Hisham Yaacob
Nor Khadijah Donglah
Abstrak
Industri keuangan Islam diklaim menjadi
salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat dan diduga tahan terhadap
setiap kekacauan ekonomi. Pertumbuhan antara 15 sampai 20% dalam dekade
terakhir, menjadi alasan yang menarik untuk diteliti. Satu aspek yang masih
dalam proses penelitian ialah audit syari’ah. Ketiadaan kerangka kerja dan
standar, dapat menjadi ancaman masa depan bagi industri keuangan syari’ah.
Terdapat beberapa kebutuhan di masa mendatang bagi institusi keuangan syari’ah
untuk menyediakan kepastian yang layak dan cukup bahwa mereka benar-benar
mematuhi syari’ah yang diketahui dari audit syari’ah. Ketiadaan kerangka kerja
audit syari’ah yang cukup sungguh sangat mengkhawatirkan. Studi ini diangkat
untuk mencari perspektif dari mahasiswa mengenai audit syari’ah di sebuah
negara yang masih baru memiliki industri keuangan syari’ah. Mahasiswa postgraduate dari dua universitas
dipilih sebagai sampel. Suvei kuesioner disebar langsung dan hasilnya
ditampilkan menggunakan tabel frekuensi. Dari sini ditemukan bahwa mereka
memiliki tingkat kesadaran dan pemahaman yang rendah terkait istilah dan konsep
atas audit syari’ah. Mereka juga samar-samar dalam memahami apakah audit
syari’ah sama dengan audit konvensional. Tambahan lagi, mereka merasa bahwa
institusi keuangan Islam tidak cukup melakukan hal untuk mempromosikan audit
syari’ah. Mereka setuju bahwa media massa memiliki peran penting untuk mempromosikan
audit syari’ah. Terakhir, mereka setuju bahwa audit syari’ah sangat berpotensi
untuk terus dikembangkan di kemudian hari.
Keyword:
Institusi keuangan Islam, Keuangan Islam, audit syari’ah, auditor syari’ah, SSB
1. Pendahuluan
Sektor keuangan Islam telah mengalami
pertumbuhan yang pesat dalam empat dekade terakhir. Aset yang dikelola oleh
institusi keuangan Islam diperkirakan mencapai US $ 1 triliun pada 2011
(Yaacob, 2012) dan US $ 1,6 triliun pada tahun ini (Global Islamic Finance, 2012,
hlm.1). Sebagai tambahan, terdapat lebih dari enam ratus (600) institusi
keuangan Islam di lebih dari tujuh puluh lima (75) negara. Hal ini cukup
mencengangkan, dengan jumlah kira-kira US $ 150 miliar pada pertengahan
1990-an, meningkat menjadi US $ 1 triliun pada 2011 (Global Islamic Finance,
2012, hlm.2). Pertumbuhan tahunan industri keuangan Islam dengan mudahnya
mencapai kisaran 15 sampai 20% tiap tahunnya selama dekade terakhir, ini
melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi dunia (Rammal, 2010). Oleh karenanya,
adalah hal yang penting bahwa industri keuangan syari’ah harus memiliki
mekanisme ‘check and balance’ dalam melakukan auditing yang tentunya harus
sesuai dengan tujuan dan misi dari formasi maqashid
syari’ah (untuk mencapai tujuan syari’ah). Auditing selalu menjadi roda
penggerak utama mesin-mesin tata kelola perusahaan dalam model organisasi
modern (Sultan, 2007). Ini membentuk elemen terpenting dalam proses mengamankan
akuntabilitas perusahaan. Hal ini juga meningkatkan kepercayaan stakeholder terhadap pengelolaan
perusahaan. Tidak seperti halnya audit konvensional yang mengharuskan auditor
untuk memberi opini terhadap laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan
GAAP dan standar akuntansi yang relevan; auditing atas institusi keuangan syari’ah
menjangkau cakupan wilayah yang luas. Hal ini dikarenakan auditor/auditor
syari’ah harus membuktikan bahwa manajemen telah mematuhi tidak hanya standar
tetapi juga kerangka kerja syari’ah di seluruh transaksi untuk mencapai maqashid syari’ah.
Merujuk
pada Haniffa (2010), hal ini sangat penting untuk melindungi dan meningkatkan
kondisi di seluruh dimensi kehidupan manusia. Dengan kata lain, auditing pada
institusi keuangan Islam tidak hanya melulu mengikuti audit keuangan menurut
undang-undang saja, tetapi harus termasuk review syari’ah. AAOIFI Governance
Standards for IFI no.3 mendefinisikan audit sebagai, “tujuan utama dari review audit internal (dilakukan oleh divisi
independen atau bagian dari departemen audit internal) adalah untuk memastikan
bahwa manajemen dari LKS melaksanakan tanggung jawab mereka terkait
implementasi atas aturan dan prinsip syari’ah seperti yang telah ditetapkan
oleh DPS di LKS tersebut“. Karenanya, auditing atas institusi keuangan syari’ah
dapat didefinisikan sebagai “proses
sistematis yang bertujuan memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti mengenai
pernyataan terkait tindakan religius dan sosio ekonomi serta peristiwa dalam
mengetahui tingkat kesesuaian antara pernyataan dan kerangka kerja keuangan
yang diterapkan, termasuk spesifikasi kriteria yang berdasarkan pada prinsip
syari’ah yang direkomendasikan oleh DPS dan mengkomunikasikannya kepada seluruh
pihak yang berkepentingan” (Haniffa, 2010) khususnya stakeholder pada LKS tersebut.
Studi
ini juga menghubungkan audit syari’ah dengan institusi hisbah. Hisbah adalah salah satu dari institusi ekonomi awal dalam
Islam. Merujuk pada Islahi (2006), ini adalah “institusi keagamaan dibawah wewenang negara yang menunjuk orang
mengemban tanggung jawab memerintahkan melakukan segala sesuatunya dengan
benar, bilamana orang-orang mulai untuk mengabaikan dan melakukan yang
dilarang, bilamana orang-orang mulai melawannya”. Muhtasib (bagian dari
institusi hisbah) adalah orang yang memiliki pengetahuan dan kualifikasi dalam
bidang syari’ah dan ekonomi, yang bisa memberi saran dan opini pada
permasalahan atau isu yang bertabrakan dengan peraturan yang mengikat dan
prinsip syari’ah (Yaacob, 2012). Lewis (2005) menyatakan bahwa peraturan
tersebut adalah peraturan yang telah diterima yang diterapkan oleh Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan
para Sahabat, ketika umat Islam memperluas penyebaran Islam pada awal
perkembangannya untuk melembagakan, mengabadikan dan mempertahankan
aturan-aturan serta memastikan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Ini merupakan
dasar dari konsep melakukan perbuatan baik dan menjauhi perilaku syaitan (amar ma’ruf nahi munkar).
Studi
ini memperlihatkan bahwa auditor syari’ah memiliki peran yang sama dengan muhtasib yaitu akuntabel seperti dalam
konsep taklif’ (akuntabilitas dan
bertanggungjawab), untuk memastikan bahwa LKS secara ketat telah mengikuti
aturan syari’ah (lihat Nahar & Yaacob, 2011). Meskipun institusi hisbah
telah ada sejak awal berdirinya negara Islam, hisbah juga ikut hilang seiring
dengan keruntuhan Khilafah Islam Utsmaniyah di Turki awal 1900-an. Negara Islam
terpecah dan terpisah menjadi beberapa negara dan berada di bawah kolonisasi.
Demikian pula istilah audit syari’ah menjadi suatu istilah baru meskipun
perbankan dan keuangan Islam telah ada sejak 1960-an (Yaacob, 2012). Di Brunei
Darussalam, audit syari’ah baru mendapat perhatian dari pemerintah yang
menyadari bahwa institusi keuangan syari’ah dalam kondisi yang membutuhkan
audit yang sesuai dengan syari’at Islam.
Kasim,
Ibrahim dan Sulaiman (2009) telah mengambil bagian dari pembahasan masalah ini
yang memberi argumen bahwa orang-orang sekarang mencoba bergerak maju dari continuum ketika masyarakat memercayai
segala sesuatu dan tidak memercayai audit, menjadi masyarakat yang tidak
memercayai segala sesuatu dan audit adalah segalanya. Dari sini, dapat dilihat
bahwa terdapat suatu kebutuhan mendesak akan adanya audit syari’ah independen
dalam institusi keuangan syari’ah. Bagaimanapun juga, konsep baru yang diterima
tidak berarti apa-apa bila tidak sesuai dengan isu dan tantangannya. Demikian
pula, sangat penting untuk mengatasi isu dan tantangan dalam mencapai
keberhasilan implementasi audit syari’ah. Oleh karena itu, ada beberapa
pertanyaan yang dirangkai berkaitan dengan penelitian ini, diantaranya:
1)
Bagaimana pandangan mahasiswa postgraduate di Brunei tentang audit syari’ah?;
2) Apakah mereka peduli dan mengerti tentang istilah dan konsep
audit syari’ah?;
3) Bagaimana pendapat mereka tentang kebutuhan mengatasi berbagai
isu dan tantangan yang dihadapi dalam audit syari’ah?
Tujuan
dari studi ini ialah untuk memperoleh titik terang terkait pandangan
mahasiswa postgraduate, kepedulian
dan pemahaman terkait istilah dan konsep audit syari’ah di brunei. Studi
ini juga mencoba untuk menyediakan beberapa wawasan yang bermanfaat dan
menganjurkan atau memberi saran tentang bagaimana audit syari’ah dapat ditingkatkan
lagi. Hal ini sangat penting bagi perbankan dan keuangan syari’ah di Brunei
karena masih baru dan lebih mudah dalam menuntaskan problem di awal ketimbang
menunggu beberapa tahun sehingga baru mencari solusi atas itu. Studi ini signifikan
dampaknya karena membantu mengidentifikasikan isu serta tantangan yang
dihadapi oleh audit syari’ah dalam konteks Brunei Darussalam.
Studi
ini membuktikan bahwa mahasiswa postgraduate
peduli dan memahami bahwa audit syari’ah sangat penting. Hal ini penting sebab
mereka adalah generasi masa depan yang akan mengambil alih kepemimpinan negara
dan berkontribusi sebagai tenaga ahli khususnya di institusi keuangan syari’ah.
Mereka juga bertanggungjawab untuk meningkatkan masa depan pembangunan dan
implementasi atas audit syari’ah di negara ini. Brunei darussalam memiliki
masalah terkait tenaga ahli yang tersedia. Sehingga, mahasiswa postgraduate inilah yang
merepresentasikan sumber daya manusia yang signifikan terhadap masa depan
bangsa. Bagaimanapun juga, terdapat beberapa keterbatasan dalam studi ini. Responden hanya berasal dari dua
institusi tertinggi yang menawarkan program postgraduate,
sehingga sampelnya juga terbatas. Kedua, ketersediaan literatur yang sedikit
tentang audit syari’ah dan yang berkaitan dengan konteks Brunei Darussalam
menjadi tantangan yang signifikan untuk melakukan studi bagi para mahasiswa postgraduate yang mendapatkan sedikit
atau bahkan hampir tidak ada informasi mengenai audit syari’ah. Studi ini
memiliki urutan sebagai berikut: Bab 2 mendiskusikan tentang literatur yang
diikuti oleh bab 3 tentang kerangka kerja konseptual. Kemudian, metodologi
penelitian ditampilkan dalam Bab 4. Hasil dari studi ditampilkan dalam bab 5
dan terakhir bab 6 membahas kesimpulan serta beberapa saran yang bisa dilakukan
dalam penelitian selanjutnya.
2. Review atas
Literatur Audit Syari’ah pada Sektor Keuangan Islam yang Masih Dalam Tahap
Penelitian
Ini
merupakan dampak dari kurangnya literatur terkait masalah ini. Beberapa studi
(Haniffa, 2010; Rahman, 2008; Rammal, 2009; Yaacob, 2012) kebanyakan sanagat
teoretis dan hanya ada beberapa yang empiris (Kasim et al., 2009). Bab ini akan
dibagi ke dalam empat bagian. Pertama, cakupan audit syari’ah akan dibahas
terlebih dahulu. Kedua, kerangka kerja audit syari’ah akan ditampilkan. Ketiga,
pembahasan terkait kualifikasi auditor syari’ah dan di bagian akhir adalah
independensi auditor syari’ah. Terakhir, ikhtisar akan ditampilkan.
2.1 Cakupan Audit
Syari’ah
Kasim
et al., (2009) menyatakan bahwa, “ketiadaan
pengalaman, spesifikasi dan definisi terkait cakupan praktik auditing syari’ah
merupakan permasalahan yang menyebabkan jurang pemisah antara’keinginan’ dan
‘realitas’ “. Pada auditing konvensional, cakupan audit jelas-jelas
dinyatakan dan menjadi panduan bagi auditor untuk objektif dalam mengumpulkan
bukti-bukti. Sebaliknya, penugasan audit
akan menjadi lama dan sumber daya seperti waktu dan uang akan terbuang
percuma karena tidak ada cakupan yang jelas dalam pekerjaan audit. Audit
syari’ah diklaim memiliki fungsi sosial; sehingga, cakupannya bisa lebih luas
mencakup ‘budaya sosial’ dan performa entitas yang termasuk hubungannya
terhadap para stakeholder. Sebagai
contoh, dalam pembayaran zakat, ini merupakan kewajiban bagi LKS untuk membayar
dan mendistribusikannya atau membayarkannya kepada lembaga terkait. Ketiadaan
cakupan audit syari’ah akan membawa industri ini ke dalam kehancuran. Nampaknya,
institusi keuangan syari’ah tidak mengambil langkah yang tepat untuk memastikan
pembuat standar dan badan regulasi terkait serius melihat permasalahan ini.
Pada
saat ini, cakupan yang ada tergantung pada penasihat syari’ah dan DPS yang
mengawasi review syari’ah atau syari’ah audit. Rahman (2008) mendukung hal
tersebut dimana ia mengatakan bahwa “industri jasa keuangan syari’ah saat ini
tidak sepenuhnya secara sistematis menjalankan audit syari’ah, dengan kata lain
tidak ada review secara sistematis yang dilakukan secara komprehensif yang
dijalankan untuk memastikan kepatuhan syari’ah telah dijalankan. Oleh karena
itu, audit syari’ah dapat menerapkan review sistematis atas aspek operasional
dari institusi keuangan Islam. Hal ini termasuk pemeriksaan kebijakan dan
prosedur di institusi keuangan Islam, seperti manual produk, proses dan kontrak
operasional. Hal tersebut juga membutuhkan review atas struktur organisasional
untuk memastikan apabila terdapat kemudahan dalam mengambil alih kegiatan
kepatuhan syari’ah. Sebagai tambahan, dia juga menyinggung tentang pembentukan
sebuah “program audit yang sistematis dan cermat” seperti daftar prosedur audit
untuk seluruh audit syari’ah, termasuk dokumen legal untuk prosedur operasional
dan seterusnya. Program ini didesain untuk mengaudit area khusus dari
keseluruhan cakupan proses audit, dan dapat dikembangkan untuk memenuhi
berbagai produk dan jasa keuangan syari’ah. Program audit syari’ah ini perlu
untuk dijadikan standar yang bisa dipahami oleh para calon stakeholder. Timbal balik mereka sangat dibutuhkan setelah periode
percobaan program audit syari’ah dalam praktik di lapangan.
Standar
audit AAOIFI (2010) menekankan bahwa tujuan dari audit syari’ah adalah “untuk memungkinkan auditor mengungkapkan
opininya terkait apakah laporan keuangan telah disajikan, dalam seluruh aspek
yang material, kesesuaian dengan fatwa, peraturan, pedoman yang ditetapkan oleh
DPS di institusi keuangan syari’ah, standar akuntansi AAOIFI, standar dan
praktik akuntansi nasional dan internasional, serta aturan dan undang-undang
yang diterapkan di masing-masing negara tempat institusi keuangan syari’ah
tersebut berada”.
2.2 Kerangka Kerja
Audit Syari’ah
Sebagian
besar dari institusi keuangan Islam menggunakan kerangka kerja audit
konvensional karena ketiadaan kerangka kerja audit syari’ah. Mayoritas
responden dalam penelitian yang dilakukan oleh Kasim setuju bahwa kerangka
kerja audit syari’ah harus berbeda dari kerangka kerja audit konvensional.
Selain itu, mereka sepakat bahwa badan regulasi harus bertanggungjawab untuk
menyusun kerangka kerja dan diterapkan oleh seluruh institusi keuangan Islam yang
beroperasi khususnya di wilayah Malaysia. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Volk dan Pudelko pada keuangan syari’ah di eropa menawarkan empat hal untuk
kerangka kerja tersebut, 1) Kondisi permintaan;
2) Kondisi penawaran; 3) Kondisi regulasi; dan 4) Kondisi
sosial (Rammal, 2010). Mereka menyebutkan bahwa kerangka kerja tersebut
akan dapat membantu memacu pertumbuhan pasar perbankan syari’ah di
negara-negara Eropa.
2.3 Kualifikasi Auditor
Syari’ah
Merujuk
pada pernyataan standar audit AAOIFI (2010), “auditor harus banyak mengetahui persoalan tentang aturan dan prinsip
syari’ah. Meskipun, dia tidak
memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan anggota DPS dan dengan begitu
auditor tidak dapat diharapkan untuk menyediakan penilaian atas aturan dan
prinsip syari’ah. Fatwa, aturan dan pedoman yang diterbitkan oleh DPS menjadi
dasar bagi auditor dalam mempertimbangkan apakah LKS telah mematuhi aturan dan
prinsip syari’at Islam. Auditor juga bisa menerapkan hal ini untuk menyimpulkan
apakah laporan keuangan dari LKS telah disajikan sesuai dengan aturan dan
prinsip syari’ah”. Di samping hal tersebut, Kasim et al., (2009) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan orang yang memiliki
dua kualifikasi sekaligus dalam hal syari’ah dan akuntansinya.
Kualifikasi
ini begitu penting dalam menentukan visi dan misi Islam yang diterapkan dalam
institusi keuangan Islam (Yaacob, 2012). Hal ini juga disetujui oleh Rammal dan Parker (2010) yang
menyatakan bahwa “dalam usaha untuk memenuhi persyaratan dari Bank Negara
Pakistan, individu yang memenuhi ‘kriteria fit
and proper’ harus mengikuti pelatihan dalam pendidikan religius (kurikulum
Darul Nizami yang diterapkan pada madrasah). Hal ini karena ada orang yang
terdidik secara agamis, belum tentu paham akan ilmu perbankan dan keuangan,
sehingga mereka diharuskan mengikuti pelatihan tambahan sebagai sarana
pendidikannya”. Sebagai tambahan, masih adanya perdebatan yang terjadi terkait
siapa yang berperan melakukan audit syari’ah. Penelitian Kasim menemukan bahwa beberapa responden lebih suka jika praktik
auditing syari’ah diberikan kepada orang yang memenuhi kualifikasi khusus dalam
hal syari’ah saja. Lainnya menginginkan audit syari’ah menjadi tanggung jawab
dari auditor internal atau masing-masing departemen syari’ah atau anggota
komite syari’ah.
Menurut
Price Waterhouse Coopers (2011),
fungsi audit syari’ah
dilakukan oleh auditor internal yang memiliki ilmu dan kemampuan yang cukup
terkait syari’ah. Tujuan utamanya adalah memastikan sosialisasi dan
sistem kontrol internal efektif dalam mematuhi syari’ah. Auditor internal juga
bisa menggunakan keahlian petugas syari’ah di institusi keuangan Islam tersebut
dalam pelaksanaan audit tersebut selama keobyektifan audit tetap terjaga.
Institusi keuangan syari’ah juga dapat menunjuk pihak eksternal untuk melakukan
audit syari’ah terhadap operasional perbankan mereka. AAOIFI dalam standar
auditingnya (2010), mewajibkan auditor eksternal untuk memperoleh bukti yang
tepat dan cukup yang bisa mendukung opini yang diberikan bahwa institusi
keuangan syari’ah tersebut telah mematuhi seluruh aturan dan prinsip syari’ah
termasuk fatwa, peraturan dan pedoman yang diterbitkan oleh DPS.
Oleh
sebab itu, auditor bertanggungjawab dalam membentuk dan memberikan opininya
terhadap laporan keuangan seperti yang telah dijelaskan dalam Governance
Standards for Islamic Financial Institutions (GSIFI, No 1). IFSB (2006) dalam pernyataannya
menyinggung tentang auditing syari’ah, “komite audit dari institusi yang menawarkan jasa keuangan Islam dapat
menggunakan upaya-upaya terbaik dalam memastikan bahwa auditor eksternal
sanggup menyelesaikan review ex-post
atas kepatuhan syari’ah (dengan catatan, dimana pekerjaan ini dilakukan oleh
auditor internal atau pengawas syari’ah dalam pengertian mereka sebagai acuan.
Hal ini, jika memungkinkan, komite audit dan internal auditor atau pengawas
syari’ah dapat bekerja lebih dekat dengan internal auditor untuk meningkatkan
kapabilitas auditor eksternal untuk melakukan hal seperti review atas kepatuhan
syari’ah sebagai bagian dari proses audit mereka. Kebanyakan institusi yang
menawarkan jasa keuangan syari’ah telah memiliki auditor internal atau pengawas
syari’ah yang melakukan hal tersebut, sementara beberapa di antaranya memiliki DPS
atau petugas pengawas kepatuhan syari’ah untuk melakukan hal tersebut”.
2.4 Independensi
Auditor Syari’ah
Seperti
yang telah disebutkan oleh Kasim et al., (2009), dalam praktiknya, ada
kepercayaan yang tinggi terhadap auditor internal atau manajemen dari unit
syari’ah untuk melakukan audit syari’ah pada institusi keuangan Islam. Ancaman
yang muncul dari review yang dilakukan sendiri akan terjadi apabila tidak
terdapat pemisahan tugas yang ditetapkan. Selanjutnya, meskipun para responden
telah paham apa yang sebenarnya diinginkan terkait independensi, tetapi
nyatanya mereka tidak dapat menghindar untuk bersantai terhadap prinsip-prinsip
independensi dalam keadaan yang bisa dihindari. Keinginan untuk potensial
secara penuh dari suatu audit tidak bisa direalisasikan apabila mereka sendiri
tidak sepenuhnya dan benar-benar independen, khususnya dalam mencapai tujuan
sosial (keuntungan bagi ummat) akan terhalangi.
Sebagai
tambahan, Rammal (2009) juga menunjukkan perhatian serupa terhadap potensi konflik kepentingan pada
pengawas syari’ah. Hal itu berdasarkan fakta bahwa di beberapa negara, pengawas
syari’ah yang terlihat merupakan auditor internal ketimbang auditor eksternal
yang diizinkan bekerja di lebih dari satu institusi keuangan. Izin ini
membolehkan pengawas syari’ah bekerja di lebih dari satu perusahaan atau
institusi keuangan menjadi ancaman terhadap independensi mereka sebagai pengawas
dan auditor. Satu senior pengawas syari’ah adalah panel penasehat bagi lebih
dari sepuluh institusi. Persepsi atas independensi menjadi terancam disini
ketika orang akan mempertanyakan motivasi atas hadiah finansial yang
dibandingkan dengan tujuan dalam menerbitkan fatwa, aturan dan pedoman (Rammal
& Parker, 2010; Yaacob, 2012).
Sehingga,
indikasi tersebut menghasilkan auditor syari’ah yang kompeten dan independen,
auditor syari’ah harus paham dengan kriteria yang dipakai dalam audit syari’ah
serta harus kompeten untuk melihat jenis dan jumlah bukti yang terkumpul
sebelum menyelesaikan audit. Auditor juga harus punya mental sikap independen,
dimana kompetensi mereka merupakan nilai terkecil yang tercermin dalam
akumulasi atau evaluasi atas bukti-bukti (Rahman, 2008). Meskipun independen
secara mutlak adalah suatu hal yang mustahil, auditor syari’ah harus berusaha
menjunjung tinggi independensi baik secara faktual maupun penampilan. Dalam
kasus auditor syari’ah, (yang bekerja di institusi keuangan syari’ah), mereka
selalu melaporkan secara langsung kepada pihak manajemen, tetap menjaga
independensi atas departemen yang mereka audit.
2.5 Ikhtisar Umum
Masih
terdapat beberapa isu yang belum terselesaikan dalam audit syari’ah untuk
masalah cakupan, kerangka kerja, kualifikasi auditor syari’ah dan independensi
mereka. Hal tersebut dapat memberikan kesan yang kurang baik terhadap
kredibilitas institusi keuangan syari’ah. Mereka dapat mengatasi hal tersebut
dengan seketika karena bisa mengancam tingkat kepercayaan publik terhadap
produk dan jasa pelayanan institusi keuangan syari’ah yang sesuai dengan aturan
serta pedoman syari’ah. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa audit
syari’ah, sebagai fungsi sosial, sangat penting untuk mencapai maqashid al-syari’ah.
Auditor
syari’ah dapat menjadi salah satu pihak yang memiliki ilmu, kapabilitas dan
independensi yang cukup untuk melakukan auditing. Mereka harus terlatih dalam
hal akuntansi, keuangan dan auditing terutama juga syari’ah dan fiqih (Yaacob,
2012).
3. Kerangka Kerja
Terkait
dengan kebutuhan untuk memastikan ketepatan dan ketaatan terhadap prinsip audit
syari’ah dalam operasi dan aktifitas, peran dari setiap aktor utama dalam
auditing institusi keuangan Islam sangat diperlukan. Pertama adalah Komite
Audit dan Governance di LKS. Komite Audit
bertanggungjawab atas kepatuhan fungsi, sistem kontrol internal dan menggunakan
akun investasi yang terbatas, kepatuhan syari’ah, akun interim dan anual serta
praktik auditing dan akuntansi. Kedua adalah DPS. Mereka bertanggungjawab mengeluarkan fatwa, menyusun kebijakan
yang sesuai syari’ah, dan memberi pengesahan syari’ah atas produk dan jasa LKS;
peran mendasar mereka adalah sebagai pihak yang memberi persetujuan dan
pengesahan. Ketiga, auditor internal
bertanggungjawab untuk melakukan audit internal dan memastikan LKS mematuhi
syari’ah dan seluruh transaksi serta kontrak dilaksanakan dengan kerangka kerja
syari’ah. Beberapa LKS telah memiliki petugas syari’ah sebagai unit yang
bekerja sama dengan auditor internal atau menjadi bagian dari auditor internal.
Keempat,
auditor eksternal bertanggungjawab
memberi opini mengenai apakah kontrak dan transaksi telah sesuai dengan
kebijakan, aturan dan pedoman syari’ah. Auditor internal dan eksternal juga
bertanggungjawab untuk menguji kepatuhan syari’ah LKS. Rupa-rupanya, para stakeholder
adalah juga satu pihak yang berperan penting dalam keuangan Islam. Iqbal dan
Mirakhor (2003; 2004) dan Iqbal & Molyneux (2005) seperti yang dikutip oleh
Dusuki (2006) dengan tegas berpendapat bahwa stakeholder adalah salah satu pihak
yang hak-hak propertinya berada dalam posisi yang dipertaruhkan atau berisiko atas
peran aktif maupun tidak aktif di entitas yang bersangkutan. Kedua pendapat
yang pada dasarnya terdiri dari beberapa grup yang terdiri dari orang-orang
atau individu dimana perusahaan memiliki
kewajiban kontraktual baik implisit maupun eksplisit yang menyebabkan
mereka menjadi stakeholder ketika perusahaan mungkin tidak memiliki kontrak
formal dengan mereka melalui tawaran yang menguntungkan.
Bagaimana
pun juga, penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada ketidakjelasan dalam
memahami bagaimana audit syari’ah ini bekerja. Persoalan yang belum selesai
terkait cakupan, kerangka kerja dan independensi audit syari’ah masih tetap
menjadi perhatian utama dari seluruh pihak dalam sektor keuangan Islam.
Pemahaman yang mendalam tentang bagaimana audit bekerja sangat penting artinya.
Penting untuk memastikan ketahanan institusi keuangan Islam dalam jangka
panjang, menjalankan kerangka kerja sesuai syari’ah dan mencapai maqashid syari’ah.
4. Metodologi
Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan ialah pendekatan kuantitatif. Kuesioner survei
berdasarkan literatur sebelumnya (seperti Kasim et al., 2009; PwC, 2011) yang
dikembangkan. Kuesioner ini digunakan sebagai alat yang efektif untuk
memperoleh opini, sikap dan penjelasan maupun menagkap sebab dan efek yang
berhubungan (Ghauri dan Gronhaug, 2010, p.118). Ini akan membantu membentuk
kepedulian dan penyebaran informasi. Data primer dalam penelitian ini diperoleh
menggunakan kuesioner dan data sekunder berasal dari artikel yang diterbitkan,
buku dan koran berita.
4.1 Rancangan
Penelitian
Kuesioner dibagi ke dalam tiga
bagian dan tiap-tiap bagian mengandung pertanyaan yang menyinggung tujuan dari
penelitian ini dan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Populasi dari penelitian
ini adalah mahasiswa postgraduate di dua universitas di Brunei, sebut saja
universitas A dan universitas B. Penelitian ini menggunakan convenience sampling atau purpossive sampling untuk memilih
sampel. Jumlah total dari mahasiswa postgraduate ini tidaklah banyak, kuesioner
disebar secara langsung dan berdasarkan partisipasi sukarela. Sebanyak 40
mahasiswa postgraduate dipilih dan diberikan kuesioner. Bagian pertama didesain
untuk memperoleh data demografis dari para responden. Pada bagian kedua, 10 pertanyaan
diberikan untuk mengetahui pengetahuan dan kepedulian terkait masalah audit
syari’ah. Pada bagian ini, pertanyaan diberikan berjenis close-ended. Terdapat beberapa pertanyaan yang dapat dijawab dengan
memilih lebih dari satu jawaban.
Terakhir, pada bagian ketiga, para
responden diberikan pertanyaan mengenai opini terhadap audit syari’ah di sektor
keuangan Islam di Brunei. Terdapat 23 pertanyaan dalam bagian ini. Jawaban
diambil berdasarkan format Skala Likert yang terdiri dari 5 skala, yaitu (1)
sangat tidak setuju; (2) tidak setuju; (3) netral; (4) setuju; dan (5) sangat
setuju. Rincian lebih lanjut mengenai kuesioner ini dilampirkan di Appendix 1
(termasuk sampel kuesioner).
4.2 Pengumpulan data
Jumlah keseluruhan dari 40
kuesioner telah disebar dan masing-masing kuesioner yang kembali dipilah dengan
baik dari kesalahan, tidak lengkap atau tidak dijawab oleh responden. Kemudian,
kuesioner yang tidak kembali dan lengkap dikeluarkan dari proses analisis.
Hanya kuesioner yang lengkap dan valid lah yang digunakan dalam analisis final.
Tiga belas kuesioner dianggap nol dan tidak berlaku. Untuk bagian akhir, jumlah
dari 27 dari 40 kuesioner dianggap valid, yang memberi jawaban dengan tingkat
sebesar 67,5%, yang dianggap bisa dijadikan sebagai sampel yang valid dan
berkualitas untuk analisis statistik.
4.3 Analisis Data
Penelitian ini menggunakan
distribusi frekuensi untuk melihat pola respon atas masing-masing variabel yang
diteliti. Kemudian, kategori selanjutnya dicatat dan nilai observasi dijumlah
(Ghauri dan Gronhaug, 2010, hlm.153)
5. Hasil Penelitian
5.1 Data Demografis
Table 1. Distribution of
respondents by gender (n=27)
Gender
|
Frequency
|
Percent
|
Male
|
2
|
7
|
Female
|
25
|
93
|
Tabel
1 memperlihatkan jumlah responden yang valid ialah 27 (n=27). Ini
merepresentasikan 67,5% tingkat jawaban untuk menjawab kecukupan validitas atas
penelitian ini. Dari 27 responden; 25 orang diantaranya adalah wanita yang
menunjukkan 93% dan hanya 2 Pria menunjukkan 7% dari sampel ini.
Table 2. Distribution of
respondents by age (n=27)
Age
|
Frequency
|
Percent
|
21 - 30
|
25
|
93
|
31 - 40
|
2
|
7
|
41 – 50
|
0
|
0
|
51 and above
|
0
|
0
|
Tabel
2 mengindikasikan bahwa sampel ini terkesan lebih banyak wanitanya tetapi ini juga
mencerminkan populasi mahasiswa di kedua universitas yang 70%-nya adalah wanita
sedangkan 30%-nya adalah pria. Untuk usia responden, dapat dikategorikan dalam
usia antara 21-30 tahun menunjukkan 93% dari keseluruhan sampel. Lagi-lagi,
hanya 2 yang menjadi 7% berada di usia antara 31-40 tahun.
Table 3. Distribution of
respondents by institution (n=27)
Institution
|
Frequency
|
Percent
|
University A
|
18
|
67
|
University B
|
9
|
33
|
Untuk responden yang
terkait dengan institusi, 18 responden (67%) berasal dari universitas A. Dan 9
lainnya (33%) berasal dari universitas B.
5.2 Kepedulian dan
Pengetahuan Audit Syari’ah
Table 4. Awareness and
knowledge of shari’ah audit (n=27)
Answer
|
Frequency
|
Percent
|
Yes
|
8
|
67
|
No
|
19
|
33
|
Tabel
diatas menunjukkan mayoritas responden, 70% (19 orang) tidak
peduli dengan istilah audit syari’ah dan hanya 30% (8 orang) yang peduli atau pernah mendengar istilah ini. Hal ini mengindikasikan bahwa audit syari’ah belum
begitu populer di Brunei dalam konteks bahwa kurang dari separuh jumlah
responden yang peduli terhadap hal ini.
Table 5. Knowing the term
shari’ah audit (n=27; multiple answers)
Answer
|
Frequency
|
Percent
|
None
|
18
|
55
|
TV
|
2
|
6
|
Radio
|
3
|
9
|
Internet
|
3
|
9
|
Words of mouth
|
4
|
12
|
Others
|
3
|
9
|
Sebagai
contoh, pertanyaan tentang apakah mereka mendengar
istilah audit syari’ah berawal dari channel atau media, 55% (18 orang) tidak pernah pernah mendengar dan mengetahui dari kedua
cara tersebut. 12% (4 orang) tahu dari mulut
ke mulut dan 9% (3 orang) mendengar lewat
radio, internet dan lainnya, termasuk kelas perkuliahan yang mereka ikuti.
Hanya 6% (2 orang) yang tahu istilah ini dari
televisi.
Table 6. Difference between
shari’ah audit and conventional audit (n=27)
Answer
|
Frequency
|
Percent
|
Yes
|
6
|
78
|
No
|
21
|
22
|
Tabel 6 menunjukkan bahwa 78% (21 orang)
responden tidak tahu perbedaan antara audit
syari’ah dengan konvensional dan hanya 22% (6 orang) yang tahu perbedaan
di antara keduanya. Penelitian ini menunjukkan fakta bahwa sebagian besar yang
tidak memiliki background dalam ilmu akuntansi, mereka tidak akan pernah
mengetahui hal auditing sebelumnya. Terutama pada mahasiswa pada ilmu Islam dan
ilmu Sosial.
Table 7. Coverage of shari’ah
audit (n=27)
Answer
|
Frequency
|
Percent
|
All activities
|
15
|
56
|
Satisfactory
|
10
|
37
|
Sampling
|
2
|
7
|
Kurang
dari separuh responden, 57% (16 orang) mengatakan bahwa audit syari’ah dapat dilakukan dalam setiap aktifitas tunggal,
sementara 36% (10 orang) lainnya setuju bahwa hal ini dapat
dilakukan sepanjang auditor merasa puas. Selanjutnya 7% responden (2
orang) menjawab bahwa audit syari’ah dapat
dilakukan menggunakan metode sampling.
Table 8. Period of shari’ah audit (n=27; multiple answers)
Answer
|
Frequency
|
Percent
|
All year
|
19
|
66
|
End of year
|
5
|
17
|
New product
|
5
|
17
|
Ketika
menjawab mengenai kapankah audit syari’ah dapat
dilakukan (Tabel 8), 66% (19 orang)
menjawab bahwa ini dapat dilakukan sepanjang tahun pembukuan. Sebanyak 17% (5
orang) menjawab bahwa ini dapat dilakukan hanya di akhir tahun dan 17% sisanya
(5 orang) menjawab bahwa ini dapat dilakukan ketika dikeluarkan produk terbaru.
Table 9. Involvement of
shari’ah scholar (n=27; multiple answers)
Answer
|
Frequency
|
Percent
|
Audit planning
|
19
|
43
|
Audit report
|
10
|
23
|
Review report
|
8
|
18
|
Not involve
|
2
|
5
|
Facilitate audit
|
5
|
11
|
Tabel 9 menunjukkan keterlibatan peran sarjana syari’ah terhadap audit
syari’ah. 43% (19 orang) responden berpikir bahwa sarjana syari’ah dapat
dilibatkan dalam menyediakan pedoman umum dan strategi selama tahap perencanaan
audit. Ini diikuti oleh 23% (10 orang) responden yang merasa bahwa sarjana
syari’ah dapat mendampingi proses pelaporan audit dan membentu menyarankan
rencana tindakan. Sebanyak 18% (8 orang) mengusulkan sarjana syari’ah untuk
membantu review atas pelaporan audit dan melakukan tindak lanjut atas
pertanyaan-pertanyaan bersama manajemen. 11% (5 orang) berpikir bahwa sarjana
syari’ah bisa memfasilitasi proses lingkungan kerja audit dan 5% sisanya (2
orang) menyatakan bahwa sarjana syari’ah tidak berperan apa-apa dalam proses
audit syari’ah.
Table 10. Shari’ah audit
scope (n=27; multiple answers)
Answer
|
Frequency
|
Percent
|
Policies
|
11
|
10
|
Reports and Circulars
|
8
|
7
|
Contract and Agreement
|
15
|
14
|
Process and Procedure
|
9
|
8
|
Marketing
|
7
|
6
|
Human Resource
|
5
|
5
|
Zakat
|
20
|
19
|
Social Activities
|
8
|
7
|
Finance
|
15
|
14
|
Environment
|
3
|
3
|
IT
|
7
|
7
|
Dalam hal cakupan wilayah audit
syari’ah, 19% (20 orang) beranggapan bahwa perhitungan dan pembayaran zakat
perlu dimasukkan ke dalam proses audit syari’ah. 14% (15 orang) menganggap
bahwa kontrak, kesepakatan dan sistem keuangan serta pelaporan harus dimasukkan
ke dalam cakupan ini. 10% (11 orang) mengindikasikan bahwa kebijakan bisnis
juga termasuk dalam audit syari’ah. 8% (9 orang) menyatakan bahwa proses dan
prosedur ialah bagian dari cakupan audit ini dan sebanyak 7% (8 orang) merasa
bahwa cakupan audit bisa termasuk pelaporan dan siklus, pemasaran dan iklan
serta aktifitas sosial dan kontribusi yang diberikan selama ini.
Enam
persen (6%) yang beranggapan sistem IT termasuk dalam cakupan audit, dimana
5%-nya menambahkan manajemen SDM sebagai cakupannya. Hanya 3% yang memilih dampak
lingkungan terhadap operasi LKS untuk menjadi cakupan audit (Tabel 10).
Table 11. Qualification of
shari’ah audit (n=27; multiple answers)
Answer
|
Frequency
|
Percent
|
Accounting and Shari’ah
|
11
|
38
|
Accounting
|
4
|
14
|
Accounting and Shari’ah Certificate
|
14
|
48
|
Pada
tabel 11, terkait kualifikasi auditor syari’ah,
hampir separuh, 48% (14 orang) menyatakan bahwa auditor syari’ah dapat memiliki
gelar atau kualifikasi profesional dalam bidang akuntansi dan sertifikasi
spesialisasi dalam audit syari’ah. Sejumlah 38% (11 orang) menyinggung bahwa
auditor harus memiliki dua hal sekaligus yaitu dalam hal gelar akuntansi dan
syari’ah. Hanya 14% yang merasa bahwa auditor syari’ah cukup memiliki gelar
akuntansi saja.
Table 12. Appointment of
shari’ah audit (n=27; multiple answers)
Answer
|
Frequency
|
Percent
|
AMBD
|
18
|
56
|
AGM
|
5
|
16
|
New Body
|
9
|
28
|
Dari
tabel 12, 56% (18 orang) mengikasikan bahwa
Lembaga Moneter brunei Darussalam bertanggungjawab untuk menunjuk auditor
syari’ah untuk setiap LKS. Sebanyak 28% lainnya mengusulkan pembentukan lembaga
baru dan badan pengawas yang bertugas mengawasi praktik audit syari’ah yang
bertanggungjawab. 16% (5 orang) mengusulkan jika shareholder dari LKS dapat
menunjuk auditor syari’ah dalam Rapat Umum Tahunan.
Table 13. Shari’ah audit
should be performed by... (n=27; multiple answers)
Answer
|
Frequency
|
Percent
|
Islamic Jurist
|
11
|
24
|
SSB
|
9
|
20
|
External Auditor
|
2
|
4
|
Internal Auditor under SSB
|
6
|
13
|
Shari’ah Auditor
|
17
|
39
|
Dalam
hal performa audit syari’ah (Tabel 13), 38% (17
orang) lebih suka bila audit syari’ah dilakukan oleh auditor syari’ah, sebuah
kelompok profesional yang bersertifikasi khusus dalam audit syari’ah. Yang
diikuti oleh ahli hukum Islam 24% (11 orang) dan DPS 20% (9 orang). Tiga belas
persen 13% (6 orang) menyatakan bahwa auditor internal adalah satu-satunya yang
bisa melakukan audit syari’ah di bawah pengawasan DPS. 5% (2 orang) merasa
bahwa ini merupakan tanggung jawab dari auditor konvensional untuk melakukan
audit syari’ah.
5.3 Strategi dalam
Mempromosikan dan Mengembangkan Audit Syari’ah
Table 14. Shari’ah audit
framework is similar to conventional audit
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
1.00
|
2
|
7.4
|
7.4
|
7.4
|
|
2.00
|
6
|
22.2
|
22.2
|
29.6
|
|
3.00
|
13
|
48.1
|
48.1
|
77.8
|
|
4.00
|
6
|
22.2
|
22.2
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Tabel 14 menunjukkan setengah responden
(48%) tidak memberi tanggapan terkait apakah audit syari’ah dan konvensional
memiliki kesamaan dalam kerangka kerjanya. Sebanyak 22% untuk masing-masing
jawaban yang memilih setuju dan tidak setuju bahwa kedua kerangka kerja tidak
memiliki kesamaan. Hanya 7,4% sangat setuju bahwa kerangka kerja keduanya sama.
Table 15. Shari’ah audit
framework should differ from conventional audit
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
2.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
3.7
|
|
3.00
|
5
|
18.5
|
18.5
|
22.2
|
|
4.00
|
15
|
55.6
|
55.6
|
77.8
|
|
5.00
|
6
|
22.2
|
22.2
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Lebih
dari setengah (56%) setuju bahwa kerangka kerja teoretis dapat berbeda
sementara 22% lainnya sangat setuju. 18% netral dan 4% tidak setuju bahwa
kerangka kerjanya dapat dibedakan (Tabel 15).
Table 16. Use of AAOIFI
standards
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
3.00
|
16
|
59.3
|
59.3
|
59.3
|
|
4.00
|
10
|
37.0
|
37.0
|
96.3
|
|
5.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
59%
sangat setuju bahwa standar AAOIFI telah digunakan oleh LKS yang ada di Brunei.
37% lainnya setuju digunakan dan 4% sangat setuju (Tabel
16).
Table 17. Development of
shari’ah audit
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
3.00
|
4
|
14.8
|
14.8
|
14.8
|
|
4.00
|
19
|
70.4
|
70.4
|
85.2
|
|
5.00
|
4
|
14.8
|
14.8
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Dalam
hal pengembangan audit syari’ah, 70% setuju bahwa penting untuk mengembangkan
audit syari’ah terpisah dari audit konvensional. Sementara 15% sangat setuju,
persentase yang sama (15%) netral (Tabel 17).
Table 18. Broader scope of
shari’ah auditing
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
3.00
|
6
|
22.2
|
22.2
|
22.2
|
|
4.00
|
15
|
55.6
|
55.6
|
77.8
|
|
5.00
|
6
|
22.2
|
22.2
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Untuk
cakupan wilayah dalam auditing syari’ah harus diperluas ketimbang auditng
konvensional, 56% setuju, dimana 22% sangat setuju. Sementara 22% lainnya
netral (Tabel 18).
Table 19. Shari’ah auditing
limited to financial statements audit
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
1.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
3.7
|
|
3.00
|
15
|
55.6
|
55.6
|
59.3
|
|
4.00
|
9
|
33.3
|
33.3
|
92.6
|
|
5.00
|
2
|
7.4
|
7.4
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
56%
netral terkait apakah cakupan wilayah auditing syari’ah terbatas hanya dalam
audit atas laporan keungan. Meskipun begitu, 33%-nya setuju dan 7% sangat
setuju bahwa hal tersebut terbatas hanya untuk audit atas laporan keuangan (Tabel 19).
Table 20. Shari’ah auditors
should have specialized qualification
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
3.00
|
4
|
14.8
|
14.8
|
14.8
|
|
4.00
|
15
|
55.5
|
55.5
|
70.4
|
|
5.00
|
8
|
29.6
|
29.6
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Dalam
hal auditor syari’ah harus memiliki sertifikasi spesialisasi syari’ah, 55%
setuju dan 30% sangat setuju. 15% netral (tabel 20).
Table 21. Shari’ah audit
practitioners are qualified in shari’ah and accounting
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
3.00
|
5
|
18.5
|
18.5
|
18.5
|
|
4.00
|
14
|
51.9
|
51.9
|
70.4
|
|
5.00
|
8
|
29.6
|
29.6
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
30%
sangat setuju bahwa praktisi audit syari’ah harus memenuhi kualifikasi di
bidang akuntansi dan syari’ah, 52% setuju sementara 18% netral (Tabel 21).
Table 22. Setting up a body
for shari’ah auditors
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
3.00
|
3
|
11.1
|
11.1
|
11.1
|
|
4.00
|
15
|
55.6
|
55.6
|
66.7
|
|
5.00
|
9
|
33.3
|
33.3
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Sebanyak
56% setuju bahwa badan khusus harus segera dibentuk dan menguji kualifikasi dan
kompetensi para audtor syari’ah. 33% sangat setuju dan 11% netral (Tabel 22).
Table 23. Shari’ah auditors
should be independence
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
3.00
|
8
|
29.6
|
29.6
|
29.6
|
|
4.00
|
11
|
40.7
|
40.7
|
70.4
|
|
5.00
|
8
|
29.6
|
29.6
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Untuk
pertanyaan mengenai apakah auditor syari’ah harus independen terhadap
organisasi dimana mereka mengaudit, 41% setuju, 30% sangat setuju dan 29%
netral (Tabel 23).
Table 24. Shari’ah auditing
practitioners are independent
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
2.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
3.7
|
|
3.00
|
6
|
22.2
|
22.2
|
25.9
|
|
4.00
|
10
|
37.0
|
37.0
|
63.0
|
|
5.00
|
10
|
37.0
|
37.0
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Untuk
hal praktisi auditing syari’ah harus independen, 48% netral, 33% setuju dan 15%
sangat setuju dan 4% tidak setuju (Tabel 24).
Table 25. Sufficient number
of shari’ah auditors
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
2.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
3.7
|
|
3.00
|
13
|
48.1
|
48.1
|
51.9
|
|
4.00
|
9
|
33.3
|
33.3
|
85.2
|
|
5.00
|
4
|
14.8
|
14.8
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Hampir
separuh, 52%-nya netral ketika ditanyakan terkait apakah terdapat kecukupan
jumlah auditor syari’ah untuk melakukan audit syari’ah agar efektif. 4% sangat
setuju dan 22% setuju. Dan yang tidak setuju sebanyak 15% dan 7% sangat tidak
setuju (Tabel 25).
Table 26. Shari’ah auditors
are adequately trained in banking and finance
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
1.00
|
2
|
7.4
|
7.4
|
7.4
|
|
2.00
|
4
|
14.8
|
14.8
|
22.2
|
|
3.00
|
15
|
55.6
|
55.6
|
77.8
|
|
4.00
|
5
|
18.5
|
18.5
|
96.3
|
|
5.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Ini
menandakan bahwa 55% netral terhadap pernyataan apakah auditor syari’ah sudah
melewati pelatihan yang cukup terkait operasional perbankan dan produk
keuangan. Hal ini diikuti jawaban yang setuju sebanyak 30% dan 4% sangat setuju
serta 11% tidak setuju (Tabel 26).
Table 27. Shari’ah auditors
are adequately trained in shari’ah related audit risks and issues
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
2.00
|
3
|
11.1
|
11.1
|
11.1
|
|
3.00
|
16
|
59.3
|
59.3
|
70.4
|
|
4.00
|
7
|
25.9
|
25.9
|
96.3
|
|
5.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
59%
responden netral menjawab tentang auditor syari’ah harus mengikuti pelatihan
yang cukup terkait isu dan risiko syari’ah. Sebanyak 33% setujudengan hal
tersebut, 4% sangat setuju dan 4% sangat tidak setuju (Tabel
27).
Table 28. IT systems are
sufficient
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
2.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
3.7
|
|
3.00
|
16
|
59.3
|
59.3
|
63.0
|
|
4.00
|
9
|
33.3
|
33.3
|
96.3
|
|
5.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
22%
setuju dan 4% sangat setuju terkait kecukupan teknologi informasi dan memenuhi
kebutuhan auditor syari’ah terkait data dan informasi yang dibutuhkan. 52%
netral dan 22% menjawab tidak setuju (Tabel 28).
Table 29. Islamic financial
institutions have done enough in promoting shari’ah audit
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
2.00
|
9
|
33.3
|
33.3
|
33.3
|
|
3.00
|
11
|
40.7
|
40.7
|
74.1
|
|
4.00
|
6
|
22.2
|
22.2
|
96.3
|
|
5.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Hanya
4% sangat setuju bahwa LKS telah cukup melakukan promosi atas audit syari’ah.
Sementara 22% setuju, 33% tidak setuju dan 41% netral (Tabel
29).
Table 30. Mass media can help
in educating the public on shari’ah audit
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
3.00
|
4
|
14.8
|
14.8
|
14.8
|
|
4.00
|
19
|
70.4
|
70.4
|
85.2
|
|
5.00
|
4
|
14.8
|
14.8
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Sebagian
besar responden (70%) setuju bahwa media massa dapat membantu meberi edukasi
masyarakat terkait audit syari’ah. 15% sangat setuju dan 15% netral (Tabel 30).
Table 31. Basic understanding
and knowledge of shari’ah audit
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
1.00
|
6
|
22.2
|
22.2
|
22.2
|
|
2.00
|
6
|
22.2
|
22.2
|
44.4
|
|
3.00
|
7
|
25.9
|
25.9
|
70.4
|
|
4.00
|
5
|
18.5
|
18.5
|
88.9
|
|
5.00
|
3
|
11.1
|
11.1
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Ketika
responden ditanyakan terkait apakah mereka memiliki ilmu dan pemahaman dasar
tentang audit syari’ah. 11% sangat setuju, 19% setuju, 26% netral dan 22%
sangat tidak setuju (Tabel 31).
Table 32. Willingness to have
understanding on shari’ah audit
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
2.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
3.7
|
|
3.00
|
12
|
44.4
|
44.4
|
48.1
|
|
4.00
|
9
|
33.3
|
33.3
|
81.5
|
|
5.00
|
5
|
18.5
|
18.5
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
Selanjutnya,
33% (setuju) bahwa mereka ingin tahu lebih jauh tentang audit syari’ah, 19%
sangat tidak setuju, 44% netral dan 4% tidak setuju (tabel
32).
Table 33. Willingness to
participate in shari’ah audit program
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
2.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
3.7
|
|
3.00
|
13
|
48.1
|
48.1
|
51.9
|
|
4.00
|
9
|
33.3
|
33.3
|
85.2
|
|
5.00
|
4
|
14.8
|
14.8
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
48%
responden menjawab netral terkait partisipasi mereka dalam setiap program
pendidikan terkait audit syari’ah. 33% setuju dan 15% sangat setuju untuk
berpartisipasi. Hanya 4% tidak setuju untuk ikut berpartisipasi (Tabel 33).
Table 34. Islamic financial
institution succeed in educating the public on shari’ah audit
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
1.00
|
3
|
11.1
|
11.1
|
11.1
|
|
3.00
|
13
|
48.1
|
48.1
|
59.3
|
|
4.00
|
8
|
29.6
|
29.6
|
88.9
|
|
5.00
|
3
|
11.1
|
11.1
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
48%
netral ketika ditanyakan apakah LKS telah berhasil memberi edukasi terhadap
masyarakat terkait audit syari’ah, 30% setuju, 11% sangat setuju dan 11%
lainnya sangat tidak setuju (Tabel 34).
Table 35. Exposure of
shari’ah audit is limited
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
3.00
|
8
|
29.6
|
29.6
|
29.6
|
|
4.00
|
12
|
44.4
|
44.4
|
74.1
|
|
5.00
|
7
|
25.9
|
25.9
|
100.0
|
|
Total
|
27
|
100.0
|
100.0
|
|
44%
responden setuju bahwa exposure audit
syari’ah terbatas, 26% sangat setuju, 30% netral (Tabel
35).
Table 36. Shari’ah audit has
a high potential to be developed
|
Frequency
|
Percent
|
Valid
Percent
|
Cumulative
Percent
|
|
Valid
|
2.00
|
1
|
3.7
|
3.7
|
3.7
|
|
3.00
|
6
|
22.2
|
22.2
|
25.9
|
|
4.00
|
10
|
37.0
|
37.0
|
63.0
|
|
5.00
|
10
|
37.0
|
37.0
|
100.0
|
Terakhir,
37% responden sangat setuju dan 37% setuju bahwa audit syari’ah berpotensi untuk
dikembangkan lebih lanjut. 22% netral dan 4% tidak setuju bahwa hal tersebut
berpotensi (Tabel 36).
6. Pembahasan
Distribusi gender mengindikasikan
bahwa sebagian besar responden (93%) adalah kaum wanita, dan 7% nya kaum pria.
Oleh karena itu opini menjadi bias menurut pandangan wanita. Juga, 93%
responden berada di usia di bawah 30 tahun. Hanya 7% berada di usia 40-41
tahun. Jadi, suara generasi muda menjadi mayoritas dalam penelitian ini. Dari
sini dapat kita lihat bahwa dua per tiga responden berasal dari universitas A,
lebih banyak dari Universitas B dengan lebih banyak mahasiswa dan program postgraduate. Lebih dari separuh
responden (55%) belum pernah mendengar istilah audit syari’ah sebelumnya. 70%
tidak peduli dan 78% tidak tahu perbedaan audit syari’ah dan konvensional.
Demikian pula responden yang merasa bahwa LKS tidak melakukan banyak hal untuk
mempromosikan audit syari’ah. Sebanyak 70% di antara mereka yang merasa exposure saat ini terkait audit syari’ah
masih sangat terbatas.
Salah satu cara yang dapat membantu
menyelesaikan masalah tersebut ialah melalui media massa seperti radio,
televisi, internet dan koran berita. Meskipun mengalami kemunduran, 34% responden
setuju bahwa audit syari’ah sangat-sangat potensial untuk terus dikembangkan di
masa depan.
7. Kesimpulan
Hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa sebagian
besar mahasiswa postgraduate tidak
peduli dengan istilah audit syari’ah. Mereka juga tidak mengetahui perbedaan audit
syari’ah dan konvensional. Hal ini dapat menjadi masalah di kemudian
hari terhadap masa depan industri ini dan sebagian besar mereka berada di usia
20-30 tahun. Tidak ada yang ragu bila beberapa di antara mereka suatu saat
nanti akan bekerja di LKS . Para responden merasa bahwa cakupan wilayah audit syari’ah lebih luas
ketimbang audit konvensional. Sebagai tambahan, mereka menyinggung bahwa
auditor syari’ah harus terlatih dalam bidang
akuntansi dengan memiliki sertifikasi spesialisasi dalam bidang bidang syari’ah
bila mereka tidak bisa menandingi pengetahuan tentang ilmu syari’ah seperti
yang dimiliki oleh pengawas syari’ah. Dalam konteks Brunei, para responden
mengindikasikan bahwa Lembaga Moneter di negara tersebut menunjuk auditor
syari’ah dan juga auditor syari’ah harus independen terhadap LKS tempat mereka
bekerja. Terakhir, terkait isu exposure
yang terbatas, peran media massa penting dalam membantu menyebarkan informasi
ini kepada masyarakat.
7.1 Penelitian di Masa
mendatang
Penelitian selanjutnya disarankan
agar meneliti tentang seluk
beluk peran Hisbah dan Muhtasib dalam konteks modern. Hal ini akan
memberi wawasan yang bermanfaat khususnya yang berkaitan dengan isu kompetensi
dan independensi auditor syari’ah. Penelitian di masa depan yang dimungkinkan
termasuk pandangan dari stakeholder lainnya seperti pegawai,
nasabah dan mahasiswa undergraduate. Peran mereka sama pentingnya
sehingga LKS dan lembaga terkait bisa mengambil langkah yang dibutuhkan bagi
masa depan pertumbuhan dan pengembangan keuangan Islam, khususnya dalam hal
audit syari’ah.
Kami mengucapkan terima kasih
kepada Ana Suliana Omar yang membantu analisis frekuensi dan untuk menjadi
asisten penulisan. Semua kesalahan adalah tanggung jawab dari penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar