan tata kelola. Ini juga merupakan usaha untuk mendampingi Governance Committee untuk secara efektif terhubungkan dengan isu
tata kelola syari’ah, dan juga mengkoordinasi dan menghubungkan aturan
pelengkap dan fungsi dari Governance
Committee dan juga DPS.
Persyaratan
bagi institusi keuangan dan perbankan Islam untuk membawa kegiatan bisnisnya
sejalan dengan aturan dan pedoman syari’ah telah ditetapkan pada Islamic Banking Act, 1983. Seksi 5 (b)
menentukan kebutuhan atas pendirian SAC – “dan disana, pada pasal yang
menjadi perhatian asosiasi bank, ketetapan pendirian badan penasihat syari’ah
untuk memberi tahu bank atas kegiatan operasi dari bisnis perbankannya”.
Secara umum, terdapat 2 tipe kepatuhan syari’ah: (i) ex-ante compliance, dan (ii) ex-post
compliance. Ex-ante shari’ah
compliance pada dasarnya adalah tugas SAC dalam pengawasan, monitoring dan pengendalian yang mengambil
tempat pada dan selama pelaksanaan kesepakatan perbankan. Aktifitas
ini termasuk memastikan bahwa bank dan institusi keuangan patuh terhadap aturan
dan pedoman syari’ah selama pembentukan kontrak dan perjanjian, selama proses
transaksi, selama penyelesaian dan pengeksekusian kontrak, dan utamanya
terhadap implementasi dari kontrak dan likuidasi.
Sejauh
ini, hanya sedikit institusi yang menggunakan proses ex-post shariah compliance. Proses
ex-post shariah compliance ini mengharuskan audit yang cermat dan menyeluruh untuk mereview dan
mengecek transaksi yang muncul setelah kontrak dilakukan. Proses ex-post
shariah compliance ini pada dasarnya memperlihatkan sampel acak atas penyelesaian traksaksi
untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan aturan dan pedoman
syari’ah. Audit internal maupun eksternal juga perlu melakukan hal
tersebut untuk menunjukkan kebutuhan audit untuk dilaporkan kepada pihak
manajemen.
Pemeriksaan
yang dilakukan sekilas terhadap industri layanan keuangan Islam khususnya di
Malaysia menunjukkan kepada kita gap yang
jelas dalam praktik pengawasan syari’ah. Walaupun begitu, DPS di bank syariah telah
memberikan opininya
terkait sharia compliance, ketelitian audit atau proses review terhadap kontrak legal syariah, dokumentasi dan operasi biasanya jarang
dilakukan sewajarnya. Tanpa adanya audit dan proses review akan ada
gap fungsional yang muncul dalam proses sharia
compliance. Gap ini menjadi cukup serius dalam sistem keuangan syariah yang
ditemukan dalam aturan syariah.
Pengawas syariah jarang sekali
melakukan dengan teliti review syariah internal atau audit dalam operasi bank syariah terkait cakupan kerjanya yang dibatasi. Di sisi lain,
peraturan perusahaan mensyaratkan bahwa Bank Syariah juga menjadi subjek audit
keuangan yang diaudit oleh audit eksternal yang biasa dilakukan oleh kantor
akuntan profesional. Di Malaysia, BNM sebagai badan pembuat regulasi tertinggi
dalam pasar keuangan lokal juga melakukan supervisi pada bank syariah termasuk
persoalan yang terkait syariah.
Di
Malaysia saat ini, program
audit syariah yang komprehensif hingga saat ini masih belum terbentuk. Program audit syariah dimaksudkan sebagai dokumen manual dasar yang menjelaskan secara rinci tahap
demi tahap dalam prosedur, kebijakan dan proses audit selama menawarkan jasa
keuangan syariah. Program audit ini juga terdapat SOP termasuk
akuntansi (MASB, AAOIFI, dll), persyaratan yang diatur (BNM), dan persyaratan
lain. Sejak audit syariah belum dibuat regulasinya oleh BNM, disitu dibutuhkan
auditor keuangan eksternal, auditor internal dan unit atau departemen syariah
dalam Bank Syariah untuk bekerjasama dengan pengawas syariah untuk memastikan sharia compliance terhadap aktifitas
keuangan syariah. Sebagai perbandingan, Bank Negara Pakistan (SBP) telah
melakukan usaha menyusun manual untuk audit syariah yang dikembangkan dalam
konsultasi bersama partner pengawas eksternal. Manual ini lalu diuji dalam Bank
di Pakistan dimana LKS mengembangkan skill audit syariah para staf-nya selama
melakukan pelatihan untuk menjadi staf inspeksi SBP.
Peluang
Penambahan
nilai-nilai stakeholder sebagai tujuan utama bagi semua kegiatan bisnis
termasuk perbankan syariah. Stabilitas mereka, performa keuangan dan kemampuan
untuk mengintermediasi sumber daya bergantung pada tingkat kepercayaan
stakeholder. Ciri-ciri kepercayaan utama yaitu rasa hormat layanan jasa
keuangan syariah adalah syarat untuk menyampaikan kepada stakeholder bahwa
bisnis keuangan mereka dilakukan dalam kesesuaian dengan kepercayaan religius
mereka (Grais dan Pellegrini, 2006).
Sejak
syariah menjadi sebuah landasan bagi produk dan jasa keuangan syariah, nasabah yang menemukan bahwa produk yang mereka miliki dalam
portofolionya tidak sharia compliant, ini menjadi
hal serius yang merusak tingkat kepercayaan industri jasa keuangan syariah secara keseluruhan.
Jadi, risiko sharia non-compliance menjadi tantangan
yang jelas bagi para regulator (Bhambra, 2007). Beberapa regulator
telah berusaha mencari solusi melalui berbagai implementasi melalui sistem dan
kontrol yang cukup yang dapat memastikan kesesuaian terhadap syariah. Sistem
dan pengendalian syariah yang demikian dapat memastikan bahwa aturan dan fatwa
dari DPS telah disosisalisasikan dan diterapkan di seluruh institusi keuangan.
Bagaimanapun juga, sistem dan kontrol syariah membutuhkan dukungan audit internal
dan eksternal yang dipersyaratkan. Persyaratan ini akan memberikan mekanisme
bagi para regulator untuk memonitor, mengontrol dan mengambil tindakan terhadap
institusi keuangan bila mereka tidak menemukan persyaratan syariah yang berdasar
pada kegagalan dalam mengurus dan menyesuaikan dengan sistem dan kontrol
internal. Sebagai tambahan, masing-masing struktur regulator diharapkan
memiliki kewenangan yang cukup untuk memastikan tindak lanjut yang diperlukan
agar bisa menindak setiap pelanggaran syariah yang terjadi di masa depan.
Praktik
saat ini dalam memastikan sharia compliance sepenuhnya
dipercayakan pada struktur internal perusahaan khususnya DPS. Hal ini pasti
memberikan kenyamanan bagi para stakeholder.
Namun, mereka menghadapi sejumlah tantangan besar
yang berhubungan dengan independensi, kepercayaan institusi –utamanya
informasi bagi para pemilik-, keterbatasan
ketersediaan para profesional dalam kemampuan keuangan dan syariah, dan kebutuhan
atas konsistensi dalam keputusan diantara para DPS (Grais dan
Pellegrini, 2006).
Literatur
dan praktik saat ini telah memberi perhatian pada pendirian struktur tata
kelola eksternal untuk memastikan kefektifan audit dan tata kelola syariah.
