Hisham Yaacob
Dept. of
Accounting & Finance
Faculty of
Business, Economics & Policy Studies
Universiti Brunei Darussalam, Brunei
Abstrak
Sektor
keuangan dan perbankan Islam dikatakan menjadi sebuah alternatif dari sistem
keuangan dan perbankan konvensional. Meskipun baru berjalan kurang lebih
sekitar 40-an tahun, telah terjadi pertumbuhan yang dahsyat dalam sektor
keuangan syari’ah dimana aset yang dikelola oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
telah melebihi US $ 1 triliun. Satu hal yang tak bisa dipungkiri, sistem yang
tepat dari audit adalah mempertimbangkan keberlangsungan pertumbuhan dari LKS
dan menjamin bahwa mereka secara ketat mematuhi syari’ah dalam seluruh aspek
(produk, peraturan, prosedur dan kontrak). Oleh sebab itu, kegagalan untuk
memberi kepastian yang layak akan mengurangi pencapaian tujuan dari LKS dan
juga atas maqashid syari’ah. Paper
ini mencoba memberikan perspektif masa kini terkait isu dan tantangan dari
audit syari’ah pada institusi keuangan syari’ah. Dijelaskan bahwa ada beberapa
pihak yang berperan dalam sektor keuangan syari’ah yaitu auditor syari’ah,
pemerintah, pembuat standar dan dewan pengawas syariah. Selanjutnya, paper ini
menyoroti penekanan pada empat isu dan tantangan sebagaimana yang dibahas pada
literatur terkait auditing pada LKS. Paper ini mencoba untuk mempromosikan
institusi hisbah sebagai salah satu solusi yang memungkinkan dan
berkaitan dengan isu atas independensi dan akuntabilitas auditor. Paper ini
juga menyentuh permasalahan terkait isu kurangnya kompetensi di antara para
auditor syari’ah. Paper ini berkesimpulan bahwa LKS memiliki kebutuhan yang
sangat mendesak akan adanya independensi dan akuntabilitas auditor syari’ah
yang juga disertai kompetensi yang tinggi pula. Sejarah mengatakan bahwa
institusi hisbah berperan sebagai
pihak yang memainkan peran penting yang memastikan bahwa pasar memenuhi aturan
syari’ah dan sangat dimungkinkan untuk memunculkan institusi ini lagi serta
diperbaiki dari sisi struktural dan mekanismenya sehingga tidak hanya memberi jaminan
atas kelayakan tapi juga memastikan bahwa LKS sudah berasaskan syari’ah.
Keyword:
Auditor syari’ah, LKS, DPS, Hisbah, muhtasib
1.
Pendahuluan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) telah
berjalan selama kurang lebih 40-an tahun. Institusi yang muncul pertama kali
adalah Mit Ghamr Savings Bank di Mesir yang diprakarsai oleh Ahmad Elnaggar, yang didirikan pada
1962. Bank ini kemudian diambil alih oleh Nasr Social Bank pada 1972 (el-Hawary,
Grains dan Iqbal, 2004). Kemudian Badan Dana Tabungan Haji terbentuk tahun
1963. Kesemuanya itu masih tetap berdiri sampai saat ini (Haniffa dan Hudaib,
2010). Haniffa dan Hudaib (2010) menunjukkan sebuah analisis yang cukup menarik
yaitu dimulai dari awal mula kemunculan institusi keuangan syari’ah modern di
tahun 1940-an hingga saat ini. Mereka memperlihatkan bahwa entah bagaimana
tujuan awal yang semula begitu suci berubah menjadi “kebingungan terhadap
pencapaian modernitas dari sudut pandang sekuler”. Meskipun, memperlihatkan
bahwa pendirian LKS dimulai sebagai awal dari fase perkembangan Islam di Makkah
dan Madinah (Haron dan Azmi, 2009).
Industri keuangan syari’ahIslam dalam
waktu yang relatif singkat telah tersebar luas dalam beberapa dekade ini dan
pada 2011 Bank Islam Dubai menyatakan bahwa sektor keuangan dan perbankan syari’ah
adalah salah satu sektor yang cukup cepat pertumbuhan ekonominya di dunia
hingga saat ini. Akan tetapi, bila disandingkan dengan sektor keuangan dan
perbankan konvensional, sistem keuangan dan perbankan syari’ah masih dalam
tahapan yang masih awal. Sistem keuangan dan perbankan konvensional telah
berdiri sejak abad ke-16 Masehi dimana ketika itu para pedagang Venesia mendirikan
Banco Della Pizza di Rialto,
Venesia, Italia (Haron dan Azmi, 2009, pp: 43-44).
Saat ini, aset yang dikelola oleh
institusi keuangan dan perbankan syari’ah diestimasikan mencapai lebih dari US
$ 1 trilyun (US $ 1.000 milyar). Itu mencakup lebih dari 400 institusi yang
tersebar di seluruh dunia dan paling banyak berada di Timur Tengah, Asia
Tenggara, Eropa dan Amerika. Jumlah aset yang sangat besar ini menjadi jaminan LKS
untuk pengaturan yang baik dan aset dikelola serta diaudit untuk melindungi
kepentingan stakeholders. Karena hal
inilah audit syari’ah muncul. Kita semua tentunya tidak ingin semua kesalahan
dan kegagalan sistem konvensional terulang kembali pada institusi keuangan
Islam ini.
LKS merupakan ujung tombak institusi
ekonomi Islam (Khan, 2000). Abdullah dan Pillai (2010) telah menyatakan bahwa “LKS
memiliki tugas-tugas sebagai fidusia dan memiliki tanggung jawab yang cukup
besar kepada para stakeholders dibanding institusi keuangan konvensional”. LKS
harus mematuhi syari’ah dalam berbagai aspek untuk keseluruhan operasi dan
manajemennya. Oleh karena itu, riba’
sangat dilarang secara total. Ini merupakan perintah yang tertulis di dalam
al-Qur’an. Selain itu, juga melarang seluruh transaksi dan kontrak terhadap
unsur-unsur gharar (ketidakpastian)
dan maysir (judi) (Bank Islam Brunei
Berhad, 2001; Karim, 1990, hlm.34; Sayd Farook, 2007). Lebih lanjut, paper ini
juga menjelaskan bahwa setiap LKS sebaiknya memiliki badan hukum yang tepat dan
governance syari’ah yang menjamin
sistem, kebijakan dan prosedur telah sesuai dengan prinsip-prinsip Islami serta
menjadi pedoman bagi keseluruhan “bentuk, semangat dan substansi” (Aziz, 2007).
Perusahaan dan tata kelola syari’ah dapat
digambarkan sebagai sistem formal akuntabilitas oleh manajemen tingkat atas LKS
kepada para stakeholders dan juga
kepada Sang Pencipta (Nahar dan Yaacob, 2011). Hal ini mengarah pada upaya
perlindungan terhadap kepentingan serta hak stakeholders dari perusahaan (LKS)
yang tercermin pada aksi dan keputusan yang harus sesuai dengan maqashid syari’ah (Hasan, 2009). Ada
beberapa dampak langsung terhadap ummat dalam tataran praktis perusahaan dan
kebijakan tertentu khususnya dalam hal zakat dan pelarangan atas riba’. Zakat
dan pelarangan riba adalah dua pilar utama ekonomi Islam dan sistem distribusi
kekayaan. Jadi, hal ini sangat penting bagi auditor syari’ah untuk mengecek
perhitungan dan pembayaran zakat (Khan, 1985).
Menurut Lewis (2005), tata kelola
perusahaan Islami dapat dibagi ke dalam tiga dimensi yaitu “oleh siapa, untuk
siapa dan dengan apa”. Allah subhanahu
wata’ala berfirman dalam Q.S. Asy Syuura (42: 38) bahwa:
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
Artinya:
“dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
Ayat tersebut memberi penjelasan bahwa
hiduplah satu sama lain dalam musyawarah dan kesabaran, dan menyandarkan segala
sesuatunya kepada Allah subhanahu
wata’ala yang termasuk kualitas
fundamental dari tata kelola Islam.
Dalam Islam, Allah subhanahu wata’ala
menjadi tujuan terakhir dan sebagai
jawaban atas termin “untuk siapa”. Syari’ah menjadi tata kelola atas perilaku
manusia dan institusi hisbah
mengambil peran untuk memastikan kepatuhan dari orang-orang dan khususnya
perusahaan. Pengawasan atau audit dari aspek religius ini sangat penting
artinya untuk memastikan perusahaan mengikuti syari’ah dan juga untuk memberi
saran kepada entitas bisnis serta menyediakan laporan bagi para stakeholders.
Audit syari’ah secara sepintas mungkin
mirip dengan fungsi audit pada perusahaan tetapi lebih difokuskan pada
kepatuhan LKS terhadap aturan dan persyaratan syari’ah (Sultan, 2007). Haniffa
(2010, hlm.45) menekankan bahwa audit keuangan konvensional tidak cukup
memenuhi kebutuhan para stakeholders dari LKS yang bersangkutan. Hal ini
benar adanya karena IAS tidak menyentuh aspek-aspek syari’ah. IAASB hanya
menetapkan standar internasional untuk auditing, quality control, review dan assurance
serta jasa terkait lain yang sebagian besar mengakomodir kepentingan para pemegang
saham. Kadang-kadang IAS juga membuat standar yang hanya berlaku di negara
tertentu dan kepentingan di suatu wilayah. Hanya di masa sekaranglah kita dapat
melihat pertumbuhan yang baik dari sisi kepedulian LKS mengimplementasikan
audit syari’ah sebagai salah satu elemen kunci tata kelola syari’ah dari
perusahaan untuk mencapai tujuan syari’ah (Kasim, Ibrahim dan Sulaiman, 2009).
Sebelum kita membahas lebih lanjut mari kita terlebih dahulu melihat definisi
audit syari’ah yang digunakan pada paper ini:
“Audit
syari’ah adalah pemeriksaan atas kepatuhan LKS terhadap syari’ah dalam seluruh
aktifitas, terutama pada laporan keuangan dan komponen operasional LKS lainnya
dalam memperlakukan risiko atas kepatuhan termasuk tetapi tidak terbatas hanya
pada produk, teknologi pendukung operasional, proses operasional, orang-orang
yang berkaitan dengan wilayah risiko, dokumentasi dan kontrak, kebijakan dan
prosedur serta aktifitas lainnya yang menghendaki prinsip-prinsip syari’ah”.
(Haniffa, 2010; Sultan, 2007). Audit syari’ah dapat memastikan bahwa LKS
memiliki hak suara dan sistem pengendalian internal yang efektif dalam mematuhi
syari’ah (ISRA, 2011, p.811).
Audit syari’ah bertujuan untuk memastikan
produk, layanan dan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh LKS tidak melanggar
prinsip syari’ah. Ada beberapa ruang lingkup dari audit syari’ah, yang di
dalamnya termasuk audit atas laporan keuangan, audit operasional, audit
struktur dan pegawai serta yang terakhir audit sistem informasi (Sultan,
20007). Hal ini karena IAS tidak bisa memberi peraturan khusus terkait audit syari’ah
sebagaimana yang telah dikatakan oleh Khan (1985); kerangka kerja audit
tradisional sudah terlalu mendarah daging dengan paradigma kapitalis dan
sekuler dari dunia Barat. Oleh karena itu, auditor syari’ah (baik internal
maupun eksternal) dapat memastikan bahwa seluruh regulasi dan pedoman syari’ah
sudah diterapkan oleh LKS (Haniffa, 2010). Merujuk pada Shafii, Salleh dan
Shahwan (2010, hlm.3), tugas dan tanggung jawab dari penasehat syari’ah adalah
untuk memastikan bahwa seluruh produk, layanan, kebijakan dan kontrak yang
dimiliki oleh LKS senantiasa mengikuti prinsip syari’ah. Sementara itu, Karim
(1990) menegaskan bahwa Dewan Pengawas
Syari’ah memiliki fungsi seperti auditor eksternal pada perusahaan
konvensional.
Untuk memenuhi hal tersebut, sebuah badan
didirikan di Bahrain pada 1991 yang membantu membuat regulasi dan menyediakan
standar dalam pelaporan keuangan dan audit, badan ini bernama Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institutions (AAOIFI). Salah satu tujuan dari badan ini
adalah membentuk standar audit untuk LKS (Haron dan Azmi, 2009). Organisasi
lain yang sama pentingnya yaitu Islamic
Finacial Service Board (IFSB) yang didirikan di Kuala Lumpur, malaysia pada
2002 dan mulai beroperasi pada 2003. Penjelasan singkat kedua badan ini akan
dijelaskan pada bagian selanjutnya.
2.
Pembuat Standar Audit bagi Sektor Keuangan Islam
Sekarang ini, ada dua badan independen
yang membuat standar bagi industri keuangan Islam yaitu IFSB dan AAOIFI.
Keduanya sepakat bahwa diperlukan suatu tata kelola yang lebih khusus bagi LKS.
Kedua badan ini juga telah menerbitkan standar untuk pelaporan akuntansi dan
audit seperti pada tata kelola perusahaan konvensional (IFSB, 2006).
Pada Desember 2006, IFSB telah
menerbitkan pedoman komprehensif bagi tata kelola LKS. Publikasi yang meluas
tersebut bertujuan untuk membantu LKS membangun dan meningkatkan kerangka kerja
tata kelola perusahaan mereka dan juga untuk membantu pengatur LKS. IFSB
menyatakan bahwa ‘tidak ada satu model’ pun yang sesuai untuk LKS secara global
sehingga hanya kefektifan dan kekuatan dari kerangka kerja tata kelola
perusahaanlah yang bisa memenuhinya tergantung pada kekhususan masing-masing LKS.
Untuk hal itu, IFSB merekomendasikan bahwa implementasi dari prinsip pedoman
dapat menyesuaikan dengan ukuran, kompleksitas, struktur, signifikansi ekonomi
dan profil risiko dari LKS.
Sementara itu, AAOIFI mempublikasikan
pada tahun 2010, tujuan audit pada LKS adalah untuk memungkinkan
auditor untuk menyatakan opini atas laporan keuangan, apakah mereka juga
yang menyiapkannya, dalam seluruh aspek material yang merujuk pada dan dengan
kesesuaian atas fatwa, aturan dan pedoman DPS dari LKS, standar akuntansi AAOIFI,
praktik dan standar akuntansi nasional, serta undang-undang dan regulasi yang
diterapkan dimana LKS tersebut berada. Secara prinsip, seorang auditor harus
mematuhi kode etik profesional akuntansi yang mencakup kebenaran, integritas,
dapat dipercaya, keadilan, kejujuran, independen, objektif, kompetensi
profesional, due care, menjaga
kerahasiaan, perilaku profesional dan standar teknis.
Dalam hal laporan auditor, auditor dapat
menelaah dan menilai kesimpulan yang terlihat dalam bukti audit yang diperoleh
sebagai dasar untuk membentuk opini terhadap laporan keuangan dan harus berisi
pendapat yang jelas dan tertulis. Istilah perjanjian/kontrak audit
adalah kesepakatan antara auditor dan auditee serta untuk menegaskan
persetujuan atas penunjukan auditor, tujuan dan cakupan audit serta tingkat
tanggung jawab auditor terhadap auditee.
Aturan dan tanggung jawab dari auditor syari’ah akan dijelaskan pada bagian
selanjutnya.
3.
Aturan dan Tanggung Jawab Auditor Syari’ah
Sejauh ini kita telah melihat bahwa audit
syari’ah adalah salah satu pilar utama dari tata kelola LKS. Mereka ingin
memastikan kepatuhan dari LKS terhadap seluruh persyaratan yang ditetapkan
syari’ah (Karim, 1990). Fungsi audit syari’ah dilakukan oleh auditor internal
yang cukup memiliki ilmu pengetahuan dan kemampuan tentang syari’ah. Tujuan
pokok mereka adalah untuk memastikan gaung dan penerapan sistem pengendalian
internal telah mengikuti syari’ah sepenuhnya. Internal auditor juga dapat
menggunakan tenaga ahli di bidang keuangan Islam dalam membantu melakukan audit
selama tujuan audit tidak dilanggar. LKS dapat menunjuk pihak eksternal untuk
melakukan audit (PwC, 2011). Di sisi lain, Rahman (2011) berpendapat bahwa
audit syari’ah adalah audit independen yang bisa dilakukan oleh internal atau
eksternal auditor dan tinjauan/pemeriksaan syari’ah menjadi salah satu tugas
tersendiri yang dilakukan oleh ruang lingkup manajemen sebagaimana pada
departemen syari’ah atau auditor internal.
Standar auditing AAOIFI menyatakan bahwa
ketika ada permintaan untuk memeriksa kepatuhan terhadap aturan dan prinsip
syari’ah, auditor eksternal harus mendapatkan bukti yang tepat dan cukup sehingga
bisa membantu auditor memberi alasan yang jelas terkait apakah LKS sudah atau
belum sesuai dengan prinsip serta aturan syari’ah (fatwa, aturan dan pedoman
yang dikeluarkan oleh DPS). Seorang auditor bertanggungjawab untuk membuat dan
memberi opini tentang laporan keuangan LKS, sebagaimana yang telah dijelaskan
pada Standar Tata Kelola untuk LKS (GSIFI No.1) yang dikeluarkan oleh AAOIFI.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa auditor harus mumpuni
dalam ilmu syari’ah; meskipun begitu, dia tidak mesti memiliki ilmu yang
mendalam seperti anggota SSB (DPS). Yang perlu digarisbawahi, auditor syari’ah tidak bertanggung jawab atas pencegahan atas fraud dan
kesalahan; meskipun begitu, mereka tidak terlepas dari kekurangan atas
kelalaian dan kesalahan selama proses audit.
Dalam
menerbitkan fatwa, DPS dapat memandu melalui kontrak dan praktik standar yang
bisa diharmonisasikan dengan pejabat pembuat standar di masing-masing entitas.
Kerangka kerja yang mengusulkan adanya peran pihak internal dan eksternal dapat
memastikan kecukupan atas konsistensi pelaporan dan juga meningkatkan kemampuan
menyelenggarakan kontrak pada pengadilan sipil karena ketiadaan/keterbatasan
yurisdiksi dalam pengadilan syari’ah. Review atas transaksi menjadi hal yang
sebagian besar dipercaya ketika dilakukan oleh unit review internal atau internal auditor yang akan berkolaborasi
dengan peran auditor eksternal dalam pemberian laporan dan opini audit (Grais
dan Pellegrini, 2006). Selanjutnya, isu dan tantangan dalam audit syari’ah akan
dibahas pada poin berikut ini.
4.
Isu dan Tantangan dalam Audit Syari’ah
Kasim
et al., (2009) menjelaskan bahwa banyak penelitian yang telah dilakukan
menyatakan bahwa komentar kritis dan permintaan akan tanggung jawab yang lebih
besar dan akuntabilitas dari perusahaan telah menimbulkan banyak perdebatan
atas apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai fungsi audit yang ideal. Pada
survei mereka terkait jurang pemisah (gap) antara hasrat dan kenyataan praktik
audit syari’ah, ditemukan bahwa isu kerangka kerja
audit syari’ah, ruang lingkup audit, kualifikasi dan independensi auditor
adalah empat isu yang menjadi perhatian utama. Walaupun
setuju dengan keempat poin tersebut, paper ini memfokuskan pada dua tambahan poin
yaitu isu dan tantangan praktik audit syariah pada LKS. Isu yang begitu menekan
terkait independensi auditor syari’ah (yang sudah menjadi bahan perdebatan
sejak 1990, lihat Karim, 1990), isu terkait inspektur kepatuhan syari’ah yang
memasukkan institusi hisbah dan muhtasib, kurangnya
kualifikasi terkait ilmu keuangan dan syari’ah bagi masing-masing personil
akuntan dan auditor, dan terakhir adalah kurangnya akuntabilitas
dari auditor syari’ah.
4.1
Independensi Auditor Syari’ah
Kebutuhan atas integritas dari seorang
auditor syari’ah dirasakan cukup independen oleh stakeholders dari sektor keuangan syari’ah. Adalah suatu hal yang
biasa bagi auditor syari’ah untuk menyandarkan diri secara berat atau mengikuti
saran dari penasehat syari’ah atau DPS. Hal tersebut tidak dapat dibenarkan
apabila kita ingin agar auditor syari’ah independen sepenuhnya. Audit syari’ah
pada sektor keuangan syariah diyakini sebagai satu-satunya fungsi sosial yang
membawa kemaslahatan bagi ummat.
Keuntungan penuh dari audit syari’ah tidak dapat diwujudkan apabila mereka
tidak sama sekali atau sungguh-sungguh independen. Review atas diri sendiri
akan terjadi bila tidak adanya garis batas yang jelas dari pemisahan tugas yang
ada (Kasim et al., 2009). Oleh karena itu, fungsi DPS
dapat menjadi jelas dan tidak dapat mencampuri aktifitas audit syari’ah
& LKS hanya dapat menggunakan jasa outsource audit syari’ah dari akuntan
profesional dan auditor yang berpengalaman di bidang akuntansi dan syari’ah.
Grais dan Pellegrini (2006) menyatakan
bahwa pemberlakuan yang mendekati regulasi dari departemen audit internal dan
perusahaan audit eksternal dapat memberikan panduan tentang bagaimana
memastikan integritas dari pernyataan atas kepatuhan syari’ah. Literatur
terkait independensi audit internal menunjukkan tiga faktor yang berpengaruh
secara signifikan terhadap tingkat independensi auditor, 1) kejelasan definisi dari
tanggung jawab auditor, 2) posisi auditor internal dalam struktur
organisasional institusi, dan 3) struktur pelaporan. Hal ini membuktikan bahwa LKS
memberi wewenang yang jelas dan kekuatan instruksi kepada auditor internal,
memberi laporan kepada Komite Audit dan Syari’ah di LKS tersebut. Selanjutnya komite audit dan syari’ah dapat memberi laporan kepada para
stakeholder untuk membuktikan independensi mereka secara nyata (Karim,
1990).
Haniffa (2010) juga mempertanyakan indepensi DPS dimana ketika mereka membuat
fatwa di waktu yang sama pula turut membantu auditor syari’ah dalam review
syari’ah atau audit syari’ah. Disana dapat dilihat bahwa tidak terdapat
garis batas yang jelas dari pemisahan tugas yang merupakan esensi dari setiap
praktik pengendalian internal yang baik. LKS harus berpikir ulang bagaimana
mereka harus memisahkan dengan jelas aturan-aturan tersebut untuk menghindari stakeholder salah dalam memahami independensi
auditor dan/atau DPS.
4.2 Inspektur Kepatuhan Syari’ah dalam Institusi Hisbah dan Muhtasib (Hakim)
LKS dapat memahami bahwa hal utama yang
terdapat di dalam institusi mereka adalah memastikan kepatuhan terhadap
syari’ah atas semua produk yang ditawarkan. Sebagai contoh misalnya, DPS memainkan peran penting dan vital dalam memastikan kepatuhan namun anggota DPS juga dibayar oleh LKS. Oleh karena itu, siapakah yang memeriksa DPS bahwa mereka juga mematuhi
syari’ah? Akankah kita percaya dengan review internal syari’ah? Hal
itulah yang membuat audit syari’ah hanya dapat
dilakukan oleh para profesional ketimbang para akuntan, sedangkan beberapa dari mereka lebih suka mengikutsertakan auditor
internalnya untuk melakukan tanggung jawab itu.
Komite audit pada sebuah LKS dapat
melakukan usaha terbaiknya untuk memastikan bahwa auditor eksternal sanggup
melakukan review ex-post kepatuhan
syari’ah dalam konsep yang dipahami
(IFSB, 2006). Mereka juga dapat bekerja dengan auditor internal dan auditor
syari’ah, jika auditor internal tidak cakap dan yang paling penting adalah
dengan DPS. Karena itu, auditing pada LKS dapat berkembang menjadi internal
syari’ah dan auditor eksternal profesional yang mampu melakukan audit atas
keuangan, manajemen dan syari’ah.
KAP yang disewa akan memperoleh informasi
terkait dengan ilmu pengetahuan apa dan personil seperti apa yang dibutuhkan
untuk melakukan audit syari’ah. Meskipun angka-angka menunjukkan KAP yang ada
cakap dari segi ilmu, yang sebenarnya menjadi
kekurangan ialah bahwa siapa auditor dan akuntan yang benar-benar paham akan
ilmu syari’ah serta dilatih untuk memenuhi tujuan tersebut.
Beberapa kalangan akademisi mengangkat
isu institusi hisbah yang dahulunya
dimiliki dan dikelola dibawah wewenang negara. Muhtasib memperoleh gaji yang berasal dari harta negara dan mereka diinginkan
untuk sepenuhnya independen terhadap kondisi pasar. Dan dapat kita lihat bahwa dengan
tidak memiliki hubungan –apapun bentuknya-, terutama dengan pemberian gaji,
mereka telah independen secara fact and appearance. Dari situ dapat
dikatakan bahwa LKS dapat membentuk institusi hisbah kecil dimana di dalamnya beranggotakan auditor syari’ah.
Meskipun begitu, hal tersebut tidak mesti dibawah wewenang negara, sehingga bisa menjadi badan yang independen atau organisasi
non-pemerintah.
Merujuk pada Khan (1992) yang dikutip
dalam Kasim (2010), ruang lingkup area kerja muhtasib hampir sama dengan ruang lingkup area kerja auditor pada LKS.
Tugas yang dilakukan diantaranya mengelola keseimbangan pasar, memastikan
mekanisme pengendalian harga di pasar, memeriksa struktur kredit khususnya yang
terkait riba dan pembayaran zakat, memastikan
permintaan dan peredaran barang di pasar serta memeriksa efisiensi di sektor
publik dengan melihat pada dana masyarakat.
4.3
Kekurangan Terkait Kompetensi Auditor Syari’ah
Hingga saat ini, kekurangan terkait
penguasaan ilmu syari’ah dan akuntansi telah mengurangi ketersediaan auditor
syari’ah. Ilmu akuntansi yang ada sekarang cenderung tidak memasukkan ilmu
syari’ah dan semacamnya. Isu ini sudah diperdebatkan sejak pertama kali
terbentuk keuangan Islam modern pada tahun 1970-an. Yang perlu dicatat bahwa auditor syari’ah mesti memiliki pengetahuan yang baik terkait
akuntansi dan juga ilmu syari’ah agar mampu memahami serta mengaudit LKS.
Investasi di bidang pendidikan syari’ah, akuntansi dan auditing sangat
diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian pihak-pihak yang
terlibat dalam audit syari’ah khususnya dan LKS pada umumnya (Rahman, 2011;
Sulaiman, 2011).
Seruan untuk meningkatkan sistem
pendidikan terutama pada level tersier sudah mulai mendapat perhatian dan salah
satu institusi seperti pusat edukasi dan keuangan Islam internasional serta
beberapa institusi lain yang sejenis juga didirikan, namun itu saja tidak
cukup. Kefasihan berbahasa Arab dan Inggris serta paham di bidang ilmu
syari’ah, fiqih Islam, keuangan, auditing dan bisnis dapat membuat seorang
auditor bekerja dengan lebih baik dan dapat membantu LKS lebih jauh dalam
meningkatkan dan mengikuti syari’ah (Khan, 1985).
Ini membuktikan bahwa sejak LKS
beroperasi di bawah platform yang berbeda, dengan cakrawala Islam dunia, mereka
membutuhkan tipe akuntansi dan auditing yang berbeda pula. LKS dan auditor
syari’ah diharapkan bisa menyediakan kebutuhan ummat yang fokus dan
prioritasnya berbeda dengan komunitas dan kelompok lainnya (dengan cakrawala
dunia yang berbeda pula). Manajer dari LKS harus akuntabel terhadap dana yang
mereka pegang, serta dalam hal pengaturan dan penggunaannya. Auditor syari’ah
juga harus akuntabel untuk memastikan bahwa LKS telah memetuhi pedoman dan
prinsip syari’ah; bukan sebaliknya, mereka melakukan zulm (ketidakadilan) terhadap ummat yang telah mempercayakan mereka
dalam melakukan audit dan memastikan LKS mematuhi syari’ah.
4.4
Kekurangan Terkait Akuntabilitas Auditor Syari’ah
Audit syari’ah dapat dilakukan oleh
auditor internal maupun auditor eksternal dengan ketentuan mereka harus
memiliki ilmu dan pelatihan syari’ah yang cukup. Kemudian, laporan diteruskan
kepada komite yang ada di LKS. Komite syari’ah akan memberi opini mereka hanya
dalam persoalan syari’ah kepada dewan direktur, yang akan memutuskan atau
membuat keputusan akhir (IFSB, 2006; ISRA, 2011). Auditor syari’ah dapat
menjadi lebih akuntabel karena mereka juga harus akuntabel terhadap para stakeholders yang juga termasuk shareholder, masyarakat dan ummat.
Selanjutnya, akuntabel terhadap Allah dalam setiap perbuatan yang terlihat
maupun yang tidak.
Oleh karena itu, peran auditor syari’ah
sangat terbatas dalam mempengaruhi keputusan dari masing-masing LKS. Dewan
direksi LKS adalah salah satu pihak yang memiliki kekuatan dalam merubah atau
membuat keputusan penting mengenai produk dan jasa yang ditawarkan. Hanya
melempar sebuah pertanyaan hipotesis, apa yang akan terjadi bila dewan menolak
untuk menunggu opini komite syari’ah jika ternyata mempengaruhi LKS, sebagai
contoh misalnya kerugian besar bagi LKS karena isu ketidakpatuhan? Bagian
terakhir paper akan menjelaskan tentang kesimpulan dan rekomendasi untuk di
masa mendatang.
5.
Kesimpulan dan Rekomendasi Masa Depan
Pertumbuhan yang cepat dan besar dalam
keuangan Islam mengharuskan LKS untuk memiliki auditor syari’ah yang kompeten.
Dan mengadakan “check and balance”
yang seragam terhadap kompetensi auditor yang memiliki pengetahuan yang baik
dalam akuntansi, auditing dan keuangan dengan sama-sama paham dan mengerti
masalah syari’ah dan fiqih. Mereka dikenal dengan sebutan auditor syari’ah.
Review syari’ah yang dikerjakan oleh internal auditor dengan bantuan penasehat
syari’ah ternyata tidak cukup jika melihat keadaan seperti saat ini. Tes
kepatuhan syari’ah yang dilakukan auditor eksternal juga dipertanyakan
apabila auditor eksternal tidak kompeten dalam syari’ah dan mempercayakan
sepenuhnya pada peran review syari’ah yang telah dilakukan oleh internal
auditor dengan bantuan penasehat syari’ah LKS.
Pada periode Islam awal, institusi hisbah memiliki peran sebagai ‘inspektur
pasar’. Mereka mengaudit entitas bisnis, apakah entitas
mematuhi prinsip syari’ah atau tidak dan melaporkan temuan kepada institusi
untuk menindak para pelanggar (Kasim, 2010). Muhtasib,
yang memahami syari’ah dan juga akuntansi, keuangan dan bisnis digaji oleh negara dan ini meningkatkan independensi
mereka. Mereka tidak hanya independen secara penampilan tetapi juga
independen secara fakta. Dapat kita katakan bahwa persamaan penasehat syari’ah
dan auditor kontemporer bahwa mereka menerima kompensasi dan gaji dari
organisasi (LKS) tempat mereka bekerja? Auditor eksternal juga digaji oleh
organisasi tempat mereka mengaudit. Dan sejauh
ini, audit eksternal syari’ah bukan bersifat
perintah (Shafii et al., 2010). Tidak perlu heran apabila selama
ini kita pernah mendengar banyak perusahaan yang
hancur karena skandal akuntansi dan auditing terutama di AS, Eropa
dan merata di beberapa wilayah Asia dalam beberapa dekade terakhir.
Persepsi yang menyatakan bahwa auditor
syari’ah penting untuk dikaji adalah karena mereka adalah satu-satunya yang
menghadapi kesulitan dalam ketiadaan kerangka kerja dan standar auditing
syari’ah yang lengkap. Penelitian selanjutnya di masa depan mungkin juga perlu
menggali informasi terkait kebutuhan berbagai stakeholder dari LKS. Jenis
laporan yang berbeda untuk LKS juga diusulkan dengan menyediakan program audit
terspesialisasi untuk memenuhi audit syari’ah (Rahman, 2008 yang
dipresentasikan di ISRA, 2011). Ini juga merujuk pada Shafii et al. (2010)
tetapi struktur yang diusulkan tetap belum teruji. Akhirnya, peran
institusi hisbah sangat berharga untuk digali agar diperoleh wawasan terkait
peran dan pelayanan kepatuhan syari’ah yang efektif seperti yang mereka lakukan
di masa lalu. Faktanya, ini dapat memenuhi independensi, kompetensi dan
akuntabilitas auditor. Wallahu a’lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar