Label

Sabtu, 15 November 2014

TERJEMAHAN - SHARI’AH AUDIT IN ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS: THE POSTGRADUATES PERSPECTIVE

Hisham Yaacob
Nor Khadijah Donglah

Abstrak

       Industri keuangan Islam diklaim menjadi salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat dan diduga tahan terhadap setiap kekacauan ekonomi. Pertumbuhan antara 15 sampai 20% dalam dekade terakhir, menjadi alasan yang menarik untuk diteliti. Satu aspek yang masih dalam proses penelitian ialah audit syari’ah. Ketiadaan kerangka kerja dan standar, dapat menjadi ancaman masa depan bagi industri keuangan syari’ah. Terdapat beberapa kebutuhan di masa mendatang bagi institusi keuangan syari’ah untuk menyediakan kepastian yang layak dan cukup bahwa mereka benar-benar mematuhi syari’ah yang diketahui dari audit syari’ah. Ketiadaan kerangka kerja audit syari’ah yang cukup sungguh sangat mengkhawatirkan. Studi ini diangkat untuk mencari perspektif dari mahasiswa mengenai audit syari’ah di sebuah negara yang masih baru memiliki industri keuangan syari’ah. Mahasiswa postgraduate dari dua universitas dipilih sebagai sampel. Suvei kuesioner disebar langsung dan hasilnya ditampilkan menggunakan tabel frekuensi. Dari sini ditemukan bahwa mereka memiliki tingkat kesadaran dan pemahaman yang rendah terkait istilah dan konsep atas audit syari’ah. Mereka juga samar-samar dalam memahami apakah audit syari’ah sama dengan audit konvensional. Tambahan lagi, mereka merasa bahwa institusi keuangan Islam tidak cukup melakukan hal untuk mempromosikan audit syari’ah. Mereka setuju bahwa media massa memiliki peran penting untuk mempromosikan audit syari’ah. Terakhir, mereka setuju bahwa audit syari’ah sangat berpotensi untuk terus dikembangkan di kemudian hari.

Keyword: Institusi keuangan Islam, Keuangan Islam, audit syari’ah, auditor syari’ah, SSB
1. Pendahuluan
        Sektor keuangan Islam telah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam empat dekade terakhir. Aset yang dikelola oleh institusi keuangan Islam diperkirakan mencapai US $ 1 triliun pada 2011 (Yaacob, 2012) dan US $ 1,6 triliun pada tahun ini (Global Islamic Finance, 2012, hlm.1). Sebagai tambahan, terdapat lebih dari enam ratus (600) institusi keuangan Islam di lebih dari tujuh puluh lima (75) negara. Hal ini cukup mencengangkan, dengan jumlah kira-kira US $ 150 miliar pada pertengahan 1990-an, meningkat menjadi US $ 1 triliun pada 2011 (Global Islamic Finance, 2012, hlm.2). Pertumbuhan tahunan industri keuangan Islam dengan mudahnya mencapai kisaran 15 sampai 20% tiap tahunnya selama dekade terakhir, ini melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi dunia (Rammal, 2010). Oleh karenanya, adalah hal yang penting bahwa industri keuangan syari’ah harus memiliki mekanisme ‘check and balance’  dalam melakukan auditing yang tentunya harus sesuai dengan tujuan dan misi dari formasi maqashid syari’ah (untuk mencapai tujuan syari’ah). Auditing selalu menjadi roda penggerak utama mesin-mesin tata kelola perusahaan dalam model organisasi modern (Sultan, 2007). Ini membentuk elemen terpenting dalam proses mengamankan akuntabilitas perusahaan. Hal ini juga meningkatkan kepercayaan stakeholder terhadap pengelolaan perusahaan. Tidak seperti halnya audit konvensional yang mengharuskan auditor untuk memberi opini terhadap laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan GAAP dan standar akuntansi yang relevan; auditing atas institusi keuangan syari’ah menjangkau cakupan wilayah yang luas. Hal ini dikarenakan auditor/auditor syari’ah harus membuktikan bahwa manajemen telah mematuhi tidak hanya standar tetapi juga kerangka kerja syari’ah di seluruh transaksi untuk mencapai maqashid syari’ah.
       Merujuk pada Haniffa (2010), hal ini sangat penting untuk melindungi dan meningkatkan kondisi di seluruh dimensi kehidupan manusia. Dengan kata lain, auditing pada institusi keuangan Islam tidak hanya melulu mengikuti audit keuangan menurut undang-undang saja, tetapi harus termasuk review syari’ah. AAOIFI Governance Standards for IFI no.3 mendefinisikan audit sebagai, “tujuan utama dari review audit internal (dilakukan oleh divisi independen atau bagian dari departemen audit internal) adalah untuk memastikan bahwa manajemen dari LKS melaksanakan tanggung jawab mereka terkait implementasi atas aturan dan prinsip syari’ah seperti yang telah ditetapkan oleh DPS di LKS tersebut“. Karenanya, auditing atas institusi keuangan syari’ah dapat didefinisikan sebagai “proses sistematis yang bertujuan memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti mengenai pernyataan terkait tindakan religius dan sosio ekonomi serta peristiwa dalam mengetahui tingkat kesesuaian antara pernyataan dan kerangka kerja keuangan yang diterapkan, termasuk spesifikasi kriteria yang berdasarkan pada prinsip syari’ah yang direkomendasikan oleh DPS dan mengkomunikasikannya kepada seluruh pihak yang berkepentingan” (Haniffa, 2010) khususnya stakeholder pada LKS tersebut.
       Studi ini juga menghubungkan audit syari’ah dengan institusi hisbah. Hisbah adalah salah satu dari institusi ekonomi awal dalam Islam. Merujuk pada Islahi (2006), ini adalah “institusi keagamaan dibawah wewenang negara yang menunjuk orang mengemban tanggung jawab memerintahkan melakukan segala sesuatunya dengan benar, bilamana orang-orang mulai untuk mengabaikan dan melakukan yang dilarang, bilamana orang-orang mulai melawannya”. Muhtasib (bagian dari institusi hisbah) adalah orang yang memiliki pengetahuan dan kualifikasi dalam bidang syari’ah dan ekonomi, yang bisa memberi saran dan opini pada permasalahan atau isu yang bertabrakan dengan peraturan yang mengikat dan prinsip syari’ah (Yaacob, 2012). Lewis (2005) menyatakan bahwa peraturan tersebut adalah peraturan yang telah diterima yang diterapkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabat, ketika umat Islam memperluas penyebaran Islam pada awal perkembangannya untuk melembagakan, mengabadikan dan mempertahankan aturan-aturan serta memastikan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Ini merupakan dasar dari konsep melakukan perbuatan baik dan menjauhi perilaku syaitan (amar ma’ruf nahi munkar).
       Studi ini memperlihatkan bahwa auditor syari’ah memiliki peran yang sama dengan muhtasib yaitu akuntabel seperti dalam konsep taklif’ (akuntabilitas dan bertanggungjawab), untuk memastikan bahwa LKS secara ketat telah mengikuti aturan syari’ah (lihat Nahar & Yaacob, 2011). Meskipun institusi hisbah telah ada sejak awal berdirinya negara Islam, hisbah juga ikut hilang seiring dengan keruntuhan Khilafah Islam Utsmaniyah di Turki awal 1900-an. Negara Islam terpecah dan terpisah menjadi beberapa negara dan berada di bawah kolonisasi. Demikian pula istilah audit syari’ah menjadi suatu istilah baru meskipun perbankan dan keuangan Islam telah ada sejak 1960-an (Yaacob, 2012). Di Brunei Darussalam, audit syari’ah baru mendapat perhatian dari pemerintah yang menyadari bahwa institusi keuangan syari’ah dalam kondisi yang membutuhkan audit yang sesuai dengan syari’at Islam.
       Kasim, Ibrahim dan Sulaiman (2009) telah mengambil bagian dari pembahasan masalah ini yang memberi argumen bahwa orang-orang sekarang mencoba bergerak maju dari continuum ketika masyarakat memercayai segala sesuatu dan tidak memercayai audit, menjadi masyarakat yang tidak memercayai segala sesuatu dan audit adalah segalanya. Dari sini, dapat dilihat bahwa terdapat suatu kebutuhan mendesak akan adanya audit syari’ah independen dalam institusi keuangan syari’ah. Bagaimanapun juga, konsep baru yang diterima tidak berarti apa-apa bila tidak sesuai dengan isu dan tantangannya. Demikian pula, sangat penting untuk mengatasi isu dan tantangan dalam mencapai keberhasilan implementasi audit syari’ah. Oleh karena itu, ada beberapa pertanyaan yang dirangkai berkaitan dengan penelitian ini, diantaranya:
1)  Bagaimana pandangan mahasiswa postgraduate di Brunei tentang audit syari’ah?;
2)  Apakah mereka peduli dan mengerti tentang istilah dan konsep audit syari’ah?;
3)  Bagaimana pendapat mereka tentang kebutuhan mengatasi berbagai isu dan tantangan yang dihadapi dalam audit syari’ah?
       Tujuan dari studi ini ialah untuk memperoleh titik terang terkait pandangan mahasiswa postgraduate, kepedulian dan pemahaman terkait istilah dan konsep audit syari’ah di brunei. Studi ini juga mencoba untuk menyediakan beberapa wawasan yang bermanfaat dan menganjurkan atau memberi saran tentang bagaimana audit syari’ah dapat ditingkatkan lagi. Hal ini sangat penting bagi perbankan dan keuangan syari’ah di Brunei karena masih baru dan lebih mudah dalam menuntaskan problem di awal ketimbang menunggu beberapa tahun sehingga baru mencari solusi atas itu. Studi ini signifikan dampaknya karena membantu mengidentifikasikan isu serta tantangan yang dihadapi oleh audit syari’ah dalam konteks Brunei Darussalam.
       Studi ini membuktikan bahwa mahasiswa postgraduate peduli dan memahami bahwa audit syari’ah sangat penting. Hal ini penting sebab mereka adalah generasi masa depan yang akan mengambil alih kepemimpinan negara dan berkontribusi sebagai tenaga ahli khususnya di institusi keuangan syari’ah. Mereka juga bertanggungjawab untuk meningkatkan masa depan pembangunan dan implementasi atas audit syari’ah di negara ini. Brunei darussalam memiliki masalah terkait tenaga ahli yang tersedia. Sehingga, mahasiswa postgraduate inilah yang merepresentasikan sumber daya manusia yang signifikan terhadap masa depan bangsa. Bagaimanapun juga, terdapat beberapa keterbatasan dalam studi ini. Responden hanya berasal dari dua institusi tertinggi yang menawarkan program postgraduate, sehingga sampelnya juga terbatas. Kedua, ketersediaan literatur yang sedikit tentang audit syari’ah dan yang berkaitan dengan konteks Brunei Darussalam menjadi tantangan yang signifikan untuk melakukan studi bagi para mahasiswa postgraduate yang mendapatkan sedikit atau bahkan hampir tidak ada informasi mengenai audit syari’ah. Studi ini memiliki urutan sebagai berikut: Bab 2 mendiskusikan tentang literatur yang diikuti oleh bab 3 tentang kerangka kerja konseptual. Kemudian, metodologi penelitian ditampilkan dalam Bab 4. Hasil dari studi ditampilkan dalam bab 5 dan terakhir bab 6 membahas kesimpulan serta beberapa saran yang bisa dilakukan dalam penelitian selanjutnya.
2. Review atas Literatur Audit Syari’ah pada Sektor Keuangan Islam yang Masih Dalam Tahap Penelitian
       Ini merupakan dampak dari kurangnya literatur terkait masalah ini. Beberapa studi (Haniffa, 2010; Rahman, 2008; Rammal, 2009; Yaacob, 2012) kebanyakan sanagat teoretis dan hanya ada beberapa yang empiris (Kasim et al., 2009). Bab ini akan dibagi ke dalam empat bagian. Pertama, cakupan audit syari’ah akan dibahas terlebih dahulu. Kedua, kerangka kerja audit syari’ah akan ditampilkan. Ketiga, pembahasan terkait kualifikasi auditor syari’ah dan di bagian akhir adalah independensi auditor syari’ah. Terakhir, ikhtisar akan ditampilkan.
2.1 Cakupan Audit Syari’ah
       Kasim et al., (2009) menyatakan bahwa, “ketiadaan pengalaman, spesifikasi dan definisi terkait cakupan praktik auditing syari’ah merupakan permasalahan yang menyebabkan jurang pemisah antara’keinginan’ dan ‘realitas’ “. Pada auditing konvensional, cakupan audit jelas-jelas dinyatakan dan menjadi panduan bagi auditor untuk objektif dalam mengumpulkan bukti-bukti. Sebaliknya, penugasan audit  akan menjadi lama dan sumber daya seperti waktu dan uang akan terbuang percuma karena tidak ada cakupan yang jelas dalam pekerjaan audit. Audit syari’ah diklaim memiliki fungsi sosial; sehingga, cakupannya bisa lebih luas mencakup ‘budaya sosial’ dan performa entitas yang termasuk hubungannya terhadap para stakeholder. Sebagai contoh, dalam pembayaran zakat, ini merupakan kewajiban bagi LKS untuk membayar dan mendistribusikannya atau membayarkannya kepada lembaga terkait. Ketiadaan cakupan audit syari’ah akan membawa industri ini ke dalam kehancuran. Nampaknya, institusi keuangan syari’ah tidak mengambil langkah yang tepat untuk memastikan pembuat standar dan badan regulasi terkait serius melihat permasalahan ini.
       Pada saat ini, cakupan yang ada tergantung pada penasihat syari’ah dan DPS yang mengawasi review syari’ah atau syari’ah audit. Rahman (2008) mendukung hal tersebut dimana ia mengatakan bahwa “industri jasa keuangan syari’ah saat ini tidak sepenuhnya secara sistematis menjalankan audit syari’ah, dengan kata lain tidak ada review secara sistematis yang dilakukan secara komprehensif yang dijalankan untuk memastikan kepatuhan syari’ah telah dijalankan. Oleh karena itu, audit syari’ah dapat menerapkan review sistematis atas aspek operasional dari institusi keuangan Islam. Hal ini termasuk pemeriksaan kebijakan dan prosedur di institusi keuangan Islam, seperti manual produk, proses dan kontrak operasional. Hal tersebut juga membutuhkan review atas struktur organisasional untuk memastikan apabila terdapat kemudahan dalam mengambil alih kegiatan kepatuhan syari’ah. Sebagai tambahan, dia juga menyinggung tentang pembentukan sebuah “program audit yang sistematis dan cermat” seperti daftar prosedur audit untuk seluruh audit syari’ah, termasuk dokumen legal untuk prosedur operasional dan seterusnya. Program ini didesain untuk mengaudit area khusus dari keseluruhan cakupan proses audit, dan dapat dikembangkan untuk memenuhi berbagai produk dan jasa keuangan syari’ah. Program audit syari’ah ini perlu untuk dijadikan standar yang bisa dipahami oleh para calon stakeholder. Timbal balik mereka sangat dibutuhkan setelah periode percobaan program audit syari’ah dalam praktik di lapangan.
       Standar audit AAOIFI (2010) menekankan bahwa tujuan dari audit syari’ah adalah “untuk memungkinkan auditor mengungkapkan opininya terkait apakah laporan keuangan telah disajikan, dalam seluruh aspek yang material, kesesuaian dengan fatwa, peraturan, pedoman yang ditetapkan oleh DPS di institusi keuangan syari’ah, standar akuntansi AAOIFI, standar dan praktik akuntansi nasional dan internasional, serta aturan dan undang-undang yang diterapkan di masing-masing negara tempat institusi keuangan syari’ah tersebut berada”.
2.2 Kerangka Kerja Audit Syari’ah
       Sebagian besar dari institusi keuangan Islam menggunakan kerangka kerja audit konvensional karena ketiadaan kerangka kerja audit syari’ah. Mayoritas responden dalam penelitian yang dilakukan oleh Kasim setuju bahwa kerangka kerja audit syari’ah harus berbeda dari kerangka kerja audit konvensional. Selain itu, mereka sepakat bahwa badan regulasi harus bertanggungjawab untuk menyusun kerangka kerja dan diterapkan oleh seluruh institusi keuangan Islam yang beroperasi khususnya di wilayah Malaysia. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Volk dan Pudelko pada keuangan syari’ah di eropa menawarkan empat hal untuk kerangka kerja tersebut, 1) Kondisi permintaan; 2) Kondisi penawaran; 3) Kondisi regulasi; dan 4) Kondisi sosial (Rammal, 2010). Mereka menyebutkan bahwa kerangka kerja tersebut akan dapat membantu memacu pertumbuhan pasar perbankan syari’ah di negara-negara Eropa.
2.3 Kualifikasi Auditor Syari’ah
       Merujuk pada pernyataan standar audit AAOIFI (2010), “auditor harus banyak mengetahui persoalan tentang aturan dan prinsip syari’ah. Meskipun, dia tidak memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan anggota DPS dan dengan begitu auditor tidak dapat diharapkan untuk menyediakan penilaian atas aturan dan prinsip syari’ah. Fatwa, aturan dan pedoman yang diterbitkan oleh DPS menjadi dasar bagi auditor dalam mempertimbangkan apakah LKS telah mematuhi aturan dan prinsip syari’at Islam. Auditor juga bisa menerapkan hal ini untuk menyimpulkan apakah laporan keuangan dari LKS telah disajikan sesuai dengan aturan dan prinsip syari’ah”. Di samping hal tersebut, Kasim et al., (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan orang yang memiliki dua kualifikasi sekaligus dalam hal syari’ah dan akuntansinya.
       Kualifikasi ini begitu penting dalam menentukan visi dan misi Islam yang diterapkan dalam institusi keuangan Islam (Yaacob, 2012). Hal ini juga disetujui oleh Rammal dan Parker (2010) yang menyatakan bahwa “dalam usaha untuk memenuhi persyaratan dari Bank Negara Pakistan, individu yang memenuhi ‘kriteria fit and proper’ harus mengikuti pelatihan dalam pendidikan religius (kurikulum Darul Nizami yang diterapkan pada madrasah). Hal ini karena ada orang yang terdidik secara agamis, belum tentu paham akan ilmu perbankan dan keuangan, sehingga mereka diharuskan mengikuti pelatihan tambahan sebagai sarana pendidikannya”. Sebagai tambahan, masih adanya perdebatan yang terjadi terkait siapa yang berperan melakukan audit syari’ah. Penelitian Kasim menemukan bahwa beberapa responden lebih suka jika praktik auditing syari’ah diberikan kepada orang yang memenuhi kualifikasi khusus dalam hal syari’ah saja. Lainnya menginginkan audit syari’ah menjadi tanggung jawab dari auditor internal atau masing-masing departemen syari’ah atau anggota komite syari’ah.
       Menurut Price Waterhouse Coopers (2011), fungsi audit syari’ah dilakukan oleh auditor internal yang memiliki ilmu dan kemampuan yang cukup terkait syari’ah. Tujuan utamanya adalah memastikan sosialisasi dan sistem kontrol internal efektif dalam mematuhi syari’ah. Auditor internal juga bisa menggunakan keahlian petugas syari’ah di institusi keuangan Islam tersebut dalam pelaksanaan audit tersebut selama keobyektifan audit tetap terjaga. Institusi keuangan syari’ah juga dapat menunjuk pihak eksternal untuk melakukan audit syari’ah terhadap operasional perbankan mereka. AAOIFI dalam standar auditingnya (2010), mewajibkan auditor eksternal untuk memperoleh bukti yang tepat dan cukup yang bisa mendukung opini yang diberikan bahwa institusi keuangan syari’ah tersebut telah mematuhi seluruh aturan dan prinsip syari’ah termasuk fatwa, peraturan dan pedoman yang diterbitkan oleh DPS.
       Oleh sebab itu, auditor bertanggungjawab dalam membentuk dan memberikan opininya terhadap laporan keuangan seperti yang telah dijelaskan dalam Governance Standards for Islamic Financial Institutions (GSIFI, No 1). IFSB (2006) dalam pernyataannya menyinggung tentang auditing syari’ah, “komite audit dari institusi yang menawarkan jasa keuangan Islam dapat menggunakan upaya-upaya terbaik dalam memastikan bahwa auditor eksternal sanggup menyelesaikan review ex-post atas kepatuhan syari’ah (dengan catatan, dimana pekerjaan ini dilakukan oleh auditor internal atau pengawas syari’ah dalam pengertian mereka sebagai acuan. Hal ini, jika memungkinkan, komite audit dan internal auditor atau pengawas syari’ah dapat bekerja lebih dekat dengan internal auditor untuk meningkatkan kapabilitas auditor eksternal untuk melakukan hal seperti review atas kepatuhan syari’ah sebagai bagian dari proses audit mereka. Kebanyakan institusi yang menawarkan jasa keuangan syari’ah telah memiliki auditor internal atau pengawas syari’ah yang melakukan hal tersebut, sementara beberapa di antaranya memiliki DPS atau petugas pengawas kepatuhan syari’ah untuk melakukan hal tersebut”.
2.4 Independensi Auditor Syari’ah
       Seperti yang telah disebutkan oleh Kasim et al., (2009), dalam praktiknya, ada kepercayaan yang tinggi terhadap auditor internal atau manajemen dari unit syari’ah untuk melakukan audit syari’ah pada institusi keuangan Islam. Ancaman yang muncul dari review yang dilakukan sendiri akan terjadi apabila tidak terdapat pemisahan tugas yang ditetapkan. Selanjutnya, meskipun para responden telah paham apa yang sebenarnya diinginkan terkait independensi, tetapi nyatanya mereka tidak dapat menghindar untuk bersantai terhadap prinsip-prinsip independensi dalam keadaan yang bisa dihindari. Keinginan untuk potensial secara penuh dari suatu audit tidak bisa direalisasikan apabila mereka sendiri tidak sepenuhnya dan benar-benar independen, khususnya dalam mencapai tujuan sosial (keuntungan bagi ummat) akan terhalangi.
       Sebagai tambahan, Rammal (2009) juga menunjukkan perhatian serupa terhadap potensi konflik kepentingan pada pengawas syari’ah. Hal itu berdasarkan fakta bahwa di beberapa negara, pengawas syari’ah yang terlihat merupakan auditor internal ketimbang auditor eksternal yang diizinkan bekerja di lebih dari satu institusi keuangan. Izin ini membolehkan pengawas syari’ah bekerja di lebih dari satu perusahaan atau institusi keuangan menjadi ancaman terhadap independensi mereka sebagai pengawas dan auditor. Satu senior pengawas syari’ah adalah panel penasehat bagi lebih dari sepuluh institusi. Persepsi atas independensi menjadi terancam disini ketika orang akan mempertanyakan motivasi atas hadiah finansial yang dibandingkan dengan tujuan dalam menerbitkan fatwa, aturan dan pedoman (Rammal & Parker, 2010; Yaacob, 2012).
       Sehingga, indikasi tersebut menghasilkan auditor syari’ah yang kompeten dan independen, auditor syari’ah harus paham dengan kriteria yang dipakai dalam audit syari’ah serta harus kompeten untuk melihat jenis dan jumlah bukti yang terkumpul sebelum menyelesaikan audit. Auditor juga harus punya mental sikap independen, dimana kompetensi mereka merupakan nilai terkecil yang tercermin dalam akumulasi atau evaluasi atas bukti-bukti (Rahman, 2008). Meskipun independen secara mutlak adalah suatu hal yang mustahil, auditor syari’ah harus berusaha menjunjung tinggi independensi baik secara faktual maupun penampilan. Dalam kasus auditor syari’ah, (yang bekerja di institusi keuangan syari’ah), mereka selalu melaporkan secara langsung kepada pihak manajemen, tetap menjaga independensi atas departemen yang mereka audit.
2.5 Ikhtisar Umum
       Masih terdapat beberapa isu yang belum terselesaikan dalam audit syari’ah untuk masalah cakupan, kerangka kerja, kualifikasi auditor syari’ah dan independensi mereka. Hal tersebut dapat memberikan kesan yang kurang baik terhadap kredibilitas institusi keuangan syari’ah. Mereka dapat mengatasi hal tersebut dengan seketika karena bisa mengancam tingkat kepercayaan publik terhadap produk dan jasa pelayanan institusi keuangan syari’ah yang sesuai dengan aturan serta pedoman syari’ah. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa audit syari’ah, sebagai fungsi sosial, sangat penting untuk mencapai maqashid al-syari’ah.
       Auditor syari’ah dapat menjadi salah satu pihak yang memiliki ilmu, kapabilitas dan independensi yang cukup untuk melakukan auditing. Mereka harus terlatih dalam hal akuntansi, keuangan dan auditing terutama juga syari’ah dan fiqih (Yaacob, 2012).
3. Kerangka Kerja
          Terkait dengan kebutuhan untuk memastikan ketepatan dan ketaatan terhadap prinsip audit syari’ah dalam operasi dan aktifitas, peran dari setiap aktor utama dalam auditing institusi keuangan Islam sangat diperlukan. Pertama adalah Komite Audit dan Governance di LKS. Komite Audit bertanggungjawab atas kepatuhan fungsi, sistem kontrol internal dan menggunakan akun investasi yang terbatas, kepatuhan syari’ah, akun interim dan anual serta praktik auditing dan akuntansi. Kedua adalah DPS. Mereka bertanggungjawab mengeluarkan fatwa, menyusun kebijakan yang sesuai syari’ah, dan memberi pengesahan syari’ah atas produk dan jasa LKS; peran mendasar mereka adalah sebagai pihak yang memberi persetujuan dan pengesahan. Ketiga, auditor internal bertanggungjawab untuk melakukan audit internal dan memastikan LKS mematuhi syari’ah dan seluruh transaksi serta kontrak dilaksanakan dengan kerangka kerja syari’ah. Beberapa LKS telah memiliki petugas syari’ah sebagai unit yang bekerja sama dengan auditor internal atau menjadi bagian dari auditor internal.
          Keempat, auditor eksternal bertanggungjawab memberi opini mengenai apakah kontrak dan transaksi telah sesuai dengan kebijakan, aturan dan pedoman syari’ah. Auditor internal dan eksternal juga bertanggungjawab untuk menguji kepatuhan syari’ah LKS. Rupa-rupanya, para stakeholder adalah juga satu pihak yang berperan penting dalam keuangan Islam. Iqbal dan Mirakhor (2003; 2004) dan Iqbal & Molyneux (2005) seperti yang dikutip oleh Dusuki (2006) dengan tegas berpendapat bahwa stakeholder adalah salah satu pihak yang hak-hak propertinya berada dalam posisi yang dipertaruhkan atau berisiko atas peran aktif maupun tidak aktif di entitas yang bersangkutan. Kedua pendapat yang pada dasarnya terdiri dari beberapa grup yang terdiri dari orang-orang atau individu dimana perusahaan memiliki  kewajiban kontraktual baik implisit maupun eksplisit yang menyebabkan mereka menjadi stakeholder ketika perusahaan mungkin tidak memiliki kontrak formal dengan mereka melalui tawaran yang menguntungkan.
          Bagaimana pun juga, penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada ketidakjelasan dalam memahami bagaimana audit syari’ah ini bekerja. Persoalan yang belum selesai terkait cakupan, kerangka kerja dan independensi audit syari’ah masih tetap menjadi perhatian utama dari seluruh pihak dalam sektor keuangan Islam. Pemahaman yang mendalam tentang bagaimana audit bekerja sangat penting artinya. Penting untuk memastikan ketahanan institusi keuangan Islam dalam jangka panjang, menjalankan kerangka kerja sesuai syari’ah dan mencapai maqashid syari’ah.
4. Metodologi Penelitian
          Metode penelitian yang digunakan ialah pendekatan kuantitatif. Kuesioner survei berdasarkan literatur sebelumnya (seperti Kasim et al., 2009; PwC, 2011) yang dikembangkan. Kuesioner ini digunakan sebagai alat yang efektif untuk memperoleh opini, sikap dan penjelasan maupun menagkap sebab dan efek yang berhubungan (Ghauri dan Gronhaug, 2010, p.118). Ini akan membantu membentuk kepedulian dan penyebaran informasi. Data primer dalam penelitian ini diperoleh menggunakan kuesioner dan data sekunder berasal dari artikel yang diterbitkan, buku dan koran berita.
4.1 Rancangan Penelitian
Kuesioner dibagi ke dalam tiga bagian dan tiap-tiap bagian mengandung pertanyaan yang menyinggung tujuan dari penelitian ini dan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa postgraduate di dua universitas di Brunei, sebut saja universitas A dan universitas B. Penelitian ini menggunakan convenience sampling atau purpossive sampling untuk memilih sampel. Jumlah total dari mahasiswa postgraduate ini tidaklah banyak, kuesioner disebar secara langsung dan berdasarkan partisipasi sukarela. Sebanyak 40 mahasiswa postgraduate dipilih dan diberikan kuesioner. Bagian pertama didesain untuk memperoleh data demografis dari para responden. Pada bagian kedua, 10 pertanyaan diberikan untuk mengetahui pengetahuan dan kepedulian terkait masalah audit syari’ah. Pada bagian ini, pertanyaan diberikan berjenis close-ended. Terdapat beberapa pertanyaan yang dapat dijawab dengan memilih lebih dari satu jawaban.
Terakhir, pada bagian ketiga, para responden diberikan pertanyaan mengenai opini terhadap audit syari’ah di sektor keuangan Islam di Brunei. Terdapat 23 pertanyaan dalam bagian ini. Jawaban diambil berdasarkan format Skala Likert yang terdiri dari 5 skala, yaitu (1) sangat tidak setuju; (2) tidak setuju; (3) netral; (4) setuju; dan (5) sangat setuju. Rincian lebih lanjut mengenai kuesioner ini dilampirkan di Appendix 1 (termasuk sampel kuesioner).
4.2 Pengumpulan data
Jumlah keseluruhan dari 40 kuesioner telah disebar dan masing-masing kuesioner yang kembali dipilah dengan baik dari kesalahan, tidak lengkap atau tidak dijawab oleh responden. Kemudian, kuesioner yang tidak kembali dan lengkap dikeluarkan dari proses analisis. Hanya kuesioner yang lengkap dan valid lah yang digunakan dalam analisis final. Tiga belas kuesioner dianggap nol dan tidak berlaku. Untuk bagian akhir, jumlah dari 27 dari 40 kuesioner dianggap valid, yang memberi jawaban dengan tingkat sebesar 67,5%, yang dianggap bisa dijadikan sebagai sampel yang valid dan berkualitas untuk analisis statistik.
4.3 Analisis Data
Penelitian ini menggunakan distribusi frekuensi untuk melihat pola respon atas masing-masing variabel yang diteliti. Kemudian, kategori selanjutnya dicatat dan nilai observasi dijumlah (Ghauri dan Gronhaug, 2010, hlm.153)
5. Hasil Penelitian
5.1 Data Demografis
Table 1. Distribution of respondents by gender (n=27)

Gender
Frequency
Percent
Male
2
7
Female
25
93
Tabel 1 memperlihatkan jumlah responden yang valid ialah 27 (n=27). Ini merepresentasikan 67,5% tingkat jawaban untuk menjawab kecukupan validitas atas penelitian ini. Dari 27 responden; 25 orang diantaranya adalah wanita yang menunjukkan 93% dan hanya 2 Pria menunjukkan 7% dari sampel ini.
Table 2. Distribution of respondents by age (n=27)

Age
Frequency
Percent
21 - 30
25
93
31 - 40
2
7
41 – 50
0
0
51 and above
0
0
Tabel 2 mengindikasikan bahwa sampel ini terkesan lebih banyak wanitanya tetapi ini juga mencerminkan populasi mahasiswa di kedua universitas yang 70%-nya adalah wanita sedangkan 30%-nya adalah pria. Untuk usia responden, dapat dikategorikan dalam usia antara 21-30 tahun menunjukkan 93% dari keseluruhan sampel. Lagi-lagi, hanya 2 yang menjadi 7% berada di usia antara 31-40 tahun.
Table 3. Distribution of respondents by institution (n=27)

Institution
Frequency
Percent
University A
18
67
University B
9
33
Untuk responden yang terkait dengan institusi, 18 responden (67%) berasal dari universitas A. Dan 9 lainnya (33%) berasal dari universitas B.
5.2 Kepedulian dan Pengetahuan Audit Syari’ah
Table 4. Awareness and knowledge of shari’ah audit (n=27)

Answer
Frequency
Percent
Yes
8
67
No
19
33
Tabel diatas menunjukkan mayoritas responden, 70% (19 orang) tidak peduli dengan istilah audit syari’ah dan hanya 30% (8 orang) yang peduli atau pernah mendengar istilah ini. Hal ini mengindikasikan bahwa audit syari’ah belum begitu populer di Brunei dalam konteks bahwa kurang dari separuh jumlah responden yang peduli terhadap hal ini.
Table 5. Knowing the term shari’ah audit (n=27; multiple answers)

Answer
Frequency
Percent
None
18
55
TV
2
6
Radio
3
9
Internet
3
9
Words of mouth
4
12
Others
3
9
Sebagai contoh, pertanyaan tentang apakah mereka mendengar istilah audit syari’ah berawal dari channel atau media, 55% (18 orang) tidak pernah pernah mendengar dan mengetahui dari kedua cara tersebut. 12% (4 orang) tahu dari mulut ke mulut dan 9% (3 orang) mendengar lewat radio, internet dan lainnya, termasuk kelas perkuliahan yang mereka ikuti. Hanya 6% (2 orang) yang tahu istilah ini dari televisi.
Table 6. Difference between shari’ah audit and conventional audit (n=27)

Answer
Frequency
Percent
Yes
6
78
No
21
22
Tabel 6 menunjukkan bahwa 78% (21 orang) responden tidak tahu perbedaan antara audit syari’ah dengan konvensional dan hanya 22% (6 orang) yang tahu perbedaan di antara keduanya. Penelitian ini menunjukkan fakta bahwa sebagian besar yang tidak memiliki background dalam ilmu akuntansi, mereka tidak akan pernah mengetahui hal auditing sebelumnya. Terutama pada mahasiswa pada ilmu Islam dan ilmu Sosial.
Table 7. Coverage of shari’ah audit (n=27)

Answer
Frequency
Percent
All activities
15
56
Satisfactory
10
37
Sampling
2
7
Kurang dari separuh responden, 57% (16 orang) mengatakan bahwa audit syari’ah dapat dilakukan dalam setiap aktifitas tunggal, sementara 36% (10 orang) lainnya setuju bahwa hal ini dapat dilakukan sepanjang auditor merasa puas. Selanjutnya 7% responden (2 orang) menjawab bahwa audit syari’ah dapat dilakukan menggunakan metode sampling.
Table 8. Period of shari’ah audit (n=27; multiple answers)

Answer
Frequency
Percent
All year
19
66
End of year
5
17
New product
5
17
Ketika menjawab mengenai kapankah audit syari’ah dapat dilakukan (Tabel 8), 66% (19 orang) menjawab bahwa ini dapat dilakukan sepanjang tahun pembukuan. Sebanyak 17% (5 orang) menjawab bahwa ini dapat dilakukan hanya di akhir tahun dan 17% sisanya (5 orang) menjawab bahwa ini dapat dilakukan ketika dikeluarkan produk terbaru.
Table 9. Involvement of shari’ah scholar (n=27; multiple answers)

Answer
Frequency
Percent
Audit planning
19
43
Audit report
10
23
Review report
8
18
Not involve
2
5
Facilitate audit
5
11
Tabel 9 menunjukkan keterlibatan peran sarjana syari’ah terhadap audit syari’ah. 43% (19 orang) responden berpikir bahwa sarjana syari’ah dapat dilibatkan dalam menyediakan pedoman umum dan strategi selama tahap perencanaan audit. Ini diikuti oleh 23% (10 orang) responden yang merasa bahwa sarjana syari’ah dapat mendampingi proses pelaporan audit dan membentu menyarankan rencana tindakan. Sebanyak 18% (8 orang) mengusulkan sarjana syari’ah untuk membantu review atas pelaporan audit dan melakukan tindak lanjut atas pertanyaan-pertanyaan bersama manajemen. 11% (5 orang) berpikir bahwa sarjana syari’ah bisa memfasilitasi proses lingkungan kerja audit dan 5% sisanya (2 orang) menyatakan bahwa sarjana syari’ah tidak berperan apa-apa dalam proses audit syari’ah.
Table 10. Shari’ah audit scope (n=27; multiple answers)

Answer
Frequency
Percent
Policies
11
10
Reports and Circulars
8
7
Contract and Agreement
15
14
Process and Procedure
9
8
Marketing
7
6
Human Resource
5
5
Zakat
20
19
Social Activities
8
7
Finance
15
14
Environment
3
3
IT
7
7
Dalam hal cakupan wilayah audit syari’ah, 19% (20 orang) beranggapan bahwa perhitungan dan pembayaran zakat perlu dimasukkan ke dalam proses audit syari’ah. 14% (15 orang) menganggap bahwa kontrak, kesepakatan dan sistem keuangan serta pelaporan harus dimasukkan ke dalam cakupan ini. 10% (11 orang) mengindikasikan bahwa kebijakan bisnis juga termasuk dalam audit syari’ah. 8% (9 orang) menyatakan bahwa proses dan prosedur ialah bagian dari cakupan audit ini dan sebanyak 7% (8 orang) merasa bahwa cakupan audit bisa termasuk pelaporan dan siklus, pemasaran dan iklan serta aktifitas sosial dan kontribusi yang diberikan selama ini.
Enam persen (6%) yang beranggapan sistem IT termasuk dalam cakupan audit, dimana 5%-nya menambahkan manajemen SDM sebagai cakupannya. Hanya 3% yang memilih dampak lingkungan terhadap operasi LKS untuk menjadi cakupan audit (Tabel 10).
Table 11. Qualification of shari’ah audit (n=27; multiple answers)

Answer
Frequency
Percent
Accounting and Shari’ah
11
38
Accounting
4
14
Accounting and Shari’ah Certificate
14
48
Pada tabel 11, terkait kualifikasi auditor syari’ah, hampir separuh, 48% (14 orang) menyatakan bahwa auditor syari’ah dapat memiliki gelar atau kualifikasi profesional dalam bidang akuntansi dan sertifikasi spesialisasi dalam audit syari’ah. Sejumlah 38% (11 orang) menyinggung bahwa auditor harus memiliki dua hal sekaligus yaitu dalam hal gelar akuntansi dan syari’ah. Hanya 14% yang merasa bahwa auditor syari’ah cukup memiliki gelar akuntansi saja.
Table 12. Appointment of shari’ah audit (n=27; multiple answers)

Answer
Frequency
Percent
AMBD
18
56
AGM
5
16
New Body
9
28
Dari tabel 12, 56% (18 orang) mengikasikan bahwa Lembaga Moneter brunei Darussalam bertanggungjawab untuk menunjuk auditor syari’ah untuk setiap LKS. Sebanyak 28% lainnya mengusulkan pembentukan lembaga baru dan badan pengawas yang bertugas mengawasi praktik audit syari’ah yang bertanggungjawab. 16% (5 orang) mengusulkan jika shareholder dari LKS dapat menunjuk auditor syari’ah dalam Rapat Umum Tahunan.
Table 13. Shari’ah audit should be performed by... (n=27; multiple answers)

Answer
Frequency
Percent
Islamic Jurist
11
24
SSB
9
20
External Auditor
2
4
Internal Auditor under SSB
6
13
Shari’ah Auditor
17
39
Dalam hal performa audit syari’ah (Tabel 13), 38% (17 orang) lebih suka bila audit syari’ah dilakukan oleh auditor syari’ah, sebuah kelompok profesional yang bersertifikasi khusus dalam audit syari’ah. Yang diikuti oleh ahli hukum Islam 24% (11 orang) dan DPS 20% (9 orang). Tiga belas persen 13% (6 orang) menyatakan bahwa auditor internal adalah satu-satunya yang bisa melakukan audit syari’ah di bawah pengawasan DPS. 5% (2 orang) merasa bahwa ini merupakan tanggung jawab dari auditor konvensional untuk melakukan audit syari’ah.
5.3 Strategi dalam Mempromosikan dan Mengembangkan Audit Syari’ah
Table 14. Shari’ah audit framework is similar to conventional audit


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
1.00
2
7.4
7.4
7.4

2.00
6
22.2
22.2
29.6

3.00
13
48.1
48.1
77.8

4.00
6
22.2
22.2
100.0

Total
27
100.0
100.0

Tabel 14 menunjukkan setengah responden (48%) tidak memberi tanggapan terkait apakah audit syari’ah dan konvensional memiliki kesamaan dalam kerangka kerjanya. Sebanyak 22% untuk masing-masing jawaban yang memilih setuju dan tidak setuju bahwa kedua kerangka kerja tidak memiliki kesamaan. Hanya 7,4% sangat setuju bahwa kerangka kerja keduanya sama.
Table 15. Shari’ah audit framework should differ from conventional audit


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
2.00
1
3.7
3.7
3.7

3.00
5
18.5
18.5
22.2

4.00
15
55.6
55.6
77.8

5.00
6
22.2
22.2
100.0

Total
27
100.0
100.0

Lebih dari setengah (56%) setuju bahwa kerangka kerja teoretis dapat berbeda sementara 22% lainnya sangat setuju. 18% netral dan 4% tidak setuju bahwa kerangka kerjanya dapat dibedakan (Tabel 15).
Table 16. Use of AAOIFI standards


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
3.00
16
59.3
59.3
59.3

4.00
10
37.0
37.0
96.3

5.00
1
3.7
3.7
100.0

Total
27
100.0
100.0

59% sangat setuju bahwa standar AAOIFI telah digunakan oleh LKS yang ada di Brunei. 37% lainnya setuju digunakan dan 4% sangat setuju (Tabel 16).
Table 17. Development of shari’ah audit


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
3.00
4
14.8
14.8
14.8

4.00
19
70.4
70.4
85.2

5.00
4
14.8
14.8
100.0

Total
27
100.0
100.0

Dalam hal pengembangan audit syari’ah, 70% setuju bahwa penting untuk mengembangkan audit syari’ah terpisah dari audit konvensional. Sementara 15% sangat setuju, persentase yang sama (15%) netral (Tabel 17).


Table 18. Broader scope of shari’ah auditing


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
3.00
6
22.2
22.2
22.2

4.00
15
55.6
55.6
77.8

5.00
6
22.2
22.2
100.0

Total
27
100.0
100.0

Untuk cakupan wilayah dalam auditing syari’ah harus diperluas ketimbang auditng konvensional, 56% setuju, dimana 22% sangat setuju. Sementara 22% lainnya netral (Tabel 18).
Table 19. Shari’ah auditing limited to financial statements audit


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
1.00
1
3.7
3.7
3.7

3.00
15
55.6
55.6
59.3

4.00
9
33.3
33.3
92.6

5.00
2
7.4
7.4
100.0

Total
27
100.0
100.0

56% netral terkait apakah cakupan wilayah auditing syari’ah terbatas hanya dalam audit atas laporan keungan. Meskipun begitu, 33%-nya setuju dan 7% sangat setuju bahwa hal tersebut terbatas hanya untuk audit atas laporan keuangan (Tabel 19).
Table 20. Shari’ah auditors should have specialized qualification


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
3.00
4
14.8
14.8
14.8

4.00
15
55.5
55.5
70.4

5.00
8
29.6
29.6
100.0

Total
27
100.0
100.0

Dalam hal auditor syari’ah harus memiliki sertifikasi spesialisasi syari’ah, 55% setuju dan 30% sangat setuju. 15% netral (tabel 20).
Table 21. Shari’ah audit practitioners are qualified in shari’ah and accounting


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
3.00
5
18.5
18.5
18.5

4.00
14
51.9
51.9
70.4

5.00
8
29.6
29.6
100.0

Total
27
100.0
100.0

30% sangat setuju bahwa praktisi audit syari’ah harus memenuhi kualifikasi di bidang akuntansi dan syari’ah, 52% setuju sementara 18% netral (Tabel 21).
Table 22. Setting up a body for shari’ah auditors


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
3.00
3
11.1
11.1
11.1

4.00
15
55.6
55.6
66.7

5.00
9
33.3
33.3
100.0

Total
27
100.0
100.0

Sebanyak 56% setuju bahwa badan khusus harus segera dibentuk dan menguji kualifikasi dan kompetensi para audtor syari’ah. 33% sangat setuju dan 11% netral (Tabel 22).
Table 23. Shari’ah auditors should be independence


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
3.00
8
29.6
29.6
29.6

4.00
11
40.7
40.7
70.4

5.00
8
29.6
29.6
100.0

Total
27
100.0
100.0

Untuk pertanyaan mengenai apakah auditor syari’ah harus independen terhadap organisasi dimana mereka mengaudit, 41% setuju, 30% sangat setuju dan 29% netral (Tabel 23).

Table 24. Shari’ah auditing practitioners are independent


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
2.00
1
3.7
3.7
3.7

3.00
6
22.2
22.2
25.9

4.00
10
37.0
37.0
63.0

5.00
10
37.0
37.0
100.0

Total
27
100.0
100.0

Untuk hal praktisi auditing syari’ah harus independen, 48% netral, 33% setuju dan 15% sangat setuju dan 4% tidak setuju (Tabel 24).
Table 25. Sufficient number of shari’ah auditors


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
2.00
1
3.7
3.7
3.7

3.00
13
48.1
48.1
51.9

4.00
9
33.3
33.3
85.2

5.00
4
14.8
14.8
100.0

Total
27
100.0
100.0

Hampir separuh, 52%-nya netral ketika ditanyakan terkait apakah terdapat kecukupan jumlah auditor syari’ah untuk melakukan audit syari’ah agar efektif. 4% sangat setuju dan 22% setuju. Dan yang tidak setuju sebanyak 15% dan 7% sangat tidak setuju (Tabel 25).
Table 26. Shari’ah auditors are adequately trained in banking and finance


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
1.00
2
7.4
7.4
7.4

2.00
4
14.8
14.8
22.2

3.00
15
55.6
55.6
77.8

4.00
5
18.5
18.5
96.3

5.00
1
3.7
3.7
100.0

Total
27
100.0
100.0

Ini menandakan bahwa 55% netral terhadap pernyataan apakah auditor syari’ah sudah melewati pelatihan yang cukup terkait operasional perbankan dan produk keuangan. Hal ini diikuti jawaban yang setuju sebanyak 30% dan 4% sangat setuju serta 11% tidak setuju (Tabel 26).
Table 27. Shari’ah auditors are adequately trained in shari’ah related audit risks and issues


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
2.00
3
11.1
11.1
11.1

3.00
16
59.3
59.3
70.4

4.00
7
25.9
25.9
96.3

5.00
1
3.7
3.7
100.0

Total
27
100.0
100.0

59% responden netral menjawab tentang auditor syari’ah harus mengikuti pelatihan yang cukup terkait isu dan risiko syari’ah. Sebanyak 33% setujudengan hal tersebut, 4% sangat setuju dan 4% sangat tidak setuju (Tabel 27).

Table 28. IT systems are sufficient


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
2.00
1
3.7
3.7
3.7

3.00
16
59.3
59.3
63.0

4.00
9
33.3
33.3
96.3

5.00
1
3.7
3.7
100.0

Total
27
100.0
100.0

22% setuju dan 4% sangat setuju terkait kecukupan teknologi informasi dan memenuhi kebutuhan auditor syari’ah terkait data dan informasi yang dibutuhkan. 52% netral dan 22% menjawab tidak setuju (Tabel 28).
Table 29. Islamic financial institutions have done enough in promoting shari’ah audit


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
2.00
9
33.3
33.3
33.3

3.00
11
40.7
40.7
74.1

4.00
6
22.2
22.2
96.3

5.00
1
3.7
3.7
100.0

Total
27
100.0
100.0

Hanya 4% sangat setuju bahwa LKS telah cukup melakukan promosi atas audit syari’ah. Sementara 22% setuju, 33% tidak setuju dan 41% netral (Tabel 29).
Table 30. Mass media can help in educating the public on shari’ah audit


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
3.00
4
14.8
14.8
14.8

4.00
19
70.4
70.4
85.2

5.00
4
14.8
14.8
100.0

Total
27
100.0
100.0

Sebagian besar responden (70%) setuju bahwa media massa dapat membantu meberi edukasi masyarakat terkait audit syari’ah. 15% sangat setuju dan 15% netral (Tabel 30).
Table 31. Basic understanding and knowledge of shari’ah audit


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
1.00
6
22.2
22.2
22.2

2.00
6
22.2
22.2
44.4

3.00
7
25.9
25.9
70.4

4.00
5
18.5
18.5
88.9

5.00
3
11.1
11.1
100.0

Total
27
100.0
100.0

Ketika responden ditanyakan terkait apakah mereka memiliki ilmu dan pemahaman dasar tentang audit syari’ah. 11% sangat setuju, 19% setuju, 26% netral dan 22% sangat tidak setuju (Tabel 31).
Table 32. Willingness to have understanding on shari’ah audit


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
2.00
1
3.7
3.7
3.7

3.00
12
44.4
44.4
48.1

4.00
9
33.3
33.3
81.5

5.00
5
18.5
18.5
100.0

Total
27
100.0
100.0

Selanjutnya, 33% (setuju) bahwa mereka ingin tahu lebih jauh tentang audit syari’ah, 19% sangat tidak setuju, 44% netral dan 4% tidak setuju (tabel 32).
Table 33. Willingness to participate in shari’ah audit program


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
2.00
1
3.7
3.7
3.7

3.00
13
48.1
48.1
51.9

4.00
9
33.3
33.3
85.2

5.00
4
14.8
14.8
100.0

Total
27
100.0
100.0

48% responden menjawab netral terkait partisipasi mereka dalam setiap program pendidikan terkait audit syari’ah. 33% setuju dan 15% sangat setuju untuk berpartisipasi. Hanya 4% tidak setuju untuk ikut berpartisipasi (Tabel 33).
Table 34. Islamic financial institution succeed in educating the public on shari’ah audit


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
1.00
3
11.1
11.1
11.1

3.00
13
48.1
48.1
59.3

4.00
8
29.6
29.6
88.9

5.00
3
11.1
11.1
100.0

Total
27
100.0
100.0

48% netral ketika ditanyakan apakah LKS telah berhasil memberi edukasi terhadap masyarakat terkait audit syari’ah, 30% setuju, 11% sangat setuju dan 11% lainnya sangat tidak setuju (Tabel 34).
Table 35. Exposure of shari’ah audit is limited


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
3.00
8
29.6
29.6
29.6

4.00
12
44.4
44.4
74.1

5.00
7
25.9
25.9
100.0

Total
27
100.0
100.0

44% responden setuju bahwa exposure audit syari’ah terbatas, 26% sangat setuju, 30% netral (Tabel 35).
Table 36. Shari’ah audit has a high potential to be developed


Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
2.00
1
3.7
3.7
3.7

3.00
6
22.2
22.2
25.9

4.00
10
37.0
37.0
63.0

5.00
10
37.0
37.0
100.0
Terakhir, 37% responden sangat setuju dan 37% setuju bahwa audit syari’ah berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. 22% netral dan 4% tidak setuju bahwa hal tersebut berpotensi (Tabel 36).
6. Pembahasan
Distribusi gender mengindikasikan bahwa sebagian besar responden (93%) adalah kaum wanita, dan 7% nya kaum pria. Oleh karena itu opini menjadi bias menurut pandangan wanita. Juga, 93% responden berada di usia di bawah 30 tahun. Hanya 7% berada di usia 40-41 tahun. Jadi, suara generasi muda menjadi mayoritas dalam penelitian ini. Dari sini dapat kita lihat bahwa dua per tiga responden berasal dari universitas A, lebih banyak dari Universitas B dengan lebih banyak mahasiswa dan program postgraduate. Lebih dari separuh responden (55%) belum pernah mendengar istilah audit syari’ah sebelumnya. 70% tidak peduli dan 78% tidak tahu perbedaan audit syari’ah dan konvensional. Demikian pula responden yang merasa bahwa LKS tidak melakukan banyak hal untuk mempromosikan audit syari’ah. Sebanyak 70% di antara mereka yang merasa exposure saat ini terkait audit syari’ah masih sangat terbatas.
Salah satu cara yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut ialah melalui media massa seperti radio, televisi, internet dan koran berita. Meskipun mengalami kemunduran, 34% responden setuju bahwa audit syari’ah sangat-sangat potensial untuk terus dikembangkan di masa depan.
7. Kesimpulan
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa sebagian besar mahasiswa postgraduate tidak peduli dengan istilah audit syari’ah. Mereka juga tidak mengetahui perbedaan audit syari’ah dan konvensional. Hal ini dapat menjadi masalah di kemudian hari terhadap masa depan industri ini dan sebagian besar mereka berada di usia 20-30 tahun. Tidak ada yang ragu bila beberapa di antara mereka suatu saat nanti akan bekerja di LKS . Para responden merasa bahwa cakupan wilayah audit syari’ah lebih luas ketimbang audit konvensional. Sebagai tambahan, mereka menyinggung bahwa auditor syari’ah harus terlatih dalam bidang akuntansi dengan memiliki sertifikasi spesialisasi dalam bidang bidang syari’ah bila mereka tidak bisa menandingi pengetahuan tentang ilmu syari’ah seperti yang dimiliki oleh pengawas syari’ah. Dalam konteks Brunei, para responden mengindikasikan bahwa Lembaga Moneter di negara tersebut menunjuk auditor syari’ah dan juga auditor syari’ah harus independen terhadap LKS tempat mereka bekerja. Terakhir, terkait isu exposure yang terbatas, peran media massa penting dalam membantu menyebarkan informasi ini kepada masyarakat.
7.1 Penelitian di Masa mendatang
Penelitian selanjutnya disarankan agar meneliti tentang seluk beluk peran Hisbah dan Muhtasib dalam konteks modern. Hal ini akan memberi wawasan yang bermanfaat khususnya yang berkaitan dengan isu kompetensi dan independensi auditor syari’ah. Penelitian di masa depan yang dimungkinkan termasuk pandangan dari stakeholder lainnya seperti pegawai, nasabah dan mahasiswa undergraduate. Peran mereka sama pentingnya sehingga LKS dan lembaga terkait bisa mengambil langkah yang dibutuhkan bagi masa depan pertumbuhan dan pengembangan keuangan Islam, khususnya dalam hal audit syari’ah.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ana Suliana Omar yang membantu analisis frekuensi dan untuk menjadi asisten penulisan. Semua kesalahan adalah tanggung jawab dari penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar