Label

Sabtu, 15 November 2014

TERJEMAHAN - ISRA ISLAMIC FINANCE SEMINAR SHARI’AH AUDIT FOR ISLAMIC FINANCIAL SERVICES: THE NEEDS AND CHALLENGES

Dr. Abdul Rahim Abdul Rahman

(International Islamic University Malaysia)

Pendahuluan
       Institusi yang menawarkan jasa keuangan Islam diharapkan berjalan sesuai dengan aturan etika Islam dan fungsi wajib yang dibatasi oleh syari’ah. Dalam hal untuk memastikan bahwa kegiatan operasi dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tidak kontradiktif dengan syari’ah, maka Shari’ah Advisory Council (SAC), SSB atau Shari’ah Supervisory Committee (SSC) memiliki fungsi normal sebagai penasehat atau pengawas terhadap aktifitas perbankan Islam. Di tingkat internasional, AAOIFI dan Islamic Financial Service Board (IFSB) telah mengeluarkan beberapa standar dan pedoman tata kelola. Di Malaysia, Bank Negara malaysia (BNM) juga telah mengeluarkan pedoman yang relevan untuk memastikan penerapan regulasi secara bijaksana terhadap persoalan syari’ah pada LKS.
       Tujuan utama dari paper ini ialah untuk mengevaluasi kebutuhan atas audit syari’ah untuk melengkapi mekanisme kepatuhan syari’ah yang telah ditetapkan. Audit syari’ah harus dijalankan secara sistematis sebagai bagian dari mekanisme tata kelola perusahaan LKS. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan permintaan para stakeholder dalam hal jaminan atas kepatuhan dan akuntabilitas syari’ah. Paper ini juga membahas beberapa tantangan sebagai prasyarat untuk melakukan audit syari’ah secara efektif.

Keadaan Status Quo
       Struktur tata kelola syari’ah yang ada di Malaysia saat ini terpusat di National Shari’ah Advisory Council (NSAC) –DSN– yang menjadi satu-satunya lembaga pemerintah yang menjadi penasehat BNM untuk kegiatan operasional takaful dan perbankan syari’ah. NSAC memiliki kekuatan untuk mengeluarkan fatwa dan ketetapan fatwa ini mengikat seluruh institusi keuangan di negara ini. Fungsi NSAC adalah diantaranya, memastikan bank patuh terhadap aturan dan pedoman syari’ah. NSAC secara teoretis, diharapkan mempelajari dan memeriksa dengan cermat opini syari’ah dari SSC –DPS– di masing-masing institusi keuangan dan perbankan syari’ah. NSAC juga dipercaya untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan dan pedoman syari’ah dari pengawas operasional bank. Fungsi lainnya termasuk memberi saran kepada institusi keuangan dan perbankan Islam terkait isu syari’ah yang terkait kesepakatan operasional dan keuangan. NSAC juga memiliki wewenang memeriksa, dengan hukum dan peraturan yang terkait dengan aktifitas institusi keuangan.
       Sebagai tambahan, Securities Commission (SC) menerangkan kriteria penasehat syari’ah atau komite syari’ah dalam Offering of Private Debt Securities Guideline 2000, Section 32:
(1) Seorang penasihat harus orang yang bukan termasuk kategori pailit, yang juga bukan seorang terdakwa dan tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum. Penasihat juga harus memiliki reputasi yang baik dan memiliki kualifikasi dan keahlian yang relevan, khususnya dalam hal fiqih mu’amalah dan ilmu hukum Islam, dengan minimum 3 tahun pengalaman bekerja atau meninjau keuangan Islam. Bagian di atas juga menyatakan bahwa yang menetapkan Private Debt Securities harus menunjuk salah satu orang sebagai pengawas syari’ah dengan kriteria yang telah disebutkan atau menunjuk komite syari’ah pada perbankan Islam atau lembaga yang diakui oleh BNM.