Chapra dan Habib (2002) mengusulkan bahwa kantor audit yang bersertifikasi harus mempelajari ilmu
yang berkaitan agar bisa melakukan audit syariah. Proses ini sedang
berlangsung yang dibuktikan oleh peningkatan jumlah perusahaan konsultan
independen dan kantor hukum yang menawarkan jasa pengawasan syariah. Sebagai
tambahan untuk mengurangi biaya audit internal dalam LKS, penggunaan jasa
tersebut dapat memberikan akses institusi untuk menjangkau tingkat keahlian
yang lebih tinggi. Bagaimanapun juga, hal ini tidak menjamin bahwa pergantian
kepada audit syariah eksternal dapat memberi jaminan nyata atas sharia compliance. Pendapat lain
mengatakan bahwa auditor internal umumnya lebih paham dengan sistem pencatatan,
kebijakan dan prosedur di institusi tersebut dan dapat memberikan tindakan
cepat kepada manajer. Hasilnya bisa lebih detil dan mendalam bila dilakukan
oleh audit internal.
Bila
kami mengamati praktik yang ada saat ini, output final dari keputusan DPS akan
ditampilkan sebagai bagian dari laporan tahunan dari bank syariah. Praktik DPS
saat ini memiliki sejumlah besar pembatas. Berikut ini adalah contoh dari
laporan tahunan Bank Syariah:
“Kami melakukan audit ini sesuai dengan
Standar Auditing yang disetujui di Malaysia. Standar ini mensyaratkan kami
untuk menyusun dan melakukan audit untuk memperoleh seluruh informasi dan
penjelasan yang kami anggap perlu untuk diberikan kepada kami bukti agar bisa
memberi alasan yang pasti bahwa laporan keuangan sudah bebas dari kesalahan
yang material” (Laporan Auditor).
“Tugas
dan tanggung jawab DPS adalah untuk mereview, menilai dan menganjurkan Direktur
terkait operasi grup dan bisnis perusahaan yang dimaksudkan untuk memastikan
bahwa mereka tidak terlibat dalam elemen yang ada yang tidak dianjurkan oleh
Islam. (...) Kami, ... dan ..., adalah dua anggota dari DPS, dengan ini
menyetujui atas nama Dewan, yang menyatakan opini kami, kegiatan operasi dari
Grup dan Perusahaan untuk tahun yang berakhir pada .... telah dilaksanakan
dengan kesesuaian terhadap prinsip syariah” (Laporan DPS).
Bila
kita bandingkan kedua pernyataan di atas, ada beberapa isu yang dapat
diidentifikasi. Pertama, Laporan
Auditor secara jelas memberikan independent
assurance pada integritas dan kejujuran informasi keuangan yang dihasilkan
bank syariah. Laporan audit keuangan membolehkan auditor memberikan opininya
apakah laporan keuangan telah disajikan, dalam keseluruhan aspek, telah sesuai
dengan kerangka kerja pelaporan yang diatur. Audit laporan keuangan dilibatkan
dalam mendapatkan dan mengevaluasi bukti tentang laporan keuangan entitas
sehingga bisa ditentukan tingkat korespondensinya antara pernyataan manajemen
dan kriteria yang ada, seperti persyaratan legal dan standar akuntansi (Leung,
Coram, dan Cooper, 2007). Tipe audit ini dilakukan oleh
auditor independen yang ditunjuk oleh shareholder
perusahaan. Auditor harus memenuhi kualifikasi dan mampu melakukan pekerjaan
secara independen dan dengan sikap yang objektif. Bila transaksi bisnis terlalu
banyak, bukti yang dibutuhkan diakumulasi ke dalam basis sampling. Kemudian, opini auditor
hanya berdasarkan pada kepastian yang beralasan dan bukan kepastian yang
menyeluruh.
Di
sisi lain, laporan DPS
mengindikasikan pernyataan opini yang mencerminkan kepastian menyeluruh
bahwa operasi dari
bank syariah telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah. Sehingga, bila
kita menguji aturan dan tanggung
jawab daripada DPS, mereka tidak memenuhi syarat melakukan audit sebagaimana yang dilakukan oleh auditor keuangan. Oleh karena itu, sungguh tidak
bijaksana bila mereka membuat pernyataan perusahaan untuk mengindikasikan
kepastian yang menyeluruh, selama fungsi mereka kurang dibanding yang dilakukan
oleh auditor keuangan. DPS
tidak bisa melakukan audit syariah untuk menyatakan opini mereka. Mereka
hanya menyetujui produk dan
jasa yang sesuai dengan
dokumen legal. Ini merupakan gap fungsional yang dapat kami identifikasi
dengan membandingkan Laporan Auditor dan Laporan DPS.
Kedua, auditor keuangan sudah
independen dan mereka bisa merupakan salah satu praktisi individual atau
anggota dari KAP yang memberikan jasa auditing profesional kepada para klien.
Dari sifat edukasi, pelatihan dan pengalamannya, auditor
independen memenuhi kualifikasi untuk mengaudit. Seperti halnya profesi
medis dan legal lainnya, auditor bekerja berdasar pada basis fee. Auditor diinginkan untuk independen
terhadap klien dalam mengaudit dan melaporkan hasilnya. Untuk menjadi
independen, auditor harus melakukannya tanpa bias menghargai klien selama
mengaudit dan bisa memunculkan kejujuran sehingga mereka percaya terhadap hasil
audit. Di sisi lain, ketika anggota DPS
telah memenuhi syarat dari lulusan syariah, mereka tidak
bisa dilatih dengan keras seperti auditor. Saat ini, belum ada
program pelatihan spesifik atau kualifikasi profesional bagi para lulusan
syariah yang secara efektif berfungsi dan mengekspresikan opini independen
mereka.
Para
anggota DPS diinginkan menjadi orang-orang dengan komitmen religius yang
mendalam. Kegagalan DPS
dalam sharia compliance akan menyita beban moral yang tak tertahankan,
yang tentu saja lebih besar ketimbang kehilangan pendapatan ekonomi. Dalam
pemahaman publik, DPS harus merasa independen sehingga laporan tersebut dinilai
kredibel (Abdel Karim, 1990). Tidak seperti auditor keuangan, yang mana mereka
diatur oleh atural legal dan kode etik profesional, DPS
dipandu oleh kepercayaan religius dan moral dimana terdapat tanggung
jawab terhadap saudara seiman dan komunitas. Ekspektasi ini menjadi
beban yang besar bagi akuntabilitas DPS untuk lebih kompeten dan independen.
Semenjak itu, tidak terdapat persyaratan bagi audit
syariah yang bisa diberlakukan seperti sekarang, ini kemudian menjadi ekspektasi berlebih kepada DPS untuk memberi laporan assurance
secara efektif.
Ketiga, bagi auditor keuangan, mereka
dapat dikenakan undang-undang dan hukum yang berlaku. Dalam kasus
ketidakberesan, auditor diharuskan membuat laporan bila mereka memiliki alasan
mendasar untuk mencurigai segala kontravensi hukum. Sebagai contoh DPS, mereka
memiliki undang-undang tanggung jawab sebagaimana yang diatur dalam Aturan Bank
Syariah 1983 (Pasal 5b) “bahwa disana, di ayat terkait asosiasi bank, provisi
untuk pendirian badan pengawas syariah untuk memberi saran kepada bank pada
operasi bisnis perbankan...”. Pasal 124 (7)(1) dari BAFIA juga menyatakan
kebutuhan Dewan Pengawas Syariah untuk memberi masukan pada bisnis perbankan
islam atau bisnis keuangan islam.
Tanggung jawab DPS utamanya untuk memberi saran kepada LKS, meskipun begitu tanggung jawab sebenarnya berada pada pihak manajemen
dari perbankan syariah. Kebalikan dari Laporan
DPS diatas mengindikasikan bahwa DPS telah mengambil tanggung
jawab tidak hanya untuk memberi saran tetapi
juga menyediakan assurance.
Hal ini tetap dilihat bahwa apa yang dilakukan DPS adalah bertanggungjawab
secara legal terhadap kasus sharia
non-compliance dan ketidakwajaran. Namun, DPS juga membutuhkan perlindungan
tidak hanya dari hukum yang ada tetapi juga dari segi moral di mata publik. Laporan DPS memang memiliki
nilai yang besar bagi manajemen untuk meyakinkan
kredibilitas LKS di mata publik secara keseluruhan.
Industri keuangan syariah saat ini tidak sepenuhnya secara
sistematis menerapkan audit syariah. Walaupun begitu produk dan jasa
yang disetujui oleh BNM dan pengawas syariah, tidak memiliki review sistematis
yang secara komprehensif diterapkan untuk memastikan sharia compliance secara tepat. Proses implementasi ini dapat
diinisiasi oleh pihak-pihak yang relevan seperti BNM, LKS sendiri dan/atau
institusi independen yang berdedikasi baik ditentukan oleh industri itu sendiri
atau oleh BNM.
Tantangan
Audit
syariah terhadap jasa keuangan syariah dapat dipahami sebagai akumulasi dan
evaluasi atas bukti-bukti untuk
memutuskan dan melaporkan tingkat korespondensi antara informasi dan
pembentukan kriteria untuk tujuan sharia
compliance. Auditing tersebut dapat dilakukan oleh orang yang kompeten,
orang yang independen. Untuk melakukan audit ini, harus ada informasi yang
dapat dibuktikan dan beberapa standar (kriteria) yang dievaluasi oleh auditor.
Informasi tersebut bisa menggunakan berbagai macam bentuk. Auditor syariah melakukan audit dalam aspek objektif (informasi keuangan misal: distribusi
profit) dan informasi subjektif (informasi
syariah) untuk memastikan sharia compliance di bank syariah.
Bukti-bukti audit
syariah
Tantangan
pertama dalam audit syariah adalah untuk menyusun bukti audit. Bukti audit syariah dapat didefinisikan sebagai informasi yang digunakan auditor untuk menentukan apakah
informasi yang diaudit telah sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan
kepastian syariah.
Kriteria untuk mengevaluasi informasi dapat
berubah-ubah tergantung jenis informasi yang diaudit. Dalam audit laporan keuangan historis, kriteria yang biasa
dipakai adalah kesesuaian dengan Standar Laporan
Keuangan. Untuk memperoleh informasi subjektif, lebih sulit untuk
menentukan kriterianya. Secara khas, auditor dan entitas akan sama-sama setuju
dengan kriteria yang disepakati sebelum melakukan audit. Untuk proses audit syariah di jasa keuangan syariah, kriteria dapat disusun
berdasarkan opini tertulis dari DPS, manual produk dan SOP.
Bukti
audit adalah informasi tetap yang digunakan auditor untuk menentukan apakah
informasi yang diaudit sesuai dengan kriteria yang berlaku. Hampir sama dengan
proses audit syariah, bukti-bukti akan mengambil
bentuk-bentuk yang termasuk: testimoni lisan dari
auditee; komunikasi tertulis dengan pihak ketiga; observasi auditor; maupun
data elektronik transaksi. Untuk memenuhi tujuan audit, auditor harus
mengumpulkan jumlah dan kualitas bukti yang cukup. Auditor harus menentukan
jenis dan jumlah bukti yang cukup serta mengevaluasi apakah informasinya cocok
dengan kriteria yang berlaku.
Bukti
termasuk informasi yang memiliki tingkat keyakinan yang tinggi, seperti investigasi auditor terkait dokumen legal, dan informasi yang sedikit meyakinkan
seperti respon pegawai. Auditor mengumpulkan bukti untuk melihat
kesamaan kesimpulan. Tujuan terbesar yang dihadapi auditor dapat ditentukan
dari jenis dan jumlah bukti yang cukup secara akumulasi untuk memenuhi
keinginan klien bahwa internal kontrol telah efektif mengatasi berbagai masalah
syariah.
Audit syariah dapat
melibatkan diri dalam review
sistematis atas aspek operasional LKS. Ini termasuk pemeriksaan
kebijakan dan prosedur LKS seperti manual produk, proses operasional, kontrak
dan lain-lain. Audit syariah juga membutuhkan review struktur organisasi untuk memastikan
berlakunya kepatuhan syariah. Ini termasuk ketersediaan staf berkualifikasi
dengan ilmu pengetahuan syariah yang cukup untuk mendukung kegiatan operasi
perbankan syariah.
Program dan Prosedur
Audit Syariah
Tantangan
kedua dalam melakukan audit syariah adalah menentukan program audit secara
sistematis dan teliti. Daftar prosedur audit untuk keseluruhan audit syariah
dipertimbangkan dalam program audit syariah. Disana terdapat program audit
untuk dokumen legal, prosedur operasional, dan seterusnya. Sebuah program audit
didesain untuk area audit yang khusus dari keseluruhan area cakupan audit. Oleh
karena itu diperlukan beberapa program audit yang
berbeda untuk beragam aktifitas departemen dan bisnis.
Program audit syariah dapat disusun
untuk memenuhi beragam jenis produk dan jasa keuangan syariah seperti: a) deposito dan investasi berdasarkan konsep wadi’ah dan mudharabah; b) pembiayan perumahan syariah berbasis pada BBA dan mudharabah musyarakah; c) pembiayaan
kendaraan syariah berbasis ijarah;
d) pembiayaan perdagangan
berbasis murabahah dan wakalah; e) pembiayaan perseorangan syariah dan kartu kredit; dan masih
banyak lagi. Program audit syariah juga dibutuhkan untuk memaparkan dalam
bahasa yang dapat dipahami oleh stakeholder
potensial. Respon mereka diperlukan setelah masa pengujian program audit
syariah dilakukan.
Audit syariah adalah proses
untuk memastikan bahwa aktifitas yang dilakukan oleh LKS tidak berkebalikan
dengan syariah. Cakupan
awal audit syariah bisa melalui audit laporan keuangan entitas. Ini
berguna untuk mereview dan memastikan transaksi keuangan telah diidentifikasi,
diukur dan dilaporkan secara akurat dan merefleksikan hak dan kewajiban yang
muncul dari berbagai kontrak syariah. Kecukupan untuk melakukan menerapkan
secara baik juga mempertimbangkan standar akuntansi yang ada, aturan dan
regulasi BNM, serta standar internasional yang relevan seperti yang dikeluarkan
oleh AAOIFI.
Terdapat
sedikitnya 3 tahapan dalam audit syariah yaitu:
1) Perencanaan, 2) Pemeriksaan,
dan 3) Pelaporan (Mohamed Sultan, 2007). Pada
tahap perencanaan, auditor
membutuhkan pemahaman atas
bisnis institusi keuangan syariah termasuk lingkungan kontrak yang digunakan
dalam berbagai jenis jasa keuangan syariah. Kemudian, auditor syariah
harus mengidentifikasi teknik, sumber daya dan cakupan yang sesuai untuk
menyusun program audit. Program audit kemudian mengidentifikasi aktifitas utama
apa yang harus diambil, tujuan dari setiap aktifitas dan teknik yang akan
digunakan termasuk tekhnik sampling untuk mencapai setiap tujuan audit.
Diantara tekhnik yang dapat digunakan ialah pemeriksaan dokumen, wawancara,
standar ukuran, survei, studi kasus, flow chart dan lain-lain.
Selama
tahap pemeriksaan, teknik audit
diwajibkan untuk diidentifikasi dan menyebar. Teknik yang diwajibkan dibutuhkan
untuk mengumpulkan bukti yang cukup dari sisi kualitas dan kuantitas, untuk
memenuhi kesimpulan yang relevan agar mencapai sharia compliance. Disana akan menjadi aspek yang pasti dalam area
kerja audit yang memenuhi teknik sampling. Pemeriksaan lebih rinci atas dokumen
akan menjadi cukup bila metodologi sampling digunakan atau tidak. Hal yang
penting sekali selama dalam proses kerja ialah kertas kerja dan catatan audit. Tujuan utama dari menjaga kertas
kerja ialah untuk melengkapi pencatatan
sistematis kerja yang dilakukan selama audit dan juga mencerminkan pencatatan informasi dan fakta yang dikumpulkan
untuk mendukung temuan dan kesimpulan.
Tahap
akhir, tahap pelaporan, mewujudkan
penyampaian atas pemeriksaan audit. Ini termasuk persiapan laporan audit
syariah, yang mengkomunikasikan temuan auditor kepada para user. Laporan ini berbeda bentuknya dengan yang sudah ada, tetapi
harus memberi tahu kepada pembaca tingkat kesesuaian antara informasi dan
kriteria yang ada.
Pendidikan Audit
Syariah
Tantangan
ketiga ialah menghasilkan auditor syariah yang kompeten dan independen. Auditor
syariah harus memahami kriteria yang digunakan dalam audit syariah dan kompeten
untuk melihat jenis dan jumlah bukti yang dikumpulkan sebelum menyelesaikan
audit. Auditor juga harus memiliki sikap mental yang independen. Kompetensi
individu melakukan audit adalah sebagian kecil bila dia bias dalam mengumpulkan
dan mengevaluasi bukti-bukti. Walaupun independensi mutlak adalah hal yang
mustahil, auditor syariah harus mengelola tingkat independensi yang tinggi
untuk meningkatkan kepercayaan user
atas laporannya. Dalam kasus auditor syariah internal –yang dipekerjakan
perusahaan untuk mengaudit– mereka biasanya melaporkan langsung kepada top
manajemen, menjaga independensi auditor atas unit operasi yang diaudit.
Sejauh ini, tidak ada
pendidikan akademis dan profesional khusus serta program pelatihan dalam audit
syariah yang bisa memenuhi kebutuhan pihak regulator dan lembaga
keuangan. Pendidikan dan program pelatihan dapat membuat auditor syariah
memiliki dua basis keilmuan yaitu spesialisasi ilmu syariah yang diterapkan
dalam keuangan dan perbankan syariah, dan ilmu serta kemampuan akuntansi dan
auditing. Dua kelompok potensial yang bisa diberi pendidikan dan pelatihan audit
syariah ialah lulusan syariah dan akuntansi. Kebutuhan atas para profesional
yang berkualifikasi dan berdedikasi pasti terwujud seiring dengan perluasan
industri keuangan dan perbankan syariah di tingkat global.
Kesimpulan
Paper
ini berpendapat bahwa audit syariah dibutuhkan untuk
melengkapi mekanisme tata kelola dari industri jasa keuangan syariah
saat ini. Terdapat beberapa tantangan yang diidentifikasi bahwa harus dapat
dipastikan audit syariah telah diimplementasi secara efektif. Sementara itu,
terdapat kebutuhan pada penelitian dan pengembangan. Penelitian
dan pengembangan mengharuskan review kritis atas praktik pengawas syariah yang
ada saat ini, dan juga mengevaluasi kecukupan
serta keterbatasan kerangka kerja governance yang ada. Disini
juga terdapat persyaratan untuk kerangka kerja yang akan merinci pedoman
kebijakan untuk diterapkan sewajarnya bagi internal dan eksternal audit syariah
yang bisa digunakan sebagai bagian dari pengawasan rutinitas pada LKS di
Malaysia. Sebagai tambahan, pedoman kebijakan tertulis juga diperlukan bagi LKS
itu sendiri, dalam melakukan internal audit syariah di institusi mereka.
Terakhir, program audit syariah yang teliti dan teruji bagi LKS akan menjadi
syarat utama sesudah infrastruktur regulator berada di tempatnya. Hal ini dapat
dicapai oleh kerjasama semua pihak relevan yang berkepentingan seperti LKS,
BNM, KAP, dan DPS agar menyusun program audit syariah secara efektif untuk
memastikan pencapaian sharia compliance.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar