Label

Sabtu, 15 November 2014

TERJEMAHAN - ISSUES AND CHALLENGES OF SHARI’AH AUDIT IN ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS: A CONTEMPORARY VIEW

Hisham Yaacob
Dept. of Accounting & Finance
Faculty of Business, Economics & Policy Studies
Universiti Brunei Darussalam, Brunei

Abstrak

       Sektor keuangan dan perbankan Islam dikatakan menjadi sebuah alternatif dari sistem keuangan dan perbankan konvensional. Meskipun baru berjalan kurang lebih sekitar 40-an tahun, telah terjadi pertumbuhan yang dahsyat dalam sektor keuangan syari’ah dimana aset yang dikelola oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) telah melebihi US $ 1 triliun. Satu hal yang tak bisa dipungkiri, sistem yang tepat dari audit adalah mempertimbangkan keberlangsungan pertumbuhan dari LKS dan menjamin bahwa mereka secara ketat mematuhi syari’ah dalam seluruh aspek (produk, peraturan, prosedur dan kontrak). Oleh sebab itu, kegagalan untuk memberi kepastian yang layak akan mengurangi pencapaian tujuan dari LKS dan juga atas maqashid syari’ah. Paper ini mencoba memberikan perspektif masa kini terkait isu dan tantangan dari audit syari’ah pada institusi keuangan syari’ah. Dijelaskan bahwa ada beberapa pihak yang berperan dalam sektor keuangan syari’ah yaitu auditor syari’ah, pemerintah, pembuat standar dan dewan pengawas syariah. Selanjutnya, paper ini menyoroti penekanan pada empat isu dan tantangan sebagaimana yang dibahas pada literatur terkait auditing pada LKS. Paper ini mencoba untuk mempromosikan institusi hisbah sebagai salah satu solusi yang memungkinkan dan berkaitan dengan isu atas independensi dan akuntabilitas auditor. Paper ini juga menyentuh permasalahan terkait isu kurangnya kompetensi di antara para auditor syari’ah. Paper ini berkesimpulan bahwa LKS memiliki kebutuhan yang sangat mendesak akan adanya independensi dan akuntabilitas auditor syari’ah yang juga disertai kompetensi yang tinggi pula. Sejarah mengatakan bahwa institusi hisbah berperan sebagai pihak yang memainkan peran penting yang memastikan bahwa pasar memenuhi aturan syari’ah dan sangat dimungkinkan untuk memunculkan institusi ini lagi serta diperbaiki dari sisi struktural dan mekanismenya sehingga tidak hanya memberi jaminan atas kelayakan tapi juga memastikan bahwa LKS sudah berasaskan syari’ah.
Keyword: Auditor syari’ah, LKS, DPS, Hisbah, muhtasib
1. Pendahuluan
       Lembaga Keuangan Syariah (LKS) telah berjalan selama kurang lebih 40-an tahun. Institusi yang muncul pertama kali adalah Mit Ghamr Savings Bank di Mesir yang diprakarsai oleh Ahmad Elnaggar, yang didirikan pada 1962. Bank ini kemudian diambil alih oleh Nasr Social Bank pada 1972 (el-Hawary, Grains dan Iqbal, 2004). Kemudian Badan Dana Tabungan Haji terbentuk tahun 1963. Kesemuanya itu masih tetap berdiri sampai saat ini (Haniffa dan Hudaib, 2010). Haniffa dan Hudaib (2010) menunjukkan sebuah analisis yang cukup menarik yaitu dimulai dari awal mula kemunculan institusi keuangan syari’ah modern di tahun 1940-an hingga saat ini. Mereka memperlihatkan bahwa entah bagaimana tujuan awal yang semula begitu suci berubah menjadi “kebingungan terhadap pencapaian modernitas dari sudut pandang sekuler”. Meskipun, memperlihatkan bahwa pendirian LKS dimulai sebagai awal dari fase perkembangan Islam di Makkah dan Madinah (Haron dan Azmi, 2009).
       Industri keuangan syari’ahIslam dalam waktu yang relatif singkat telah tersebar luas dalam beberapa dekade ini dan pada 2011 Bank Islam Dubai menyatakan bahwa sektor keuangan dan perbankan syari’ah adalah salah satu sektor yang cukup cepat pertumbuhan ekonominya di dunia hingga saat ini. Akan tetapi, bila disandingkan dengan sektor keuangan dan perbankan konvensional, sistem keuangan dan perbankan syari’ah masih dalam tahapan yang masih awal. Sistem keuangan dan perbankan konvensional telah berdiri sejak abad ke-16 Masehi dimana ketika itu para pedagang Venesia mendirikan Banco Della Pizza di Rialto, Venesia, Italia (Haron dan Azmi, 2009, pp: 43-44).
       Saat ini, aset yang dikelola oleh institusi keuangan dan perbankan syari’ah diestimasikan mencapai lebih dari US $ 1 trilyun (US $ 1.000 milyar). Itu mencakup lebih dari 400 institusi yang tersebar di seluruh dunia dan paling banyak berada di Timur Tengah, Asia Tenggara, Eropa dan Amerika. Jumlah aset yang sangat besar ini menjadi jaminan LKS untuk pengaturan yang baik dan aset dikelola serta diaudit untuk melindungi kepentingan stakeholders. Karena hal inilah audit syari’ah muncul. Kita semua tentunya tidak ingin semua kesalahan dan kegagalan sistem konvensional terulang kembali pada institusi keuangan Islam ini.
       LKS merupakan ujung tombak institusi ekonomi Islam (Khan, 2000). Abdullah dan Pillai (2010) telah menyatakan bahwa “LKS memiliki tugas-tugas sebagai fidusia dan memiliki tanggung jawab yang cukup besar kepada para stakeholders dibanding institusi keuangan konvensional”. LKS harus mematuhi syari’ah dalam berbagai aspek untuk keseluruhan operasi dan manajemennya. Oleh karena itu, riba’ sangat dilarang secara total. Ini merupakan perintah yang tertulis di dalam al-Qur’an. Selain itu, juga melarang seluruh transaksi dan kontrak terhadap unsur-unsur gharar (ketidakpastian) dan maysir (judi) (Bank Islam Brunei Berhad, 2001; Karim, 1990, hlm.34; Sayd Farook, 2007). Lebih lanjut, paper ini juga menjelaskan bahwa setiap LKS sebaiknya memiliki badan hukum yang tepat dan governance syari’ah yang menjamin sistem, kebijakan dan prosedur telah sesuai dengan prinsip-prinsip Islami serta menjadi pedoman bagi keseluruhan “bentuk, semangat dan substansi” (Aziz, 2007).
       Perusahaan dan tata kelola syari’ah dapat digambarkan sebagai sistem formal akuntabilitas oleh manajemen tingkat atas LKS kepada para stakeholders dan juga kepada Sang Pencipta (Nahar dan Yaacob, 2011). Hal ini mengarah pada upaya perlindungan terhadap kepentingan serta hak stakeholders dari perusahaan (LKS) yang tercermin pada aksi dan keputusan yang harus sesuai dengan maqashid syari’ah (Hasan, 2009). Ada beberapa dampak langsung terhadap ummat dalam tataran praktis perusahaan dan kebijakan tertentu khususnya dalam hal zakat dan pelarangan atas riba’. Zakat dan pelarangan riba adalah dua pilar utama ekonomi Islam dan sistem distribusi kekayaan. Jadi, hal ini sangat penting bagi auditor syari’ah untuk mengecek perhitungan dan pembayaran zakat (Khan, 1985).
       Menurut Lewis (2005), tata kelola perusahaan Islami dapat dibagi ke dalam tiga dimensi yaitu “oleh siapa, untuk siapa dan dengan apa”. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Q.S. Asy Syuura (42: 38) bahwa:
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
Artinya: “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
       Ayat tersebut memberi penjelasan bahwa hiduplah satu sama lain dalam musyawarah dan kesabaran, dan menyandarkan segala sesuatunya kepada Allah subhanahu wata’ala  yang termasuk kualitas fundamental  dari tata kelola Islam. Dalam Islam, Allah subhanahu wata’ala  menjadi tujuan terakhir dan sebagai jawaban atas termin “untuk siapa”. Syari’ah menjadi tata kelola atas perilaku manusia dan institusi hisbah mengambil peran untuk memastikan kepatuhan dari orang-orang dan khususnya perusahaan. Pengawasan atau audit dari aspek religius ini sangat penting artinya untuk memastikan perusahaan mengikuti syari’ah dan juga untuk memberi saran kepada entitas bisnis serta menyediakan laporan bagi para stakeholders.
       Audit syari’ah secara sepintas mungkin mirip dengan fungsi audit pada perusahaan tetapi lebih difokuskan pada kepatuhan LKS terhadap aturan dan persyaratan syari’ah (Sultan, 2007). Haniffa (2010, hlm.45) menekankan bahwa audit keuangan konvensional tidak cukup memenuhi kebutuhan para stakeholders dari LKS yang bersangkutan. Hal ini benar adanya karena IAS tidak menyentuh aspek-aspek syari’ah. IAASB hanya menetapkan standar internasional untuk auditing, quality control, review dan assurance serta jasa terkait lain yang sebagian besar mengakomodir kepentingan para pemegang saham. Kadang-kadang IAS juga membuat standar yang hanya berlaku di negara tertentu dan kepentingan di suatu wilayah. Hanya di masa sekaranglah kita dapat melihat pertumbuhan yang baik dari sisi kepedulian LKS mengimplementasikan audit syari’ah sebagai salah satu elemen kunci tata kelola syari’ah dari perusahaan untuk mencapai tujuan syari’ah (Kasim, Ibrahim dan Sulaiman, 2009). Sebelum kita membahas lebih lanjut mari kita terlebih dahulu melihat definisi audit syari’ah yang digunakan pada paper ini:
       “Audit syari’ah adalah pemeriksaan atas kepatuhan LKS terhadap syari’ah dalam seluruh aktifitas, terutama pada laporan keuangan dan komponen operasional LKS lainnya dalam memperlakukan risiko atas kepatuhan termasuk tetapi tidak terbatas hanya pada produk, teknologi pendukung operasional, proses operasional, orang-orang yang berkaitan dengan wilayah risiko, dokumentasi dan kontrak, kebijakan dan prosedur serta aktifitas lainnya yang menghendaki prinsip-prinsip syari’ah”. (Haniffa, 2010; Sultan, 2007). Audit syari’ah dapat memastikan bahwa LKS memiliki hak suara dan sistem pengendalian internal yang efektif dalam mematuhi syari’ah (ISRA, 2011, p.811).
       Audit syari’ah bertujuan untuk memastikan produk, layanan dan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh LKS tidak melanggar prinsip syari’ah. Ada beberapa ruang lingkup dari audit syari’ah, yang di dalamnya termasuk audit atas laporan keuangan, audit operasional, audit struktur dan pegawai serta yang terakhir audit sistem informasi (Sultan, 20007). Hal ini karena IAS tidak bisa memberi peraturan khusus terkait audit syari’ah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Khan (1985); kerangka kerja audit tradisional sudah terlalu mendarah daging dengan paradigma kapitalis dan sekuler dari dunia Barat. Oleh karena itu, auditor syari’ah (baik internal maupun eksternal) dapat memastikan bahwa seluruh regulasi dan pedoman syari’ah sudah diterapkan oleh LKS (Haniffa, 2010). Merujuk pada Shafii, Salleh dan Shahwan (2010, hlm.3), tugas dan tanggung jawab dari penasehat syari’ah adalah untuk memastikan bahwa seluruh produk, layanan, kebijakan dan kontrak yang dimiliki oleh LKS senantiasa mengikuti prinsip syari’ah. Sementara itu, Karim (1990) menegaskan bahwa Dewan Pengawas Syari’ah memiliki fungsi seperti auditor eksternal pada perusahaan konvensional.
       Untuk memenuhi hal tersebut, sebuah badan didirikan di Bahrain pada 1991 yang membantu membuat regulasi dan menyediakan standar dalam pelaporan keuangan dan audit, badan ini bernama Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI). Salah satu tujuan dari badan ini adalah membentuk standar audit untuk LKS (Haron dan Azmi, 2009). Organisasi lain yang sama pentingnya yaitu Islamic Finacial Service Board (IFSB) yang didirikan di Kuala Lumpur, malaysia pada 2002 dan mulai beroperasi pada 2003. Penjelasan singkat kedua badan ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
2. Pembuat Standar Audit bagi Sektor Keuangan Islam
       Sekarang ini, ada dua badan independen yang membuat standar bagi industri keuangan Islam yaitu IFSB dan AAOIFI. Keduanya sepakat bahwa diperlukan suatu tata kelola yang lebih khusus bagi LKS. Kedua badan ini juga telah menerbitkan standar untuk pelaporan akuntansi dan audit seperti pada tata kelola perusahaan konvensional (IFSB, 2006).
       Pada Desember 2006, IFSB telah menerbitkan pedoman komprehensif bagi tata kelola LKS. Publikasi yang meluas tersebut bertujuan untuk membantu LKS membangun dan meningkatkan kerangka kerja tata kelola perusahaan mereka dan juga untuk membantu pengatur LKS. IFSB menyatakan bahwa ‘tidak ada satu model’ pun yang sesuai untuk LKS secara global sehingga hanya kefektifan dan kekuatan dari kerangka kerja tata kelola perusahaanlah yang bisa memenuhinya tergantung pada kekhususan masing-masing LKS. Untuk hal itu, IFSB merekomendasikan bahwa implementasi dari prinsip pedoman dapat menyesuaikan dengan ukuran, kompleksitas, struktur, signifikansi ekonomi dan profil risiko dari LKS.
       Sementara itu, AAOIFI mempublikasikan pada tahun 2010, tujuan audit pada LKS adalah untuk memungkinkan auditor untuk menyatakan opini atas laporan keuangan, apakah mereka juga yang menyiapkannya, dalam seluruh aspek material yang merujuk pada dan dengan kesesuaian atas fatwa, aturan dan pedoman DPS dari LKS, standar akuntansi AAOIFI, praktik dan standar akuntansi nasional, serta undang-undang dan regulasi yang diterapkan dimana LKS tersebut berada. Secara prinsip, seorang auditor harus mematuhi kode etik profesional akuntansi yang mencakup kebenaran, integritas, dapat dipercaya, keadilan, kejujuran, independen, objektif, kompetensi profesional, due care, menjaga kerahasiaan, perilaku profesional dan standar teknis.
       Dalam hal laporan auditor, auditor dapat menelaah dan menilai kesimpulan yang terlihat dalam bukti audit yang diperoleh sebagai dasar untuk membentuk opini terhadap laporan keuangan dan harus berisi pendapat yang jelas dan tertulis. Istilah perjanjian/kontrak audit adalah kesepakatan antara auditor dan auditee serta untuk menegaskan persetujuan atas penunjukan auditor, tujuan dan cakupan audit serta tingkat tanggung jawab auditor terhadap auditee. Aturan dan tanggung jawab dari auditor syari’ah akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
3. Aturan dan Tanggung Jawab Auditor Syari’ah
       Sejauh ini kita telah melihat bahwa audit syari’ah adalah salah satu pilar utama dari tata kelola LKS. Mereka ingin memastikan kepatuhan dari LKS terhadap seluruh persyaratan yang ditetapkan syari’ah (Karim, 1990). Fungsi audit syari’ah dilakukan oleh auditor internal yang cukup memiliki ilmu pengetahuan dan kemampuan tentang syari’ah. Tujuan pokok mereka adalah untuk memastikan gaung dan penerapan sistem pengendalian internal telah mengikuti syari’ah sepenuhnya. Internal auditor juga dapat menggunakan tenaga ahli di bidang keuangan Islam dalam membantu melakukan audit selama tujuan audit tidak dilanggar. LKS dapat menunjuk pihak eksternal untuk melakukan audit (PwC, 2011). Di sisi lain, Rahman (2011) berpendapat bahwa audit syari’ah adalah audit independen yang bisa dilakukan oleh internal atau eksternal auditor dan tinjauan/pemeriksaan syari’ah menjadi salah satu tugas tersendiri yang dilakukan oleh ruang lingkup manajemen sebagaimana pada departemen syari’ah atau auditor internal.
       Standar auditing AAOIFI menyatakan bahwa ketika ada permintaan untuk memeriksa kepatuhan terhadap aturan dan prinsip syari’ah, auditor eksternal harus mendapatkan bukti yang tepat dan cukup sehingga bisa membantu auditor memberi alasan yang jelas terkait apakah LKS sudah atau belum sesuai dengan prinsip serta aturan syari’ah (fatwa, aturan dan pedoman yang dikeluarkan oleh DPS). Seorang auditor bertanggungjawab untuk membuat dan memberi opini tentang laporan keuangan LKS, sebagaimana yang telah dijelaskan pada Standar Tata Kelola untuk LKS (GSIFI No.1) yang dikeluarkan oleh AAOIFI. Lebih lanjut dinyatakan bahwa auditor harus mumpuni dalam ilmu syari’ah; meskipun begitu, dia tidak mesti memiliki ilmu yang mendalam seperti anggota SSB (DPS). Yang perlu digarisbawahi, auditor syari’ah tidak bertanggung jawab atas pencegahan atas fraud dan kesalahan; meskipun begitu, mereka tidak terlepas dari kekurangan atas kelalaian dan kesalahan selama proses audit.
              Dalam menerbitkan fatwa, DPS dapat memandu melalui kontrak dan praktik standar yang bisa diharmonisasikan dengan pejabat pembuat standar di masing-masing entitas. Kerangka kerja yang mengusulkan adanya peran pihak internal dan eksternal dapat memastikan kecukupan atas konsistensi pelaporan dan juga meningkatkan kemampuan menyelenggarakan kontrak pada pengadilan sipil karena ketiadaan/keterbatasan yurisdiksi dalam pengadilan syari’ah. Review atas transaksi menjadi hal yang sebagian besar dipercaya ketika dilakukan oleh unit review internal atau internal auditor yang akan berkolaborasi dengan peran auditor eksternal dalam pemberian laporan dan opini audit (Grais dan Pellegrini, 2006). Selanjutnya, isu dan tantangan dalam audit syari’ah akan dibahas pada poin berikut ini.
4. Isu dan Tantangan dalam Audit Syari’ah
       Kasim et al., (2009) menjelaskan bahwa banyak penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa komentar kritis dan permintaan akan tanggung jawab yang lebih besar dan akuntabilitas dari perusahaan telah menimbulkan banyak perdebatan atas apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai fungsi audit yang ideal. Pada survei mereka terkait jurang pemisah (gap) antara hasrat dan kenyataan praktik audit syari’ah, ditemukan bahwa isu kerangka kerja audit syari’ah, ruang lingkup audit, kualifikasi dan independensi auditor adalah empat isu yang menjadi perhatian utama. Walaupun setuju dengan keempat poin tersebut, paper ini memfokuskan pada dua tambahan poin yaitu isu dan tantangan praktik audit syariah pada LKS. Isu yang begitu menekan terkait independensi auditor syari’ah (yang sudah menjadi bahan perdebatan sejak 1990, lihat Karim, 1990), isu terkait inspektur kepatuhan syari’ah yang memasukkan institusi hisbah dan muhtasib, kurangnya kualifikasi terkait ilmu keuangan dan syari’ah bagi masing-masing personil akuntan dan auditor, dan terakhir adalah kurangnya akuntabilitas dari auditor syari’ah.
4.1 Independensi Auditor Syari’ah
       Kebutuhan atas integritas dari seorang auditor syari’ah dirasakan cukup independen oleh stakeholders dari sektor keuangan syari’ah. Adalah suatu hal yang biasa bagi auditor syari’ah untuk menyandarkan diri secara berat atau mengikuti saran dari penasehat syari’ah atau DPS. Hal tersebut tidak dapat dibenarkan apabila kita ingin agar auditor syari’ah independen sepenuhnya. Audit syari’ah pada sektor keuangan syariah diyakini sebagai satu-satunya fungsi sosial yang membawa kemaslahatan bagi ummat. Keuntungan penuh dari audit syari’ah tidak dapat diwujudkan apabila mereka tidak sama sekali atau sungguh-sungguh independen. Review atas diri sendiri akan terjadi bila tidak adanya garis batas yang jelas dari pemisahan tugas yang ada (Kasim et al., 2009). Oleh karena itu, fungsi DPS dapat menjadi jelas dan tidak dapat mencampuri aktifitas audit syari’ah & LKS hanya dapat menggunakan jasa outsource audit syari’ah dari akuntan profesional dan auditor yang berpengalaman di bidang akuntansi dan syari’ah.
       Grais dan Pellegrini (2006) menyatakan bahwa pemberlakuan yang mendekati regulasi dari departemen audit internal dan perusahaan audit eksternal dapat memberikan panduan tentang bagaimana memastikan integritas dari pernyataan atas kepatuhan syari’ah. Literatur terkait independensi audit internal menunjukkan tiga faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat independensi auditor, 1) kejelasan definisi dari tanggung jawab auditor, 2) posisi auditor internal dalam struktur organisasional institusi, dan 3) struktur pelaporan. Hal ini membuktikan bahwa LKS memberi wewenang yang jelas dan kekuatan instruksi kepada auditor internal, memberi laporan kepada Komite Audit dan Syari’ah di LKS tersebut. Selanjutnya komite audit dan syari’ah dapat memberi laporan kepada para stakeholder untuk membuktikan independensi mereka secara nyata (Karim, 1990).
       Haniffa (2010) juga mempertanyakan indepensi DPS dimana ketika mereka membuat fatwa di waktu yang sama pula turut membantu auditor syari’ah dalam review syari’ah atau audit syari’ah. Disana dapat dilihat bahwa tidak terdapat garis batas yang jelas dari pemisahan tugas yang merupakan esensi dari setiap praktik pengendalian internal yang baik. LKS harus berpikir ulang bagaimana mereka harus memisahkan dengan jelas aturan-aturan tersebut untuk menghindari stakeholder salah dalam memahami independensi auditor dan/atau DPS.
4.2 Inspektur Kepatuhan Syari’ah dalam Institusi Hisbah dan Muhtasib (Hakim)
       LKS dapat memahami bahwa hal utama yang terdapat di dalam institusi mereka adalah memastikan kepatuhan terhadap syari’ah atas semua produk yang ditawarkan. Sebagai contoh misalnya, DPS memainkan peran penting dan vital dalam memastikan kepatuhan namun anggota DPS juga dibayar oleh LKS. Oleh karena itu, siapakah yang memeriksa DPS bahwa mereka juga mematuhi syari’ah? Akankah kita percaya dengan review internal syari’ah? Hal itulah yang membuat audit syari’ah hanya dapat dilakukan oleh para profesional ketimbang para akuntan, sedangkan beberapa dari mereka lebih suka mengikutsertakan auditor internalnya untuk melakukan tanggung jawab itu.
       Komite audit pada sebuah LKS dapat melakukan usaha terbaiknya untuk memastikan bahwa auditor eksternal sanggup melakukan review ex-post kepatuhan syari’ah  dalam konsep yang dipahami (IFSB, 2006). Mereka juga dapat bekerja dengan auditor internal dan auditor syari’ah, jika auditor internal tidak cakap dan yang paling penting adalah dengan DPS. Karena itu, auditing pada LKS dapat berkembang menjadi internal syari’ah dan auditor eksternal profesional yang mampu melakukan audit atas keuangan, manajemen dan syari’ah.
       KAP yang disewa akan memperoleh informasi terkait dengan ilmu pengetahuan apa dan personil seperti apa yang dibutuhkan untuk melakukan audit syari’ah. Meskipun angka-angka menunjukkan KAP yang ada cakap dari segi ilmu, yang sebenarnya menjadi kekurangan ialah bahwa siapa auditor dan akuntan yang benar-benar paham akan ilmu syari’ah serta dilatih untuk memenuhi tujuan tersebut.
       Beberapa kalangan akademisi mengangkat isu institusi hisbah yang dahulunya dimiliki dan dikelola dibawah wewenang negara. Muhtasib memperoleh gaji yang berasal dari harta negara dan mereka diinginkan untuk sepenuhnya independen terhadap kondisi pasar. Dan dapat kita lihat bahwa dengan tidak memiliki hubungan –apapun bentuknya-, terutama dengan pemberian gaji, mereka telah independen secara fact and appearance. Dari situ dapat dikatakan bahwa LKS dapat membentuk institusi hisbah kecil dimana di dalamnya beranggotakan auditor syari’ah. Meskipun begitu, hal tersebut tidak mesti dibawah wewenang negara, sehingga bisa menjadi badan yang independen atau organisasi non-pemerintah.
       Merujuk pada Khan (1992) yang dikutip dalam Kasim (2010), ruang lingkup area kerja muhtasib hampir sama dengan ruang lingkup area kerja auditor pada LKS. Tugas yang dilakukan diantaranya mengelola keseimbangan pasar, memastikan mekanisme pengendalian harga di pasar, memeriksa struktur kredit khususnya yang terkait riba dan pembayaran zakat, memastikan permintaan dan peredaran barang di pasar serta memeriksa efisiensi di sektor publik dengan melihat pada dana masyarakat.
4.3 Kekurangan Terkait Kompetensi Auditor Syari’ah
       Hingga saat ini, kekurangan terkait penguasaan ilmu syari’ah dan akuntansi telah mengurangi ketersediaan auditor syari’ah. Ilmu akuntansi yang ada sekarang cenderung tidak memasukkan ilmu syari’ah dan semacamnya. Isu ini sudah diperdebatkan sejak pertama kali terbentuk keuangan Islam modern pada tahun 1970-an. Yang perlu dicatat bahwa auditor syari’ah mesti memiliki pengetahuan yang baik terkait akuntansi dan juga ilmu syari’ah agar mampu memahami serta mengaudit LKS. Investasi di bidang pendidikan syari’ah, akuntansi dan auditing sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian pihak-pihak yang terlibat dalam audit syari’ah khususnya dan LKS pada umumnya (Rahman, 2011; Sulaiman, 2011).
       Seruan untuk meningkatkan sistem pendidikan terutama pada level tersier sudah mulai mendapat perhatian dan salah satu institusi seperti pusat edukasi dan keuangan Islam internasional serta beberapa institusi lain yang sejenis juga didirikan, namun itu saja tidak cukup. Kefasihan berbahasa Arab dan Inggris serta paham di bidang ilmu syari’ah, fiqih Islam, keuangan, auditing dan bisnis dapat membuat seorang auditor bekerja dengan lebih baik dan dapat membantu LKS lebih jauh dalam meningkatkan dan mengikuti syari’ah (Khan, 1985).
       Ini membuktikan bahwa sejak LKS beroperasi di bawah platform yang berbeda, dengan cakrawala Islam dunia, mereka membutuhkan tipe akuntansi dan auditing yang berbeda pula. LKS dan auditor syari’ah diharapkan bisa menyediakan kebutuhan ummat yang fokus dan prioritasnya berbeda dengan komunitas dan kelompok lainnya (dengan cakrawala dunia yang berbeda pula). Manajer dari LKS harus akuntabel terhadap dana yang mereka pegang, serta dalam hal pengaturan dan penggunaannya. Auditor syari’ah juga harus akuntabel untuk memastikan bahwa LKS telah memetuhi pedoman dan prinsip syari’ah; bukan sebaliknya, mereka melakukan zulm (ketidakadilan) terhadap ummat yang telah mempercayakan mereka dalam melakukan audit dan memastikan LKS mematuhi syari’ah.
4.4 Kekurangan Terkait Akuntabilitas Auditor Syari’ah
       Audit syari’ah dapat dilakukan oleh auditor internal maupun auditor eksternal dengan ketentuan mereka harus memiliki ilmu dan pelatihan syari’ah yang cukup. Kemudian, laporan diteruskan kepada komite yang ada di LKS. Komite syari’ah akan memberi opini mereka hanya dalam persoalan syari’ah kepada dewan direktur, yang akan memutuskan atau membuat keputusan akhir (IFSB, 2006; ISRA, 2011). Auditor syari’ah dapat menjadi lebih akuntabel karena mereka juga harus akuntabel terhadap para stakeholders yang juga termasuk shareholder, masyarakat dan ummat. Selanjutnya, akuntabel terhadap Allah dalam setiap perbuatan yang terlihat maupun yang tidak.
       Oleh karena itu, peran auditor syari’ah sangat terbatas dalam mempengaruhi keputusan dari masing-masing LKS. Dewan direksi LKS adalah salah satu pihak yang memiliki kekuatan dalam merubah atau membuat keputusan penting mengenai produk dan jasa yang ditawarkan. Hanya melempar sebuah pertanyaan hipotesis, apa yang akan terjadi bila dewan menolak untuk menunggu opini komite syari’ah jika ternyata mempengaruhi LKS, sebagai contoh misalnya kerugian besar bagi LKS karena isu ketidakpatuhan? Bagian terakhir paper akan menjelaskan tentang kesimpulan dan rekomendasi untuk di masa mendatang.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi Masa Depan
       Pertumbuhan yang cepat dan besar dalam keuangan Islam mengharuskan LKS untuk memiliki auditor syari’ah yang kompeten. Dan mengadakan “check and balance” yang seragam terhadap kompetensi auditor yang memiliki pengetahuan yang baik dalam akuntansi, auditing dan keuangan dengan sama-sama paham dan mengerti masalah syari’ah dan fiqih. Mereka dikenal dengan sebutan auditor syari’ah. Review syari’ah yang dikerjakan oleh internal auditor dengan bantuan penasehat syari’ah ternyata tidak cukup jika melihat keadaan seperti saat ini. Tes kepatuhan syari’ah yang dilakukan auditor eksternal juga dipertanyakan apabila auditor eksternal tidak kompeten dalam syari’ah dan mempercayakan sepenuhnya pada peran review syari’ah yang telah dilakukan oleh internal auditor dengan bantuan penasehat syari’ah LKS.
       Pada periode Islam awal, institusi hisbah memiliki peran sebagai ‘inspektur pasar’. Mereka mengaudit entitas bisnis, apakah entitas mematuhi prinsip syari’ah atau tidak dan melaporkan temuan kepada institusi untuk menindak para pelanggar (Kasim, 2010). Muhtasib, yang memahami syari’ah dan juga akuntansi, keuangan dan bisnis digaji oleh negara dan ini meningkatkan independensi mereka. Mereka tidak hanya independen secara penampilan tetapi juga independen secara fakta. Dapat kita katakan bahwa persamaan penasehat syari’ah dan auditor kontemporer bahwa mereka menerima kompensasi dan gaji dari organisasi (LKS) tempat mereka bekerja? Auditor eksternal juga digaji oleh organisasi tempat mereka mengaudit. Dan sejauh ini, audit eksternal syari’ah bukan bersifat  perintah (Shafii et al., 2010). Tidak perlu heran apabila selama ini kita pernah mendengar banyak perusahaan yang hancur karena skandal akuntansi dan auditing terutama di AS, Eropa dan merata di beberapa wilayah Asia dalam beberapa dekade terakhir.
       Persepsi yang menyatakan bahwa auditor syari’ah penting untuk dikaji adalah karena mereka adalah satu-satunya yang menghadapi kesulitan dalam ketiadaan kerangka kerja dan standar auditing syari’ah yang lengkap. Penelitian selanjutnya di masa depan mungkin juga perlu menggali informasi terkait kebutuhan berbagai stakeholder dari LKS. Jenis laporan yang berbeda untuk LKS juga diusulkan dengan menyediakan program audit terspesialisasi untuk memenuhi audit syari’ah (Rahman, 2008 yang dipresentasikan di ISRA, 2011). Ini juga merujuk pada Shafii et al. (2010) tetapi struktur yang diusulkan tetap belum teruji. Akhirnya, peran institusi  hisbah sangat berharga untuk digali agar diperoleh wawasan terkait peran dan pelayanan kepatuhan syari’ah yang efektif seperti yang mereka lakukan di masa lalu. Faktanya, ini dapat memenuhi independensi, kompetensi dan akuntabilitas auditor. Wallahu a’lam...







Tidak ada komentar:

Posting Komentar