       Pada tahun 2006, IFSB mengeluarkan Guiding Principles on Corporate Governance untuk institusi yang menawarkan layanan keuangan syari’ah. Aturan tersebut menyarankan agar Board of Directors (BOD) membentuk Governance Committee, yang berisikan 3 orang anggota, untuk mengkoordinasi dan mengintegrasi penerapan atas kerangka kerja kebijakan tata kelola dan satu anggota bisa berasal dari sarjana syari’ah (mungkin bisa berasal dari DPS). Hal ini memberi kuasa terhadap peran penasihat syari’ah seperti halnya menempatkan kepatuhan syari’ah sebagai bagian dari perhatian atas keseluruhan tata kelola. Ini juga merupakan usaha untuk mendampingi Governance Committee untuk secara efektif terhubungkan dengan isu tata kelola syari’ah, dan juga mengkoordinasi dan menghubungkan aturan pelengkap dan fungsi dari Governance Committee dan juga DPS.
       Persyaratan bagi institusi keuangan dan perbankan Islam untuk membawa kegiatan bisnisnya sejalan dengan aturan dan pedoman syari’ah telah ditetapkan pada Islamic Banking Act, 1983. Seksi 5 (b) menentukan kebutuhan atas pendirian SAC – “dan disana, pada pasal yang menjadi perhatian asosiasi bank, ketetapan pendirian badan penasihat syari’ah untuk memberi tahu bank atas kegiatan operasi dari bisnis perbankannya”. Secara umum, terdapat 2 tipe kepatuhan syari’ah: (i) ex-ante compliance, dan (ii) ex-post compliance. Ex-ante shari’ah compliance pada dasarnya adalah tugas SAC dalam pengawasan, monitoring dan pengendalian yang mengambil tempat pada dan selama pelaksanaan kesepakatan perbankan. Aktifitas ini termasuk memastikan bahwa bank dan institusi keuangan patuh terhadap aturan dan pedoman syari’ah selama pembentukan kontrak dan perjanjian, selama proses transaksi, selama penyelesaian dan pengeksekusian kontrak, dan utamanya terhadap implementasi dari kontrak dan likuidasi.
       Sejauh ini, hanya sedikit institusi yang menggunakan proses ex-post shariah compliance. Proses ex-post shariah compliance ini mengharuskan audit yang cermat dan menyeluruh untuk mereview dan mengecek transaksi yang muncul setelah kontrak dilakukan.  Proses ex-post shariah compliance ini pada dasarnya memperlihatkan sampel acak atas penyelesaian traksaksi untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan aturan dan pedoman syari’ah. Audit internal maupun eksternal juga perlu melakukan hal tersebut untuk menunjukkan kebutuhan audit untuk dilaporkan kepada pihak manajemen.
       Pemeriksaan yang dilakukan sekilas terhadap industri layanan keuangan Islam khususnya di Malaysia menunjukkan kepada kita gap yang jelas dalam praktik pengawasan syari’ah. Walaupun begitu, DPS di bank syariah telah memberikan opininya terkait sharia compliance, ketelitian audit atau proses review terhadap kontrak legal syariah, dokumentasi dan operasi biasanya jarang dilakukan sewajarnya. Tanpa adanya audit dan proses review akan ada gap fungsional yang muncul dalam proses sharia compliance. Gap ini menjadi cukup serius dalam sistem keuangan syariah yang ditemukan dalam aturan syariah.
       Pengawas syariah jarang sekali melakukan dengan teliti review syariah internal atau audit dalam operasi bank syariah terkait cakupan kerjanya yang dibatasi. Di sisi lain, peraturan perusahaan mensyaratkan bahwa Bank Syariah juga menjadi subjek audit keuangan yang diaudit oleh audit eksternal yang biasa dilakukan oleh kantor akuntan profesional. Di Malaysia, BNM sebagai badan pembuat regulasi tertinggi dalam pasar keuangan lokal juga melakukan supervisi pada bank syariah termasuk persoalan yang terkait syariah.
       Di Malaysia saat ini, program audit syariah yang komprehensif hingga saat ini masih belum terbentuk. Program audit syariah dimaksudkan sebagai dokumen manual dasar yang menjelaskan secara rinci tahap demi tahap dalam prosedur, kebijakan dan proses audit selama menawarkan jasa keuangan syariah. Program audit ini juga terdapat SOP termasuk akuntansi (MASB, AAOIFI, dll), persyaratan yang diatur (BNM), dan persyaratan lain. Sejak audit syariah belum dibuat regulasinya oleh BNM, disitu dibutuhkan auditor keuangan eksternal, auditor internal dan unit atau departemen syariah dalam Bank Syariah untuk bekerjasama dengan pengawas syariah untuk memastikan sharia compliance terhadap aktifitas keuangan syariah. Sebagai perbandingan, Bank Negara Pakistan (SBP) telah melakukan usaha menyusun manual untuk audit syariah yang dikembangkan dalam konsultasi bersama partner pengawas eksternal. Manual ini lalu diuji dalam Bank di Pakistan dimana LKS mengembangkan skill audit syariah para staf-nya selama melakukan pelatihan untuk menjadi staf inspeksi SBP.

Peluang
       Penambahan nilai-nilai stakeholder sebagai tujuan utama bagi semua kegiatan bisnis termasuk perbankan syariah. Stabilitas mereka, performa keuangan dan kemampuan untuk mengintermediasi sumber daya bergantung pada tingkat kepercayaan stakeholder. Ciri-ciri kepercayaan utama yaitu rasa hormat layanan jasa keuangan syariah adalah syarat untuk menyampaikan kepada stakeholder bahwa bisnis keuangan mereka dilakukan dalam kesesuaian dengan kepercayaan religius mereka (Grais dan Pellegrini, 2006).
       Sejak syariah menjadi sebuah landasan bagi produk dan jasa keuangan syariah, nasabah yang menemukan bahwa produk yang mereka miliki dalam portofolionya tidak sharia compliant, ini menjadi hal serius yang merusak tingkat kepercayaan industri  jasa keuangan syariah secara keseluruhan. Jadi, risiko sharia non-compliance menjadi tantangan yang jelas bagi para regulator (Bhambra, 2007). Beberapa regulator telah berusaha mencari solusi melalui berbagai implementasi melalui sistem dan kontrol yang cukup yang dapat memastikan kesesuaian terhadap syariah. Sistem dan pengendalian syariah yang demikian dapat memastikan bahwa aturan dan fatwa dari DPS telah disosisalisasikan dan diterapkan di seluruh institusi keuangan. Bagaimanapun juga, sistem dan kontrol syariah membutuhkan dukungan audit internal dan eksternal yang dipersyaratkan. Persyaratan ini akan memberikan mekanisme bagi para regulator untuk memonitor, mengontrol dan mengambil tindakan terhadap institusi keuangan bila mereka tidak menemukan persyaratan syariah yang berdasar pada kegagalan dalam mengurus dan menyesuaikan dengan sistem dan kontrol internal. Sebagai tambahan, masing-masing struktur regulator diharapkan memiliki kewenangan yang cukup untuk memastikan tindak lanjut yang diperlukan agar bisa menindak setiap pelanggaran syariah yang terjadi di masa depan.
       Praktik saat ini dalam memastikan sharia compliance sepenuhnya dipercayakan pada struktur internal perusahaan khususnya DPS. Hal ini pasti memberikan kenyamanan bagi para stakeholder. Namun, mereka menghadapi sejumlah tantangan besar yang berhubungan dengan independensi, kepercayaan institusi –utamanya informasi bagi para pemilik-, keterbatasan ketersediaan para profesional dalam kemampuan keuangan dan syariah, dan kebutuhan atas konsistensi dalam keputusan diantara para DPS (Grais dan Pellegrini, 2006).
       Literatur dan praktik saat ini telah memberi perhatian pada pendirian struktur tata kelola eksternal untuk memastikan kefektifan audit dan tata kelola syariah. Chapra dan Habib (2002) mengusulkan bahwa kantor audit yang bersertifikasi harus mempelajari ilmu yang berkaitan agar bisa melakukan audit syariah. Proses ini sedang berlangsung yang dibuktikan oleh peningkatan jumlah perusahaan konsultan independen dan kantor hukum yang menawarkan jasa pengawasan syariah. Sebagai tambahan untuk mengurangi biaya audit internal dalam LKS, penggunaan jasa tersebut dapat memberikan akses institusi untuk menjangkau tingkat keahlian yang lebih tinggi. Bagaimanapun juga, hal ini tidak menjamin bahwa pergantian kepada audit syariah eksternal dapat memberi jaminan nyata atas sharia compliance. Pendapat lain mengatakan bahwa auditor internal umumnya lebih paham dengan sistem pencatatan, kebijakan dan prosedur di institusi tersebut dan dapat memberikan tindakan cepat kepada manajer. Hasilnya bisa lebih detil dan mendalam bila dilakukan oleh audit internal.
       Bila kami mengamati praktik yang ada saat ini, output final dari keputusan DPS akan ditampilkan sebagai bagian dari laporan tahunan dari bank syariah. Praktik DPS saat ini memiliki sejumlah besar pembatas. Berikut ini adalah contoh dari laporan tahunan Bank Syariah:
          “Kami melakukan audit ini sesuai dengan Standar Auditing yang disetujui di Malaysia. Standar ini mensyaratkan kami untuk menyusun dan melakukan audit untuk memperoleh seluruh informasi dan penjelasan yang kami anggap perlu untuk diberikan kepada kami bukti agar bisa memberi alasan yang pasti bahwa laporan keuangan sudah bebas dari kesalahan yang material” (Laporan Auditor).
          “Tugas dan tanggung jawab DPS adalah untuk mereview, menilai dan menganjurkan Direktur terkait operasi grup dan bisnis perusahaan yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam elemen yang ada yang tidak dianjurkan oleh Islam. (...) Kami, ... dan ..., adalah dua anggota dari DPS, dengan ini menyetujui atas nama Dewan, yang menyatakan opini kami, kegiatan operasi dari Grup dan Perusahaan untuk tahun yang berakhir pada .... telah dilaksanakan dengan kesesuaian terhadap prinsip syariah” (Laporan DPS).
       Bila kita bandingkan kedua pernyataan di atas, ada beberapa isu yang dapat diidentifikasi. Pertama, Laporan Auditor secara jelas memberikan independent assurance pada integritas dan kejujuran informasi keuangan yang dihasilkan bank syariah. Laporan audit keuangan membolehkan auditor memberikan opininya apakah laporan keuangan telah disajikan, dalam keseluruhan aspek, telah sesuai dengan kerangka kerja pelaporan yang diatur. Audit laporan keuangan dilibatkan dalam mendapatkan dan mengevaluasi bukti tentang laporan keuangan entitas sehingga bisa ditentukan tingkat korespondensinya antara pernyataan manajemen dan kriteria yang ada, seperti persyaratan legal dan standar akuntansi (Leung, Coram, dan Cooper, 2007). Tipe audit ini dilakukan oleh auditor independen yang ditunjuk oleh shareholder perusahaan. Auditor harus memenuhi kualifikasi dan mampu melakukan pekerjaan secara independen dan dengan sikap yang objektif. Bila transaksi bisnis terlalu banyak, bukti yang dibutuhkan diakumulasi ke dalam basis sampling. Kemudian, opini auditor hanya berdasarkan pada kepastian yang beralasan dan bukan kepastian yang menyeluruh.
       Di sisi lain, laporan DPS mengindikasikan pernyataan opini yang mencerminkan kepastian menyeluruh bahwa operasi dari bank syariah telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah. Sehingga, bila kita menguji aturan dan tanggung jawab daripada DPS, mereka tidak memenuhi syarat melakukan audit sebagaimana yang dilakukan oleh auditor keuangan. Oleh karena itu, sungguh tidak bijaksana bila mereka membuat pernyataan perusahaan untuk mengindikasikan kepastian yang menyeluruh, selama fungsi mereka kurang dibanding yang dilakukan oleh auditor keuangan. DPS tidak bisa melakukan audit syariah untuk menyatakan opini mereka. Mereka hanya menyetujui produk dan jasa yang sesuai dengan dokumen legal. Ini merupakan gap fungsional yang dapat kami identifikasi dengan membandingkan Laporan Auditor dan Laporan DPS.
       Kedua, auditor keuangan sudah independen dan mereka bisa merupakan salah satu praktisi individual atau anggota dari KAP yang memberikan jasa auditing profesional kepada para klien. Dari sifat edukasi, pelatihan dan pengalamannya, auditor independen memenuhi kualifikasi untuk mengaudit. Seperti halnya profesi medis dan legal lainnya, auditor bekerja berdasar pada basis fee. Auditor diinginkan untuk independen terhadap klien dalam mengaudit dan melaporkan hasilnya. Untuk menjadi independen, auditor harus melakukannya tanpa bias menghargai klien selama mengaudit dan bisa memunculkan kejujuran sehingga mereka percaya terhadap hasil audit. Di sisi lain, ketika anggota DPS telah memenuhi syarat dari lulusan syariah, mereka tidak bisa dilatih dengan keras seperti auditor. Saat ini, belum ada program pelatihan spesifik atau kualifikasi profesional bagi para lulusan syariah yang secara efektif berfungsi dan mengekspresikan opini independen mereka.
       Para anggota DPS diinginkan menjadi orang-orang dengan komitmen religius yang mendalam. Kegagalan DPS dalam sharia compliance akan menyita beban moral yang tak tertahankan, yang tentu saja lebih besar ketimbang kehilangan pendapatan ekonomi. Dalam pemahaman publik, DPS harus merasa independen sehingga laporan tersebut dinilai kredibel (Abdel Karim, 1990). Tidak seperti auditor keuangan, yang mana mereka diatur oleh atural legal dan kode etik profesional, DPS dipandu oleh kepercayaan religius dan moral dimana terdapat tanggung jawab terhadap saudara seiman dan komunitas. Ekspektasi ini menjadi beban yang besar bagi akuntabilitas DPS untuk lebih kompeten dan independen. Semenjak itu, tidak terdapat persyaratan bagi audit syariah yang bisa diberlakukan seperti sekarang, ini kemudian menjadi ekspektasi berlebih kepada DPS untuk memberi laporan assurance secara efektif.
       Ketiga, bagi auditor keuangan, mereka dapat dikenakan undang-undang dan hukum yang berlaku. Dalam kasus ketidakberesan, auditor diharuskan membuat laporan bila mereka memiliki alasan mendasar untuk mencurigai segala kontravensi hukum. Sebagai contoh DPS, mereka memiliki undang-undang tanggung jawab sebagaimana yang diatur dalam Aturan Bank Syariah 1983 (Pasal 5b) “bahwa disana, di ayat terkait asosiasi bank, provisi untuk pendirian badan pengawas syariah untuk memberi saran kepada bank pada operasi bisnis perbankan...”. Pasal 124 (7)(1) dari BAFIA juga menyatakan kebutuhan Dewan Pengawas Syariah untuk memberi masukan pada bisnis perbankan islam atau bisnis keuangan islam.
       Tanggung jawab DPS utamanya untuk memberi saran kepada LKS, meskipun begitu tanggung jawab sebenarnya berada pada pihak manajemen dari perbankan syariah. Kebalikan dari Laporan DPS diatas mengindikasikan bahwa DPS telah mengambil tanggung jawab tidak hanya untuk memberi saran tetapi juga menyediakan assurance. Hal ini tetap dilihat bahwa apa yang dilakukan DPS adalah bertanggungjawab secara legal terhadap kasus sharia non-compliance dan ketidakwajaran. Namun, DPS juga membutuhkan perlindungan tidak hanya dari hukum yang ada tetapi juga dari segi moral di mata publik. Laporan DPS memang memiliki nilai yang besar bagi manajemen untuk meyakinkan kredibilitas LKS di mata publik secara keseluruhan.
       Industri keuangan syariah saat ini tidak sepenuhnya secara sistematis menerapkan audit syariah. Walaupun begitu produk dan jasa yang disetujui oleh BNM dan pengawas syariah, tidak memiliki review sistematis yang secara komprehensif diterapkan untuk memastikan sharia compliance secara tepat. Proses implementasi ini dapat diinisiasi oleh pihak-pihak yang relevan seperti BNM, LKS sendiri dan/atau institusi independen yang berdedikasi baik ditentukan oleh industri itu sendiri atau oleh BNM.

Tantangan
       Audit syariah terhadap jasa keuangan syariah dapat dipahami sebagai akumulasi dan evaluasi  atas bukti-bukti untuk memutuskan dan melaporkan tingkat korespondensi antara informasi dan pembentukan kriteria untuk tujuan sharia compliance. Auditing tersebut dapat dilakukan oleh orang yang kompeten, orang yang independen. Untuk melakukan audit ini, harus ada informasi yang dapat dibuktikan dan beberapa standar (kriteria) yang dievaluasi oleh auditor. Informasi tersebut bisa menggunakan berbagai macam bentuk. Auditor syariah melakukan audit dalam aspek objektif (informasi keuangan misal: distribusi profit) dan informasi subjektif (informasi syariah) untuk memastikan sharia compliance di bank syariah.

Bukti-bukti audit syariah
       Tantangan pertama dalam audit syariah adalah untuk menyusun bukti audit. Bukti audit syariah dapat didefinisikan sebagai informasi yang digunakan auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit telah sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan kepastian syariah.
       Kriteria untuk mengevaluasi informasi dapat berubah-ubah tergantung jenis informasi yang diaudit. Dalam audit laporan keuangan historis, kriteria yang biasa dipakai adalah kesesuaian dengan Standar Laporan Keuangan. Untuk memperoleh informasi subjektif, lebih sulit untuk menentukan kriterianya. Secara khas, auditor dan entitas akan sama-sama setuju dengan kriteria yang disepakati sebelum melakukan audit. Untuk proses audit syariah di jasa keuangan syariah, kriteria dapat disusun berdasarkan opini tertulis dari DPS, manual produk dan SOP.
       Bukti audit adalah informasi tetap yang digunakan auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit sesuai dengan kriteria yang berlaku. Hampir sama dengan proses audit syariah, bukti-bukti akan mengambil bentuk-bentuk yang termasuk: testimoni lisan dari auditee; komunikasi tertulis dengan pihak ketiga; observasi auditor; maupun data elektronik transaksi. Untuk memenuhi tujuan audit, auditor harus mengumpulkan jumlah dan kualitas bukti yang cukup. Auditor harus menentukan jenis dan jumlah bukti yang cukup serta mengevaluasi apakah informasinya cocok dengan kriteria yang berlaku.
       Bukti termasuk informasi yang memiliki tingkat keyakinan yang tinggi, seperti investigasi auditor terkait dokumen legal, dan informasi yang sedikit meyakinkan seperti respon pegawai. Auditor mengumpulkan bukti untuk melihat kesamaan kesimpulan. Tujuan terbesar yang dihadapi auditor dapat ditentukan dari jenis dan jumlah bukti yang cukup secara akumulasi untuk memenuhi keinginan klien bahwa internal kontrol telah efektif mengatasi berbagai masalah syariah.
       Audit syariah dapat melibatkan diri dalam review sistematis atas aspek operasional LKS. Ini termasuk pemeriksaan kebijakan dan prosedur LKS seperti manual produk, proses operasional, kontrak dan lain-lain. Audit syariah juga membutuhkan review struktur organisasi untuk memastikan berlakunya kepatuhan syariah. Ini termasuk ketersediaan staf berkualifikasi dengan ilmu pengetahuan syariah yang cukup untuk mendukung kegiatan operasi perbankan syariah.

Program dan Prosedur Audit Syariah
       Tantangan kedua dalam melakukan audit syariah adalah menentukan program audit secara sistematis dan teliti. Daftar prosedur audit untuk keseluruhan audit syariah dipertimbangkan dalam program audit syariah. Disana terdapat program audit untuk dokumen legal, prosedur operasional, dan seterusnya. Sebuah program audit didesain untuk area audit yang khusus dari keseluruhan area cakupan audit. Oleh karena itu diperlukan beberapa program audit yang berbeda untuk beragam aktifitas departemen dan bisnis.
       Program audit syariah dapat disusun untuk memenuhi beragam jenis produk dan jasa keuangan syariah seperti: a) deposito dan investasi berdasarkan konsep wadi’ah dan mudharabah; b) pembiayan perumahan syariah berbasis pada BBA dan mudharabah musyarakah; c) pembiayaan kendaraan syariah berbasis ijarah; d) pembiayaan perdagangan berbasis murabahah dan wakalah; e) pembiayaan perseorangan syariah dan kartu kredit; dan masih banyak lagi. Program audit syariah juga dibutuhkan untuk memaparkan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh stakeholder potensial. Respon mereka diperlukan setelah masa pengujian program audit syariah dilakukan.
       Audit syariah adalah proses untuk memastikan bahwa aktifitas yang dilakukan oleh LKS tidak berkebalikan dengan syariah. Cakupan awal audit syariah bisa melalui audit laporan keuangan entitas. Ini berguna untuk mereview dan memastikan transaksi keuangan telah diidentifikasi, diukur dan dilaporkan secara akurat dan merefleksikan hak dan kewajiban yang muncul dari berbagai kontrak syariah. Kecukupan untuk melakukan menerapkan secara baik juga mempertimbangkan standar akuntansi yang ada, aturan dan regulasi BNM, serta standar internasional yang relevan seperti yang dikeluarkan oleh AAOIFI.
       Terdapat sedikitnya 3 tahapan dalam audit syariah yaitu: 1) Perencanaan, 2) Pemeriksaan, dan 3) Pelaporan (Mohamed Sultan, 2007). Pada tahap perencanaan, auditor membutuhkan pemahaman atas bisnis institusi keuangan syariah termasuk lingkungan kontrak yang digunakan dalam berbagai jenis jasa keuangan syariah. Kemudian, auditor syariah harus mengidentifikasi teknik, sumber daya dan cakupan yang sesuai untuk menyusun program audit. Program audit kemudian mengidentifikasi aktifitas utama apa yang harus diambil, tujuan dari setiap aktifitas dan teknik yang akan digunakan termasuk tekhnik sampling untuk mencapai setiap tujuan audit. Diantara tekhnik yang dapat digunakan ialah pemeriksaan dokumen, wawancara, standar ukuran, survei, studi kasus, flow chart dan lain-lain.
       Selama tahap pemeriksaan, teknik audit diwajibkan untuk diidentifikasi dan menyebar. Teknik yang diwajibkan dibutuhkan untuk mengumpulkan bukti yang cukup dari sisi kualitas dan kuantitas, untuk memenuhi kesimpulan yang relevan agar mencapai sharia compliance. Disana akan menjadi aspek yang pasti dalam area kerja audit yang memenuhi teknik sampling. Pemeriksaan lebih rinci atas dokumen akan menjadi cukup bila metodologi sampling digunakan atau tidak. Hal yang penting sekali selama dalam proses kerja ialah kertas kerja dan catatan audit. Tujuan utama dari menjaga kertas kerja ialah untuk melengkapi pencatatan sistematis kerja yang dilakukan selama audit dan juga mencerminkan pencatatan informasi dan fakta yang dikumpulkan untuk mendukung temuan dan kesimpulan.
       Tahap akhir, tahap pelaporan, mewujudkan penyampaian atas pemeriksaan audit. Ini termasuk persiapan laporan audit syariah, yang mengkomunikasikan temuan auditor kepada para user. Laporan ini berbeda bentuknya dengan yang sudah ada, tetapi harus memberi tahu kepada pembaca tingkat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang ada.

Pendidikan Audit Syariah
       Tantangan ketiga ialah menghasilkan auditor syariah yang kompeten dan independen. Auditor syariah harus memahami kriteria yang digunakan dalam audit syariah dan kompeten untuk melihat jenis dan jumlah bukti yang dikumpulkan sebelum menyelesaikan audit. Auditor juga harus memiliki sikap mental yang independen. Kompetensi individu melakukan audit adalah sebagian kecil bila dia bias dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti. Walaupun independensi mutlak adalah hal yang mustahil, auditor syariah harus mengelola tingkat independensi yang tinggi untuk meningkatkan kepercayaan user atas laporannya. Dalam kasus auditor syariah internal –yang dipekerjakan perusahaan untuk mengaudit– mereka biasanya melaporkan langsung kepada top manajemen, menjaga independensi auditor atas unit operasi yang diaudit.
       Sejauh ini, tidak ada pendidikan akademis dan profesional khusus serta program pelatihan dalam audit syariah yang bisa memenuhi kebutuhan pihak regulator dan lembaga keuangan. Pendidikan dan program pelatihan dapat membuat auditor syariah memiliki dua basis keilmuan yaitu spesialisasi ilmu syariah yang diterapkan dalam keuangan dan perbankan syariah, dan ilmu serta kemampuan akuntansi dan auditing. Dua kelompok potensial yang bisa diberi pendidikan dan pelatihan audit syariah ialah lulusan syariah dan akuntansi. Kebutuhan atas para profesional yang berkualifikasi dan berdedikasi pasti terwujud seiring dengan perluasan industri keuangan dan perbankan syariah di tingkat global.

Kesimpulan
       Paper ini berpendapat bahwa audit syariah dibutuhkan untuk melengkapi mekanisme tata kelola dari industri jasa keuangan syariah saat ini. Terdapat beberapa tantangan yang diidentifikasi bahwa harus dapat dipastikan audit syariah telah diimplementasi secara efektif. Sementara itu, terdapat kebutuhan pada penelitian dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan mengharuskan review kritis atas praktik pengawas syariah yang ada saat ini, dan juga mengevaluasi kecukupan  serta keterbatasan kerangka kerja governance yang ada. Disini juga terdapat persyaratan untuk kerangka kerja yang akan merinci pedoman kebijakan untuk diterapkan sewajarnya bagi internal dan eksternal audit syariah yang bisa digunakan sebagai bagian dari pengawasan rutinitas pada LKS di Malaysia. Sebagai tambahan, pedoman kebijakan tertulis juga diperlukan bagi LKS itu sendiri, dalam melakukan internal audit syariah di institusi mereka. Terakhir, program audit syariah yang teliti dan teruji bagi LKS akan menjadi syarat utama sesudah infrastruktur regulator berada di tempatnya. Hal ini dapat dicapai oleh kerjasama semua pihak relevan yang berkepentingan seperti LKS, BNM, KAP, dan DPS agar menyusun program audit syariah secara efektif untuk memastikan pencapaian sharia compliance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar